Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 341)

Rabu, 07 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang


PERUT sudah mengeluarkan musik keroncong sejak tadi, namun aku mencoba bertahan untuk tidak membeli sarapan atau meminta dibuatkan mie instan. Sebab, para penghuni kamar mayoritas masih tidur, dan aku belum memahami kebiasaan makan pagi di sel baruku ini.


Pak Waras yang memahami kegelisahanku, mendekat ke tempatku ndeprok. Di dekat pintu keluar kamar. Sambil menikmati kopi pahit. 


“Babe pengen sarapan ya?” tanya pria seumuran denganku itu, tersenyum penuh arti. Ku anggukkan kepalaku.  


“Baikan babe beli aja sarapannya. Di kamar ini, orang-orangnya nggak biasa sarapan. Nanti pas pintu dibuka dan semua boleh keluar, baru mereka ke kantin,” lanjut pak Waras, dengan suara pelan.


“O gitu. Boros juga dong kalau terus-terusan sarapan di kantin mah, pak. Katanya masih banyak yang belum bayar uang mingguan,” sahutku, juga dengan suara pelan. 


“Ya nggak semua ke kantinlah, be. Paling kap Yasin, Anton, dan dua tiga orang lainnya. Selebihnya, numpang cari makanan di tempat lain. Mereka ini kan rata-rata kasusnya sepaket, nggak sendirian. Jadi tetep punya kawan senasib, cuma nggak sekamar,” tutur pak Waras. 


Aku menganggukkan kepala. Mulai memahami kebiasaan di kamar ini. Khususnya dalam urusan makan. Soal makan memang tampak amat sederhana, namun sangat berbeda bila tengah di penjara. 


Diperlukan tenggang rasa yang sangat ekstra. Karena tidak jarang, dalam hal mengisi perut tersebut, menimbulkan pertengkaran sesama penghuni kamar.


“Jadi, makan bareng itu cuma buat siang dan malem aja, be. Selebihnya, urusan masing-masing,” sambung pak Waras. 


“Kalau pak Waras gimana sarapannya?” tanyaku.


“Aku kan emang nggak biasa sarapan, be. Kalau pagi, cukup minum kopi aja. Paling sama gorengan, itu juga satu dua sudah cukup. Makan nasi setelah solat dhuhur. Baru makan lagi, selesai isya,” jelas pak Waras.


Aku terdiam. Mencoba mencari cara untuk tetap bisa sarapan seperti selama ini. Mendadak Rudy muncul dari balik jeruji besi. Membawa sebuah bungkusan. 


“Om, sarapan dulu. Nasi kuningnya nggak ada, jadi Rudy beliin nasi uduk,” kata dia, sambil memberikan bungkusan di tangannya kepadaku.


“Alhamdulillah. Terimakasih ya, Rud. Kamu sudah sarapan apa belum,” ucapku, dan bersyukur di dalam hati. Apa yang tengah menjadi pikiranku, kini terwujud di depan mata.


“Sudah, tadi buat mie rebus punya om. Kan masih banyak di lemari makan, om lupa belum bawa kesini,” jawab Rudy.


“O iya ya. Tolong nanti bawain kesini ya, Rud. Kalau mau, sisihin dua tiga bungkus buatmu,” ujarku lagi.


“Siap. Terimakasih ya, om. Kalau ada perintah apa-apa, bilang ke tamping buat panggil Rudy aja ya,” imbuhnya, dan meninggalkan kamarku.


Aku pun sarapan dengan menikmati nasi uduk khas rutan. Hanya berlauk serpihan telur dadar ditambah tempe goreng sambal. Nasinya pun sedikit sekali. Harganya yang mahal, Rp 25 ribu perbungkusnya. 


Selama aku sarapan, pak Waras asyik memotong kukunya. Sambil sesekali terdengar suaranya menyenandungkan solawat kepada Nabi Muhammad SAW dengan pelan. 


Diam-diam, aku kagumi pria bertubuh tambun ini dalam hal menjaga ketenangan batinnya, sehingga alur pikir dan emosinya selalu tampak stabil. Ditambah, seulas senyum senantiasa menghiasi sudut bibirnya ketika ia berbicara.  


Pak Ramdan, OD kamar, menaruhkan segelas air putih di depanku. Dan langsung mengambil bungkus bekas sarapanku, membawanya ke kotak sampah di sudut kamar.


“Terimakasih, pak,” kataku kepada pria berusia 60 tahunan itu. Ia hanya menengokkan wajahnya sesaat, menatapku. Sambil tersenyum.  


Dan setelah menaruhkan sampah bekas sarapanku ke dalam kotak sampah, pak Ramdan duduk di dekatku dan pak Waras. Bersandar ke tembok. 


“Om, sudah tugasku jaga kebersihan kamar. Jadi, nggak usah terimakasih terus,” kata pak Ramdan, dengan suara pelan.


“Ucapan terimakasih, minta tolong, dan mohon maaf itu kan sesuatu yang baik buat disampein dalam pergaulan sehari-hari sih, pak. Kenapa pak Ramdan kayaknya keberatan,” tanggapku.


“Bukannya keberatan, om. Justru aku ngerasa nggak enak hati. Masak OD terus-terusan terima ucapan penghargaan, ya nggak paslah,” sahutnya, dengan cepat.


“OD itu kan cuma istilah aja, pak. Kita sama-sama manusia, sama-sama makhluk Tuhan. Justru dengan adanya pak Ramdan, kita bisa saling mengisi,” ujarku lagi.


“Ya, bener sih yang om bilang. Secara alamiah, nggak ada sesuatu yang hidup buat dirinya sendiri. Sungai aja nggak minum airnya sendiri. Pohon juga nggak makan buahnya sendiri. Matahari pun nggak mancarin sinar buat dirinya sendiri. Kita sejatinya memang harus bermanfaat buat orang lain. Tapi, aku ini OD, yang karena kepapaanku maka berstatus itu,” kata pak Ramdan, panjang lebar.


“Status kita ini sama, pak. Sama-sama tahanan. Mau disebut napi atau apapun, ya tahanan itulah. Tapi, kita tetep manusia. Cuma beda urusan aja. Nggak perlu kecil hati karena jadi OD. Mestinya harus bangga, karena dipercaya ngurusi 11 orang di kamar ini,” pak Waras menyela.


“Cuma kadang, diem-diem aku nangis lo, pak. Nelongso amat begini nasibku di penjara. Padahal di rumah, jangankan nyapu apalagi ngepel, megang sapunya aja nggak pernah. Jangankan cuci piring dan gelas, kalau mau makan, piring, sendok, dan gelas isi air putih sudah tersedia di meja makan,” ucap pak Ramdan, ada nada getir di balik suaranya yang pelan.


“Aku inget omongan seorang tokoh agama, pak. Dia bilang, posisi apapun sama sekali bukan tujuan hidup. Nggak jadi apapun, juga nggak masalah. Nggak dikenal juga nggak masalah. Nggak diakui keberadaan, juga nggak masalah. Nggak dihormati juga nggak masalah. Justru kita bisa sembunyi dari perhatian banyak orang, malahan lebih leluasa dan santai,” kata pak Waras, menimpali pak Ramdan.


OD kamar 30 lanjut usia itu hanya terdiam. Sesekali raut wajahnya berubah. Dari menggambarkan ketenangan menjadi memerah, seakan memendam amarah dan kecewa. Kemudian menjadi tenang kembali. Menunjukkan begitu hebat pergulatan pada batin dan pikirannya. (bersambung)

LIPSUS