Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 342)

Kamis, 08 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang


YA, aku sadar sih, pak. Semua ini azab buatku. Di masa muda dulu, aku nakal bener. Semua kejahatan dan dosa, aku lakuin. Pas sudah menjelang uzur, aku harus nebusnya dengan hidup separah ini,” tutur pak Ramdan, beberapa saat kemudian. 


“Kita di masa muda dulu mudah bermaksiat karena yang dipikirin kenikmatannya, bukan balasannya, pak. Sebaliknya, di masa itu kita sulit buat beribadah karena yang dipikirin adalah lelahnya, bukan balasannya,” kata pak Waras lagi. 


Pak Ramdan tampak tersenyum. Sekilas. Wajahnya kembali tenang. Aku cermati perubahan demi perubahan dari wajah pria tersebut. Sesungguhnya, ia memiliki kemampuan tersendiri dalam mengemas rasa yang ada pada jiwa dan pikirannya. Sadarlah aku, bila OD kamar ini sebenarnya seseorang yang pintar. Matang keilmuan dan pengetahuannya.


“Memang, paling enak itu kelihatan bodoh di depan orang yang kita anggep pinter ya, pak. Karena orang yang kayaknya bodoh, bisa ngelihat kebodohan orang pinter, tapi si orang pinter nggak bisa ngelihat kepinteran orang yang bergaya bodoh,” ujarku, sambil menatap pak Ramdan.   


Pak Ramdan kembali tersenyum, dilanjutkan dengan tawa kecilnya. Perlahan, ia menggerakkan badannya, menyalamiku dan pak Waras. Dengan kedua tangannya. Pria ini memang penuh misteri. Seperti misteriusnya kehidupan di dalam rutan. 


“Om Mario rupanya pindah kesini ya, tadi aku ke kamar 20, kata Rudy semalem pindah ke kamar 30. Inget lo, om. Jam 11 kumpul di pos, jadwal om sidang hari ini,” kata seorang tamping regis yang tiba-tiba berdiri di balik jeruji besi kamar.


“O iya, aku sidang hari ini. Terimakasih sudah ngingetin,” jawabku, dan bergegas bangun dari ndeprok untuk melihat jam di dinding kamar. Pukul 09.30. 


Tamping regis itu hanya tersenyum, dan sesaat kemudian meninggalkan kamarku. Menuju ke kamar lain yang penghuninya akan mengikuti persidangan siang nanti.


“Mandi aja duluan kalau gitu, om. Lebih baik kita sudah siap ketimbang nanti terburu-buru,” kata pak Ramdan.


Setelah mengambil peralatan mandi yang aku taruh di dalam kantong plastik kecil dan dimasukkan di dalam loker, serta membawa handuk, aku pun ke kamar mandi. 


Terhenyak aku ketika memperhatikan kondisi kamar mandi. Begitu licin lantainya. Airnya pun tidak jernih. Ditambah, ada tiga ember berisi pakaian yang tengah direndam, teronggok di sudut.


Sempat terpikir untuk mengurungkan niat mandi. Namun aku menyadari, jika tidak mandi saat ini, bisa sampai besok aku tidak membersihkan badan. Membuatku pasti tidak akan merasa nyaman. Karena badan terasa gerah. 


Aku teringat, masih ada cairan pembersih kuman di dalam salah satu kantong plastik. Buru-buru aku mengambilnya, dan menaburkannya di dalam bak mandi yang tampak sudah cukup lama tidak pernah dibersihkan. Hingga kelihatan nyata bila berlumut. 


Setelah lebih dari 10 menit, baru aku mandi. Itu pun tidak seperti biasanya. Yang penting badan tersiram air, sempat menyabun dan dibilas. Seusai mengeringkan badan, aku keluar kamar mandi. Mengambil air galon dituangkan ke dalam gelas untuk kumur-kumur saat menggosok gigi.


“Cepet amat mandinya, be. Biasanya kalau babe mandi, agak lama,” kata pak Waras, ketika melihatku telah selesai mandi dan mengambil pakaian di loker.


“Sesekali belajar mandi cepet, pak. Biar nggak ketinggalan sidang,” jawabku, sekenanya.


Pak Ramdan tersenyum. Sepertinya ia memahami, jika aku sangat tidak nyaman dengan kondisi kamar mandi yang demikian kotor dan tidak tertata apik barang yang ada di dalamnya.


“Maaf ya, om. Aku sebagai OD emang kurang bisa bersihin kamar mandi. Sudah minta bantu Anton dan yang lainnya, tapi mereka nggak ada yang mau ngebantu,” aku pak Ramdan, beberapa saat kemudian.


“Besok kita bersihin bareng-bareng ya, pak. Aku siap ngebantu pak Ramdan,” sahutku, seraya tersenyum.


“Beneran om mau ngebantu? Alhamdulillah. Terimakasih sebelumnya ya, om,” ucap pak Ramdan, sambil menebar senyumnya.


Aku kembali tersenyum, sambil memakai pakaian sidang. Kemeja warna putih lengan panjang, celana panjang warna gelap, dan menyiapkan kopiah. Aku buka sepatu yang ditaruh Rudy di dalam kantong plastik. Aku bersihkan dengan tisu basah. Mengkilat lagi warna hitamnya, setelah cukup lama tidak pernah disemir.  


Terdengar suara batuk-batuk kap kamar, Yasin. Pak Ramdan langsung berdiri. Masuk ke ruangan dalam. Menyiapkan minuman kopi manis hangat untuk dia.


Ketika melihatku berdiri di ruang depan dengan memakai pakaian khas sidang, Yasin bangun dari tempat tidurnya.


“Om sidang hari ini ya?” tanya dia, dan duduk di ruang depan. Di lantai. Berdekatan dengan pak Waras.


“Iya, sidang hari ini, kap. Tadi sudah diingetin tamping. Agendanya, majelis hakim bacain keputusan sela. Lanjut nggaknya kasusku,” jawabku, dengan santai.


“O gitu, ya sudah, om. Ikuti aja dengan santai. Nikmati perjalanan dan sidangnya, nanti juga ada akhirnya kok,” tanggap Yasin, juga dengan suara ringan.


Tepat pukul 10.30 aku keluar kamar. Setelah meminta tamping kunci membuka pintu selku. Masih ada waktu 30 menit untuk menikmati suasana di luar kamar sebelum berkumpul di pos penjagaan dalam. Aku ke kamar 34, kamar pak Edi.


“Mau sidang, be? Sudah di kamar 30 ya?” tanya pak Edi, saat melihatku berdiri di balik jeruji kamarnya.


“Iya, sidang hari ini, pak. Alhamdulillah, mulai semalem aku sudah jadi penghuni kamar 30,” jawabku. 


“Gimana penerimaan kawan-kawan di kamar barunya, baik-baik ajakan. Itu si Yasin sebenernya orang baik lo, be. Cuma karena punya dua istri dengan enam anak, akhirnya dia kerja sampingan dagang narkoba buat nyukupi kebutuhan keluarganya. Sebelumnya, dia kerja jadi satpam di mal. Cuma namanya satpam, berapalah gajinya,” kata pak Edi, panjang lebar.


“Alhamdulillah, semua nerima aku dengan baik, pak. Apalagi Yasin. Dia kasih dispensasi khusus buatku, langsung taruh kasurku di lantai atas. Paling pojok pula, biar nyaman karena nggak kelihatan dari luar. Tapi, ya deket kamar mandi itu yang jadi masalah,” sahutku, sambil tertawa.


“Ya itulah hidup di penjara, be. Ketemu enak sama nggak enaknya selalu barengan,” ujar pak Edi, dan tertawa ngakak. 


Setelah berbincang beberapa waktu, aku pamitan. Melanjutkan langkah menuju ke kamar 12. Tempat Aris, Iyos, dan Dika. (bersambung)

LIPSUS