Oleh, Dalem Tehang
KAP Yasin menyampaikan kepadaku, karena pengadaan loker tempat pakaian yang ada di kamar merupakan inisiatifnya, bukan merupakan fasilitas rutan, maka semua yang memakai lemari kecil tersebut, dikenakan biaya Rp 500 ribu.
“Dulu buatnya pakai uangku, om. Jadi, semua yang gunain loker itu, hitung-hitung ngebantu balikin modalku,” jelas kap Yasin mengenai kewajiban membayar uang untuk tempat menaruhkan pakaian tersebut.
Aku menghitung loker yang ada. Berjumlah 10 unit, dalam dua lemari kecil yang berdiri cukup tinggi. Berarti Yasin memperoleh uang Rp 5 juta dari inisiatifnya tersebut. Cerdik dan cerdas.
Dan dipastikan, telah beberapa kali berganti orang yang menggunakan loker. Selama itu, tentu uangnya terus mengalir ke koceknya. Diam-diam, aku kagumi kecerdikan Yasin dalam memanfaatkan situasi untuk mendulang pendapatan tanpa masalah.
“Nggak harus malem ini kok uang lokernya, om. Kapan ada aja. Tapi, ya wajib dibayar emang selama masih di kamar ini,” kata Yasin, beberapa saat kemudian.
“Oke, nanti aku bayar uang lokernya. Tapi, sabar ya,” sahutku, dengan santai.
“Siap, santai aja, om,” ujar Yasin, seraya menyulut setengah batang rokok yang sejak tadi telah berada di jari-jarinya.
OD kamar membuat minuman hangat. Tiga cangkir kopi manis dan tiga gelas teh manis. Aku menyampaikan bila tidak minum kopi manis, melainkan kopi tanpa gula. Kopi pahit.
“Buatin sendiri untuk om Mario. Kopi nggak pakai gula,” perintah Yasin kepada OD kamar, pria berusia 60-an tahun yang tersangkut kasus pencabulan.
Pria bertubuh kurus dengan rambut telah memutih semua itu, bergerak perlahan. Menuju kompor gas kecil yang ditaruh di dekat pintu kamar mandi. Memasakkan air guna membuat minuman kopi untukku.
Buru-buru aku mengeluarkan cangkir pribadi, juga memberikan stok kopi yang masih ada di dalam tas kain kepada OD kamar bernama Ramdan tersebut.
“Ini kopiku, pak. Sisanya taruh aja sama kopi, teh dan gula yang ada disini,” kataku kepada pak Ramdan.
“Simpen aja kopinya, om. Nanti cepet habis kalau ditaruh di loker bawah tempat tidur kayak yang lain. Ada aja yang malem-malem bikin minuman waktu kita tidur. Aku nggak mau kesalahan, kalau nanti om tanya, ternyata kopi om sudah habis,” ujar pak Ramdan dengan setengah berbisik.
“O gitu, ya sudah. Sekarang taruh aja dulu sama-sama dengan stok yang lain ya, pak. Mudah-mudahan kopiku nggak ada yang suka,” sahutku, sambil menepuk bahu pria tua tersebut.
“Nggak usah. Habis aku isiin buat cangkir om, simpen aja lagi kopinya. Aku nggak mau kesalahan. Asal om tahu aja, kenapa aku buatin kopinya tadi cuma tiga cangkir. Karena nanti, setelah habis airnya, aku seduhin lagi sisa kopi yang ada itu sama air panas. Jadi, secangkir dua kali dicor air panasnya. Itu kebiasaan kami disini kalau minum kopi,” tutur pak Ramdan, dengan suara perlahan.
Aku spontan istighfar di dalam hati setelah mendengar penjelasan pak Ramdan. Aku meyakini, OD kamar 30 tersebut bicara apa adanya. Secangkir kopi diseduh dua kali, demi semua penghuni kamar tetap bisa merasakan nikmatnya mengirup kopi.
Setelah cangkir kopiku diisi air oleh pak Ramdan, aku kembali duduk di ruang depan. Ndeprok di lantai bersama yang lain. Saat itu, pak Waras tengah mengusulkan untuk memasang karpet dari plastik di kamar kami. Kamar yang baru beberapa jam menjadi tempat tinggalku.
“Bagus usulan pak Waras ini. Masalahnya, kita kan harus urunan buat ngadain karpetnya. Dan itu juga belinya mesti lewat sipir. Pasti harganya dua kali lipat dari kalau kita beli sendiri diluar,” ujar Yasin.
“Setuju aku sama ide itu, kap. Nggak ada salahnya kita bicarain sama kawan-kawan sekarang ini,” sambung Anton.
Kondisi kamar 30 memang sangat memprihatinkan. Lantainya yang berkeramik murahan, telah pecah disana-sini. Dan untuk menambalnya, hanya dipasang lakban. Belum lagi, beberapa bidang hanya semen biasa karena keramiknya telah hancur total.
Kap Yasin menanyakan kepada penghuni kamar mengenai ide pak Waras. Mayoritas mendukung, namun ingin kepastian berapa masing-masing harus sokongan.
“Apa nggak sebaiknya lapor ke pegawai penanggungjawab blok dulu. Minta arahannya. Kan pastinya ada dana pemeliharaan untuk sarana dan prasarana rutan,” kataku, menyampaikan saran.
“Pasti nanti juga lapor, om. Cuma kalau kaitannya sama adanya dana pemeliharaan, nggak bakal dia bilang adalah, om. Semua kamar di blok ini, pada ganti keramik itu kan hasil urunan penghuninya, bukan pakai dana pemeliharaan rutan,” tanggap kap Yasin, seraya tersenyum.
Tersadarlah aku, apa yang disampaikan Yasin memang benar adanya. Beberapa kamar lain yang telah berganti keramik, semuanya ditanggung penghuni.
Bahkan, untuk pembelian keramik, semen, juga pasir dan kebutuhan lainnya, diatur sepenuhnya oleh pegawai penanggungjawab blok. Karena mertuanya memiliki toko material.
Penghuni hanya menyerahkan dana yang dibutuhkan kepada pegawai penanggungjawab blok, yang nilainya lebih dari dua kali lipat dari harga pasaran normal. Dan penghuni kamar wajib mencari tahanan yang bisa mengerjakan pemasangan keramik. Yang upahnya pun menjadi tanggungan penghuni kamar tersebut.
“Besok aku coba nemuin sipir yang memang biasa nyiapin karpet plastik, kasur dan lain-lain buat kita. Berapa harga totalnya, aku sampaikan ke kawan-kawan,” kata Yasin, beberapa saat kemudian.
Di sela-sela perbincangan ringan untuk saling mengenal lebih dalam itu, kap Yasin menyampaikan bila di kamar 30 tidak diperkenankan penghuni memiliki telepon seluler.
“Jadi, kalau om Mario punya botol alias hp, jangan ditaruh di kamar ini. Juga jangan telepon dari kamar ini. Begitu juga yang lain-lain. Kalau telepon, silakan diluar kamar. Ke wartelsus atau pinjem punya kawan,” jelas kap Yasin.
“Kenapa nggak boleh pegang botol disini ya, kap?” tanyaku.
“Aku nggak mau pusing, om. Kalau ada botol di kamar, sebentar-sebentar jadi sasaran razia. Kalau ketemu barangnya, bukan cuma yang punya barang kena masalah, sebagai kap kamar, aku juga pasti kena dampaknya juga. Aku nggak mau masuk stafsel gara-gara ada yang nyimpen barang terlarang di kamar ini,” katanya, panjang lebar.
Aku terdiam. Memahami sikap kehati-hatian kap Yasin. Meski sebenarnya, hampir semua kamar di Blok B, pasti ada saja penghuninya yang memiliki telepon seluler. Baik yang terdaftar dengan kewajiban membayar Rp 1,5 juta perbulan, maupun yang ilegal.
“Om Mario punya botol kan?” tanya Yasin, kemudian.
“Iya, punya, kap. Masih ku simpen di kamar 20,” jawabku, polos.
“Ya, silakan aja. Yang penting jangan ditaruh di kamar sini ya, om. Kita saling ngejaga aja,” sahut Yasin, dengan wajah serius.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Belum ketemu jalan bagaimana mengatur penempatan telepon selulerku ke depannya. Sangat jauh berbeda memang situasi di kamar 30 dibandingan dengan kamarku sebelumnya. Yang penuh kebebasan dan kemudahan. Sementara di kamar yang sekarang, disesaki dengan kesederhanaan menjurus kepada kepapaan.
Masih dengan bersandar di pintu kamar sambil menghisap rokok, terngiang kembali ucapan istriku, Laksmi, beberapa waktu lalu.
“Ayah inget ya, dalam kesederhanaan dan kerendahhatian, jadilah seperti bumi. Yang nempatin diri di bawah dan meninggikan yang lain di atasnya. Juga didiklah hati untuk tidak berbangga diri, dan didiklah mata agar tidak memandang rendah orang lain,” kata istriku, Laksmi, saat itu.
Perlahan, hatiku merasa tenang setelah memahami makna dari ucapan istriku tersebut. Kondisi dan situasi apapun di dalam rutan, memang sebuah kenyataan yang tidak bisa aku kesampingkan. Meski tempatku saat itu berbanding 180 derajat dengan kamar sebelumnya. (bersambung)