Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 345)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Minggu, 11 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang     


SUARA sirine mobil telah diaktifkan, pertanda sesaat lagi kendaraan yang mengangkut 30 tahanan itu, akan bergerak meninggalkan pelataran gedung Pengadilan Negeri untuk berjalan kencang menuju rumah tahanan. 


Ku lambaikan tangan kepada istriku Laksmi dan adikku Laksa yang berdiri beberapa meter dari posisi mobil tahanan, bersama dengan puluhan anggota keluarga tahanan lainnya. Seperti biasa, Laksa merangkul pundak istriku. Menunjukkan kepadaku agar tetap tenang, karena ia akan terus memberi perlindungan dan perhatian kepada satu-satunya kakak kandung perempuannya tersebut.


“Kabarnya sidang babe ditunda sampai awal tahun depan ya?” tanya Aris, ketika kendaraan tahanan telah meninggalkan gedung Pengadilan Negeri. 


“Iya, Ris. Jadinya setahun deh sidangku. Dari tahun ini sampai tahun depan,” jawabku, seraya tertawa. 


“Unik nasib kita ya, be. Sidangku juga ditunda sampai awal tahun depan kok,” kata Aris, dan juga tertawa.


Kembali aku tertawa. Mencandai keadaan dan kenyataan memang lebih nikmat dibandingkan mengeluhkan. Tanpa memperbandingkkan dengan nasib orang lain. Karena ada kesadaran dalam jiwa, ketika membandingkan diri kita dengan orang lain, sadar tidak sadar pada saat itu juga kita telah menghina dan merendahkan diri kita sendiri. 


Perjalanan kembali ke rutan berlangsung sangat cepat. Selain jalan-jalan protokol belum padat, kondisi mobil tahanan yang relatif masih baru, mampu dikendalikan oleh pengemudi dengan baik, bahkan melakukan berbagai terobosan di jalan dengan sangat apik.


Dan seperti biasa, proses pemeriksaan ketat pun kami alami. Hanya, kali ini tidak banyak persoalan. Mungkin karena tahanan yang menjadi peserta sidang hari itu relatif sedikit, hanya 30-an orang. Tepat adzan Maghrib menggema, aku telah sampai di kamar. Dan langsung mengikuti solat berjamaah yang diimami pak Waras.


“Mandi dululah, om. Biar seger badannya,” kata Anton, setelah aku menaruhkan berbagai barang bawaan pemberian istriku Laksmi dan adikku Laksa, ke dalam loker.


Dengan setengah hati, aku pun membersihkan badan. Itu juga setelah kembali aku menaburkan cairan pembersih kuman ke dalam bak kamar mandi. 


Malam itu, aku memakai celana training, meski tetap berkaos tanpa lengan. Karena nyamuk di kamar 30 ini belum bersahabat denganku, sehingga banyak yang mengerubungiku. 


Seusai solat Isya berjamaah di kamar, kami makan malam. Aku keluarkan dua nasi bungkus pemberian istriku dari loker tempat pakaianku, karena di kamar ini tidak ada lemari khusus menaruh makanan. Juga lauk makan berupa rawon, telur asin, dan kerupuk.


Seluruh penghuni kamar 30 makan bersama. Duduk melingkar di lantai atas. Setelah semua kasur disandarkan ke tembok. Aku perhatikan betul cara kawan-kawan baruku makan. Begitu antusias dengan lauk pauk yang aku bawa. 


Hingga aku pun tidak lagi kebagian telur asin, walau hanya setengahnya. Aku memahami, selama ini mayoritas penghuni kamar memang makan sekadarnya saja. Yang penting perut terisi. Sesuatu yang lazim terjadi di dalam penjara. 


Selepas makan malam, aku duduk di ruang depan. Ndeprok bersama pak Waras, kap Yasin, juga Anton, dan beberapa lainnya. Sambil menikmati sebatang rokok dan minuman kaleng cincau pemberian adikku Laksa, aku mendengarkan perdialogan antara kap Yasin dengan pak Waras. 


“Jadi, kita nggak boleh ya bilang, kalau Allah nggak juga kabulin doa-doa kita, pak?” tanya kap Yasin kepada pak Waras.


“Nggak boleh, kap. Kita harus terus berprasangka baik kepada Allah, apapun kenyataan yang kita alami. Dan memang sebaiknya jangan pernah bilang kayak gitu. Terus aja disyukuri, Allah nggak langsung ngehukum waktu kita berbuat dosa,” tutur pak Waras, dengan kalem. 


“Ya gimana nggak kecewa, pak. Kita sudah ikhtiar, sudah solat, sudah berdoa, tapi belum dikabulin juga,” tanggap kap Yasin dengan cepat.


“Kecewa itu manusiawi, kap. Tapi jangan kebablasan jadi berprasangka tidak baik kepada Allah. Tugas kita dengan ikhtiar itu bukan untuk berhasil, tapi untuk mencoba. Karena di dalam mencoba itulah, kita temukan kesempatan buat berhasil,” jawab pak Waras.


“Apalagi sekarang ini, banyak kawan-kawan yang nggak peduli lagi. Padahal, dulu mereka semua deket sama aku,” ujar kap Yasin lagi.


“Sudah sunnatullah itu semua, kap. Ketika kita terpuruk, semua pasti menjauh. Aku inget, suatu saat Ali bin Abi Thalib ditanya sama seorang sahabatnya: Wahai Ali, banyak bener sahabat-sahabatmu yang begitu setia, sebenarnya ada berapa banyak sahabatmu itu? Ali menjawab: Nanti akan ku hitung setelah aku tertimpa musibah. Artinya, sejak zaman dulu, pertemanan itu ditentuin sama status, jabatan, atau derajat kita. Ali bin Abi Thalib sudah kasih contohnya. Jadi, ya nggak usah kaget, kalau faktanya sekarang kita ditinggalin kawan-kawan,” urai pak Waras, dengan panjang lebar.  


“Kalau selama ini sampeyan selalu kelihatan tenang itu, kenapa?” tanya kap Yasin, sambil menatap pak Waras dengan serius.


“Yang pertama, aku sadar kalau ini bagian dari takdirku. Nggak boleh kita ngelawan takdir, kap. Tapi harus nerimo dan mensyukurinya. Yang kedua, aku yakin bener, dimana ada ujian, disitu ada jalan. Dimana ada kebaikan, disitu ada keberkahan. Dimana ada kesabaran, disitu ada ganjaran, dimana ada kesulitan, disitu ada kemudahan. Dan dimana ada iman, disitu ada rahmat Tuhan. Jadi, aku nggak ketemu alasan buat ngeluh, apalagi berprasangka buruk sama Sang Penentu Kehidupan,” jawab pak Waras, tetap dengan kalem.    


Kap Yasin mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam, aku terus merekam perkataan pak Waras di dalam otakku. Begitu kental adonan keilmuan berbalut kesederhanaan yang ia kemas, sehingga tebaran kebaikannya hadir dalam bungkus-bungkus kata nan indah, terjauhkan dari kesan menggurui atau kesombongan diri. (bersambung)

LIPSUS