Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 344)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Sabtu, 10 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang


KU genggam erat dan cium tangan istriku, sesaat sebelum maju ke depan untuk duduk di kursi pesakitan. Seusai menanyakan kondisi kesehatan dan kesiapanku mengikuti persidangan, majelis hakim langsung membacakan putusan sela. Hanya dalam waktu tidak sampai 20 menit, diputuskan bila perkaraku berlanjut. 


Dan diperintahkan kepada jaksa untuk menghadirkan saksi-saksi dalam persidangan selanjutnya. Serta menetapkan aku untuk tetap menjalani penahanan di rutan.


“Namun, karena saya sebagai ketua majelis hakim akan cuti akhir tahun sekaligus merayakan Natal dan Tahun Baru, maka sidang ditunda sampai pekan kedua pada awal tahun,” ujar ketua majelis hakim dengan suaranya yang berat. 


Tidak ada yang protes. Karena majelis hakim telah memutuskannya demikian. Natal adalah perayaan keagamaan yang dianut oleh ketua majelis hakim, sehingga semua pihak harus menghormati. Ia juga telah mendapatkan izin cuti akhir tahun dari atasannya, dan baru akan aktif menjalankan tugas pada akhir pekan pertama di awal tahun.


“Bagaimana terdakwa? Faham dan sepakat dengan yang diputuskan majelis hakim? Sidang ditunda dan akan dilanjutkan pada hari Kamis minggu kedua bulan depan,” tanya ketua majelis hakim dengan tiba-tiba kepadaku, seraya menatap wajahku lekat-lekat.           


“Faham, Yang Mulia. Dan saya sepakat dengan yang telah diputuskan. Walau ini menjadi sidang terpanjang, karena berganti tahun,” jawabku, tetap dengan tenang dan santai.


“Benar itu. Sidang terdakwa ini jadinya berlangsung selama setahun,” tanggap ketua majelis hakim, dan tersenyum.


Setelah menanyakan hal yang sama kepada pengacaraku dan jaksa penuntut umum, majelis hakim mengetuk palu. Menutup sidangku, dan bertemu lagi pada pekan kedua tahun depan. 


Sambil berjalan kembali ke ruangan khusus yang menjadi tempatku bercengkrama dengan keluarga di sela-sela mengikuti persidangan, terus ku peluk istriku. Yang tampak beberapa kali menarik nafas panjang. Membayangkan betapa lamanya ia harus terus mengelola ketenangan jiwa dan pikirannya hingga aku mendapat kepastian hukum. 


“Bunda tetep tenang dan sabar ya. Kita jalani semua ini dengan ikhlas, inshaallah ke depannya tetep ada kemudahan diberikan Tuhan,” bisikku kepada Laksmi yang menggelendot di badanku.


Sesampai di ruangan khusus, istriku langsung menangis dan menaruhkan kepalanya di pundakku. Ku biarkan ia melepaskan sejuta kepenatannya, sambil mengelus-elus kepalanya yang berhijab. Menenangkan. 


Aku sangat memahami, betapa berat derita lahir batin yang dialami istriku selama ini. Hanya karena memiliki mental yang tangguh dan kemampuan mengelola perasaan serta pikirannya sajalah, Laksmi masih terus mampu bertahan. 


Tidak pernah sakit, tetap melaksanakan tugas sebagai seorang ibu sekaligus ayah bagi anak-anak, tetap mengurus rumah, serta terus survive dalam pekerjaannya di kantor. Dan yang lebih utama adalah keikhlasan dan kepasrahannya atas takdir ini, sehingga Yang Maha Kuat selalu memberinya serpihan kekuatan dengan terus menerus. 


“Bunda tetep kuat, Allah terus kasih kekuatan. Doa ayah nggak pernah putus untuk bunda dan anak-anak,” ucapku dengan pelan, sambil terus mengelus kepala Laksmi.


Beberapa saat kemudian, ia mengangkat wajahnya. Menatapkan matanya yang teduh ke mataku. Mengelus pipiku, memegang bibirku, mengusap-usap rambutku.


“Ayah juga harus kuat ya. Jangan simpen dendam kepada siapapun di hati ayah. Lepasin semuanya. Kita jalani aja takdir ini dengan sabar dan tawakkal,” kata Laksmi, dengan terus mengelus-elus pipiku. 


“Inshaallah ayah kuat, bunda. Justru dengan semua ini, ayah tertempa untuk menjadi semakin kuat. Ayah juga nggak takut dibenci, dan nggak ngemis buat disukai. Biar semua ini berjalan apa adanya, berlalu dengan semestinya, dan berakhir dengan seharusnya,” ujarku, seraya tersenyum kepada istriku, Laksmi.


“Alhamdulillah, kalau ayah tegar gini, bunda juga tenang. Bunda percaya, selalu ada cara selamat menghadapi berbagai keadaan yang datang. Yang penting, kita terus sabar dan kendaliin diri. Nggak usah peduliin omongan orang,” kata istriku, dan memelukku erat-erat.   


“Bener itu, kak. Nggak usah peduliin omongan orang. Karena buat dapetin ketenangan dan kebahagiaan, kita perlu ngabaiin omongan orang-orang di sekitar. Kakak harus inget, di hadapan Tuhan, kita semua sama, kita semua adalah pengemis dan peminta-minta,” kata Laksa, dan spontan memelukku dan istriku. 


Kami bertiga pun bertangisan dalam satu pelukan nan erat. Menumpahkan segala duka yang menganga pada jiwa. Seakan tiada lagi kebahagiaan. Yang kehadirannya ketika apa yang kita pikirkan, katakan, dan lakukan, berjalan dengan seirama.


Suara deheman menyadarkan kami dari   balutan duka yang begitu kencang terekspresikan pada pelukan bertiga. Setelah melepas keeratan raga dan jiwa, aku melihat seorang pegawai Kejaksaan Negeri telah berdiri di depan pintu.


Seraya tersenyum, ia menyampaikan bila sudah waktunya untuk aku kembali ke rutan. Karena semua tahanan telah selesai mengikuti proses persidangan masing-masing.


“Ayah tetep kuat ya. Tetep sabar dan tenang. Bunda jamin, bunda dan anak-anak selalu kuat dan sabar juga,” kata istriku, setelah aku berpamitan dengan mencium dan memeluknya.


“Kakak nggak usah banyak pikiran ya. Perbanyak aja ibadah, mohon ampunan dan ridho-Nya. Nggak usah nampakin kesedihan, juga nggak perlu banyak ketawa. Cukup tetep berbaik sangka, kalau semua yang terjadi ini pasti ada hikmahnya,” tutur Laksa, sambil menyalami dan menatapku dengan serius.


Ku genggam tangan istriku saat kami berjalan keluar ruangan khusus di bagian dalam gedung Pengadilan Negeri untuk menuju ke mobil tahanan. Laksa yang mengiringi langkah kami, membawakan dua kantong plastik berisi berbagai makanan dan vitamin pemberiannya dan istriku sebagai bekalku di dalam penjara. 


“Ayah, kita terus jadi orang yang bahagia ya. Yang selalu nerima takdir, nunggu setiap perlakuan pemegang takdir, dan nggak ngingkari nikmat yang sudah ditakdirin,” kata istriku, sesaat sebelum ku lepas genggaman tanganku karena harus naik ke mobil tahanan. 


Aku hanya bisa tersenyum. Yang sesungguhnya, penuh dengan kepiluan di dalam hati. Dibalik itu semua, ada kebanggaan pada istriku Laksmi dan adikku Laksa, yang tiada lelah terus menebar semangat kebaikan buatku. Meski aku tahu persis, mereka pun sebenarnya terbelenggu dalam senandung kesedihan nan mendalam di batinnya. (bersambung)

LIPSUS