Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 343)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Jumat, 09 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang


SAAT aku berdiri di depan jeruji besi kamar mereka, tampak Aris baru mandi. Sementara Dika sudah siap dengan pakaian ciri khas peserta sidang.


“Wuih, babe sudah siap rupanya. Sabar ya, be. Nyusul aku sama Dika kan,” kata Aris.


“Siapa yang nyusul? Aku cuma nengokin aja kok. Toh, nggak usah disusul juga, nanti kalian pasti kumpul di pos penjagaan,” kataku, sambil tertawa.


“Yah, babe. Mbok iya, sesekali nyenengin dan ngebesarin hati kami sih. Biar kami ngerasa dihargai dan ditunggu. Beda lo rasanya, kalau babe yang nyusul ke kamar,” sahut Aris, setengah merajuk.


“Mental sebagai bekas anggota dewan yang terhormat rupanya masih nempel kuat di badanmu ya, Ris. Sedikit-sedikit minta dihormati dan ditunggu,” ucapku, masih dengan tertawa. 


Dika dan Iyos juga beberapa penghuni kamar 12 lainnya spontan ikut tertawa. Bahkan ngakak. Tampak Aris menunjukkan sikap kesal, meski sekadar berpura-pura saja.  


Karena Aris dan Dika masih akan sarapan terlebih dahulu di kamarnya, aku pun bergeser. Langsung menuju pos penjagaan dalam. Sipir Fani menyambutku dengan senyum hangatnya ketika aku memasuki ruangan pos jaga. 


“Kabarnya, semalem abang pindah kamar ya?” tanya Fani, saat kami bersalaman.


“Iya, sekarang di kamar 30,” jawabku.


“Kenapa pindah, bang. Emang ada masalah apa,” ujar sipir Fani, lagi.


“Masalahnya, karena aku masih sidang, Fani. Selain itu, ya nggak ada masalah,” kataku, seraya tersenyum.


“Kok bisa gitu, bang. Emang ada aturannya, kalau masih sidang nggak boleh di kamar terbuka?” tanya Fani, penasaran.


“Iya, ada aturannya ternyata, Fani. Aku juga baru tahu setelah ketemu kepala rutan. Dia yang kasih dan ku baca langsung. Aneh sebenernya aturan kayak gitu, tapi karena sudah keputusan menteri, semua ya harus taat dan patuh,” ujarku, mengurai.


Sambil menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal, Fani tersenyum. Aku memahami, sebagai sipir yang cukup senior dan memiliki pengetahuan  matang, ia bisa menilai tingkat keputusan tersebut. Sebaliknya, sebagai aparat di bawah kemenkumham, ia juga lebih tahu bila dedikasi, integritas, dan loyalitas kepada keputusan pimpinan adalah harga mati.  


“Ya sudah, bang. Dinikmati dan tetep bersyukur aja. Yang penting abang nggak ngelanggar aturan, itu aja pesenku,” ucap Fani, beberapa saat kemudian, seraya tersenyum sumringah.  


Seiring berjalannya waktu, puluhan tahanan yang akan mengikuti sidang, telah berkumpul di depan pos penjagaan. Menunggu untuk diberangkatkan ke gedung Pengadilan Negeri dan duduk manis di kursi pesakitan. 


Setelah melalui proses sesuai prosedurnya, aku beserta sekitar 30 tahanan, keluar rutan. Menaiki mobil khusus untuk sampai ke gedung Pengadilan Negeri. Dan seperti beberapa kali sebelumnya, saat aku turun dari kendaraan, istriku Laksmi dan adikku Laksa, telah menunggu di dekat pintu sel sementara.


Seorang pegawai Kejaksaan Negeri membawaku ke ruang belakang. Diikuti istriku dan Laksa. Ruangan yang biasa kami tempati ketika aku menjalani persidangan. 


“Gimana di kamar yang sekarang, ayah?” tanya istriku, setelah kami bersalaman dan berpelukan melepaskan rindu yang menggelegak di kalbu.


Laksa juga memelukku dengan erat. Terasa ada hawa ketegaran dan ketenangan yang ia salurkan melalui pelukannya. Sebuah kekuatan tersendiri dan hanya aku yang bisa merasakannya. 


“Alhamdulillah, semua nerima ayah dengan baik. Bahkan, ayah langsung ditempatin di lantai atas. Paling sudut, tertutup tembok. Cuma, posisinya deket kamar mandi. Jadi, kalau ada yang buang hajat, baunya ya nyengat bener,” kataku, seraya tersenyum.


“Kenapa nggak ditempatin di bagian sudut lainnya, ayah?” tanya istriku lagi.


“Yang ngatur kan kap kamarnya, bunda. Alhamdulillah ayah bisa langsung di lantai atas, itu juga ngegeser penghuni lain, yang akhirnya dia nempati bidang di lantai bawah bagian depan. Yah, ayah tetep syukuri dan nikmati aja, mau kayak mana lagi,” sahutku, tetap dengan tersenyum.


Setelah istriku mengeluarkan nasi bungkus, kami bertiga pun makan siang. Sambil terus berbincang ringan, hingga datang dua orang jaksa yang menangani perkaraku. Diikuti oleh tim pengacara. Mereka menanyakan kesiapanku mengikuti persidangan hari itu.


Seusai berbincang beberapa saat, jaksa penuntut umum dan pengacaraku keluar ruangan. Kembali tinggal aku, istri, dan adikku Laksa. Beberapa buah-buahan yang dibawakan istriku Laksmi, menjadi santapanku, meski telah makan siang dengan porsi yang relatif banyak.


“Kalau ayah masih enak makan kayak gini, bunda yakin ayah terus sehat. Seneng bunda bawain makanan kalau ayah habisin,” ujar Laksmi, seraya memelukku.  


“Alhamdulillah, kalau nafsu makan bagus-bagus aja selama ini, bunda. Cuma, kalau mau beli di kantin atau pasdal, mikirin harganya itu. Mahal bener,” sahutku, sambil tersenyum.


“Kalau pas kepengen bener, ya beli aja, kak. Namanya juga di rutan, pasti nggak sama dengan harga diluaran,” kata Laksa, menyela, juga sambil tersenyum.


Petugas pengawal tahanan dari Kejaksaan Negeri datang. Membawa rompi warna merah. Aku memahami, giliran untuk mengikuti persidangan telah di depan mata. Setelah memakai rompi bertuliskan “Tahanan”, aku keluar ruangan.


Didampingi istri dan adikku Laksa, ku ikuti langkah petugas pengawal tahanan menuju ke ruangan tempatku bersidang. Makmun dan tim pengacara, menyambutku dengan mempersilakan kami duduk di kursi yang telah mereka siapkan sebelumnya. 


Pengunjung sidang dan para terdakwa memenuhi ruangan. Ada enam orang yang akan duduk di kursi pesakitan pada satu ruangan tersebut. Salah satunya aku. 


Dua orang jaksa penuntutku telah duduk di tempatnya, pun pengacaraku. Berarti, sebentar lagi majelis hakim akan memasuki ruangan, dan aku menjadi orang pertama yang menjalani persidangan. 


Perkiraanku tepat. Hanya dalam hitungan detik, tiga orang hakim memasuki ruangan, dan semua yang hadir spontan berdiri. Menghormati kehadiran para Wakil Tuhan. Pemutus keadilan. (bersambung)

LIPSUS