Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 340)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Selasa, 06 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang 

    

MALAM semakin larut, satu demi satu penghuni kamar 30 beringsut dari tempat kongkow di ruang depan. Merebahkan badan di tempatnya masing-masing. Tujuh orang tidur di lantai atas bagian dalam, lima lainnya di bagian luar.


Karena kantuk ditambah ketidaknyamanan begitu berat ku rasakan, aku pun berpamitan kepada kap Yasin dan kawan-kawan yang masih asyik berbincang, untuk merebahkan badan di kasurku. Yang ditempatkan pada paling ujung. Menempel tembok kamar dan berbatasan dengan tembok kamar mandi. Tersembunyi.


Saat badan telah terbujur di atas kasur, perlahan kantukku hilang. Pikiran justru berseliweran. Tidak karuan. Suara perbincangan kawan-kawan di ruang depan, seakan hilang. Ternyata mereka mulai bermain kartu. Mengkiati kejenuhan.


Suara dengkuran dari empat orang yang sudah lelap dalam tidur dan berjejer denganku, saling bersahutan. Cukup kencang. Ditambah bau merebak dari kamar mandi, membuatku benar-benar merasakan ketidaknyamanan. Berkali-kali aku ucapkan istighfar di dalam hati. 


Aku mendengar sebuah suara menanyakan keberadaanku kepada kap Yasin dan kawan-kawan yang masih bermain kartu di ruang depan.


“Iya, om Mario disini. Sudah tidur dari tadi, dan,” jawab kap Yasin, dengan suara lantang.


Aku tidak mengenali suara yang menanyakan keberadaanku tersebut. Namun, instingku menyatakan bila ada orang-orang tertentu yang memang selalu mengawasiku. Tidak tahu apa motivasinya.


Berkali-kali aku membolak-balikkan badan. Melepaskan beragam pernak-pernik di dalam pikiran. Meredakan gejolak jiwa yang tidak karuan. Tetapi, belum bisa pula aku memejamkan mata. Akhirnya, aku memilih memanfaatkan kesempatan untuk solat malam.


Seusai berwudhu dan siap untuk solat, aku bingung. Akan solat dimana. Karena kondisi kamar yang benar-benar sempit dan penuh penghuni beserta berbagai barang.


“Om, solatnya di deket pintu dalem aja. Agak miring. Sempit emang, tapi bisa kok buat solat,” kata Anton, melihatku kebingungan dan hanya berdiri tegak.


“Oke, terimakasih, Ton,” jawabku, dan langsung menggelar sajadah di dekat pintu bagian dalam. Ruang sekitar satu meter itu menjadi tempatku melaksanakan solat malam.


Bila biasanya di kamar 20 aku bisa solat dengan tenang karena tidak ada suara-suara, kali ini jauh berbeda. Beberapa kawan yang masih bermain kartu, seringkali berteriak dan bicara dengan suara keras. Karena tidak terbiasa dengan suara-suara seperti itu, membuatku beberapa kali pecah konsentrasi. 


Sekitar 30 menit aku membaca wirid, konsentrasiku tidak bisa lagi dipertahankan. Akhirnya aku menyudahi prosesi peribadatan. Dan kembali merebahkan badan di kasur. Aku paksakan untuk tidur. Dalam keterpaksaan itulah aku bisa lelap meski tetap tanpa mimpi.


Pak Waras membangunkanku saat adzan Subuh menggema. Mengajakku solat berjamaah. Hanya aku, pak Waras, pak Ramdan, dan Anton yang solat. Di ruang sempit dekat pintu bagian dalam. 


Saat itulah aku menyadari, dengan tinggal di kamar 30 ini, berarti aku hanya bisa solat berjamaah di masjid pada waktu Dhuhur dan Ashar. Selebihnya, hanya bisa dilakukan di kamar. Sangat berbeda saat masih di kamar 20. Lima waktu solat wajib bisa aku ikuti dengan berjamaah di masjid.


Seusai solat, aku pindah ke kasur. Membaca wirid dan doa. Dengan posisi tetap menghadap ke arah kiblat. Meski yang ada di depanku adalah kap Yasin yang tengah terlelap dalam tidurnya. Karena kasur kami berdampingan.


Baru saja menaruhkan tasbih di atas rak yang ada di atas kaki tempatku tidur, terdengar suara Rudy menanyakanku. Dengan spontan pak Waras menjawab bila aku masih wiridan di kasur.


“O gitu, ya udah. Sampein aja tadi Rudy kesini ya, pak. Inshaallah nanti kesini lagi,” kata Rudy, dan tidak lama kemudian terdengar langkahnya meninggalkan kamarku. 


Aku ambil tas kain yang ada di loker. Membawa ke kasurku, dan kemudian mengeluarkan isinya. Aku pun menyusun foto keluarga, Alqur’an, berbagai buku, juga obat-obatan dan vitamin di atas rak yang ada di atas tempat tidurku. Menempel pada tembok kamar mandi.


“Maaf, om. Aku mau buang air besar. Om pindah ke ruang depan dulu ya,” kata Anton, ketika ia akan masuk ke kamar mandi.


Tanpa berlama-lama, aku langsung bangun dan menuju ruang depan. Pak Waras tengah membaca Alqur’an. Suaranya pelan. Aku duduk di sampingnya. Mendengarkan. Berharap ada torehan pahala yang ku peroleh.


“Babe nggak ngaji?” tanya pak Waras, setelah menyelesaikan kegiatannya.


“Tadinya mau ngaji, pak. Cuma Anton lagi ke kamar mandi. Nantilah aku kiati jam berapa yang pas buat ngaji. Aku kan perlu nyesuaiin sama kebiasaan di kamar ini,” jawabku.


“Ya emang, babe harus cepet bisa nyesuaiin sama kebiasaan disini. Beda bener sama kamar babe sebelumnya. Jam 10-an pintu baru dibuka. Itu juga cuma boleh dua orang yang keluar. Nanti kalau sudah jam 11.30, baru dibuka buat semua penghuni kamar. Tapi, jam 12.30 harus sudah masuk lagi,” urai pak Waras, menjelaskan kebiasaan gembok pintu kamar 30 dibuka dan dikunci. 


Pak Ramdan membawakan kami minuman kopi hangat. Ia membuatkanku kopi pahit, dan pak Waras kopi manis.


“Terimakasih, pak,” kataku, sambil menatapnya dengan menganggukkan kepala.


“Sama-sama, om. Sudah tugasku buat nyiapin semua keperluan kawan-kawan di kamar ini,” ucap pak Ramdan, ada senyum sekilas di sudut bibirnya.


Tiba-tiba Rudy berdiri dari balik jeruji kamar. Melihatku tengah menikmati minuman kopi, anak muda itu tersenyum.


“Kirain om belum ngopi, lagi mau Rudy buatin,” kata dia, dan tersenyum lebar.


“Sudah dibuatin pak Ramdan, Rud. Alhamdulillah,” sahutku.


“Soal catering gimana, om. Rudy suruh kirim kesini apa gimana?” tanya Rudy.


“Iya, suruh kirim kesini aja, Rud. Tapi om tetep minta bantu kamu buat nganter yang untuk om Ino di kamar 23. Bisakan,” kataku.


“Siap. Rudy tetep siap bantu apa aja perintah, om,” jawabnya dengan tegas.


“Alhamdulillah. Terimakasih ya, Rud,” ujarku lagi.


Rudy hanya tersenyum, dan beberapa saat kemudian, ia berpamitan untuk kembali ke kamarnya. Setelah berpesan agar aku terus menjaga kesehatan.


Beberapa waktu setelah Rudy pergi, datang Aris dan Iyos. Keduanya tampak terheran dengan posisiku yang kini berada di kamar 30.


“Jadi babe pindah beneran ini? Sejak semalem kata Rudy,” ujar Aris, seraya memegang jeruji besi yang memisahkan selasar dengan sel tempatku.


“Ya beneranlah, Ris. Masak pindah main-main. Ada-ada aja kamu ini,” jawabku, dan berdiri di depan Aris dan Iyos. Tetap terhalang jeruji besi.


“Kenapa pindah, be? Emang ada masalah apa?” tanya Iyos sambil mengernyitkan dahinya.


“Perintah aturan, Ris. Karena aku belum vonis, nggak bisa nempati kamar forman alias kamar terbuka. Gitu aturannya. Ya sudah, taat dan patuh aja sama ketentuan yang ada. Mau kayak mana lagi,” kataku.  


“Mana ada aturan kayak gituan, be. Bisa-bisaan aja itu mah,” ujar Aris, menyela.


“Aku sudah lihat dan baca sendiri surat keputusan menterinya, Ris. Kalau cuma akal-akalan para bos di rutan, pasti aku nggak akan diem. Banyak cara yang bisa dimainin buat mereka,” jawabku, dengan serius.


“O gitu, be. Ya kalau babe sudah lihat dan baca, wajar taat dan patuh. Karena kita kan warga binaan, nggak boleh ngelawan,” kata Aris dengan cepat.


“Tapi kenapa babe milih kamar ini? Bukannya ke kamar pak Edi di 34, kan lebih layak buat babe,” kata Iyos.


“Biar enak ngingetnya aja sih, Yos. Sebelumnya di kamar 20, sekarang di 30. Soal layak nggak layak itu kan tinggal gimana kita aja nyesuaiinnya,” sahutku, seraya tersenyum.


“Babe tahu kan, kamar 30 ini kamar terparah di blok B. Mana jorok lagi orang-orangnya. Apa iya babe betah,” kata Aris, dengan berbisik.


“Awalnya ya nggak tahulah, Ris. Tahunya pas semalem masuk. Mana aku ditempatin di sudut deket kamar mandi lagi. Tapi ya sudah, aku nikmati aja semua ini. Mau kayak mana lagi,” kataku, tetap dengan tersenyum.


“Minta pindah aja, be. Sudut sebelah sini aja, deket pintu. Kan lebih fresh juga karena angin dari luar bebas masuknya,” lanjut Aris, seraya menunjuk posisi sudut yang langsung berada di depan pintu dalam dan lurus dengan pintu luar.


“Aku nrimo kok, Ris. Tetep disyukuri aja. Lagian, kawan-kawan juga terima kedatanganku dengan baik. Nurut aku, nggak ada yang perlu dimasalahin. Mana gara-gara aku masuk, ada satu kawan yang terpaksa turun dari lantai atas. Pak Waras yang sudah duluan aja, nempatin ruang depan kayak gini,” jelasku, panjang lebar. 


Mendengar penjelasanku yang penuh dengan penerimaan, Aris dan Iyos tampak sesaat saling berpandangan. Aku memahami keprihatinan mereka atas perpindahanku ke kamar 30 ini. Namun aku meyakini, tetap ada hikmah di balik semuanya. (bersambung)

LIPSUS