Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 346)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Senin, 12 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang    

 

JUJUR, pak Waras. Selama ini, aku ngerasa orang yang banyak dosa. Jauh dari kesucian seorang muslim. Apa Allah mau terima tobat seorang pendosa kayak aku ini,” kata kap Yasin, beberapa saat kemudian.


“Bagus kalau ada kejujuran seperti itu, kap. Allah itu menyukai tobatnya seorang pendosa ketimbang orang alim yang sombong. Intiya, nggak peduli kita ini suci atau nggak, jangan lari. Justru kita mendekat, karena kedekatan dengan-Nya, akan menambah kesucian,” sahut pak Waras, tetap dengan gayanya yang kalem, nada suaranya penuh kelembutan.


“Jadi, aku tetep bisa dapet hidayah ya?” tanya kap Yasin.


“Allah memang sangat benci dosa, kap. Tetapi, Allah nggak pernah membenci pendosa. Sebab, hidayah berawal dari seorang pendosa,” jawab pak Waras, ada senyum penuh kehangatan di sudut bibirnya.  


Keasyikanku mendengar dialog yang menambah wawasa itu, terganggu dengan datangnya kantuk. Aku pun berpamitan untuk merebahkan badan.


“Silakan, om. Namanya juga habis sidang, pasti capeklah. Istirahat aja duluan,” kata kap Yasin, sambil tersenyum.


Setelah mengoleskan cairan anti nyamuk pada sebagian tangan dan telapak kaki, aku pun merebahkan badan. Membaca doa, dan memejamkan mata. Pikiranku yang melayang, langsung aku tarik kembali. Tetap dalam kendali. Sehingga, tidak lama kemudian, aku pun lelap dalam tidur.


Belum terbiasa dengan suara riuh-rendah saat tidur, beberapa kali aku terbangun. Biasanya, di kamar 20, aku langsung lelap sampai adzan Subuh berkumandang. Sangat jarang terbangun mendadak karena mendengar suara ramai. Karena di kamar terbuka itu hanya empat orang. Itu pun Dino dan Basri baru masuk kamar untuk tidur setelah dinihari.


Suasana di kamar 30 berbanding terbalik. Berisikan 12 orang, masih banyak yang mengisi waktu sebelum kantuk datang dengan beragam kegiatan. Mulai dari main kartu, main catur, bahkan bergendangan dengan memakai galon, diiringi nyanyian sumbang berdangdutan. Mereka tidak mempedulikan kawan lain yang sudah tidur. Yang penting tetap bisa mendapat hiburan, sebagai penghilang kejenuhan.


Setelah terbangun untuk ke sekian kalinya, aku turun dari tempat tidur. Mengambil tumbler yang masih ada di dalam loker. Mengisinya dengan air dari galon, dan kembali ke tempat tidur. Menikmati aliran air putih memasuki kerongkongan yang terasa begitu kering.  


Saat mengambil tempat air minum di loker, aku sempat melihat pak Waras yang tetap tidur nyenyak meski ada empat kawan lain yang tengah bermain kartu di dekatnya, dengan sesekali mengeluarkan tawa dan teriakan. Aku kagumi kecepatannya dalam beradaptasi dengan lingkungan barunya. Meski ia hanya lebih dulu dua hari masuk ke kamar 30 dibandingkan aku. 


“Maaf ya om kalau keganggu tidurnya. Ya ginilah risiko tinggal di kamar kelas rendahan,” kata Anton, yang asyik bermain catur dengan pak Ramdan. Duduk di sudut dekat pintu masuk ruang dalam. 


Aku hanya tersenyum mendengar celetukan Anton, sambil kembali merebahkan badan di kasur. Aku menyadari, bila tiada hal yang bisa ku lakukan ketika mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, selain harus tetap bersabar dan menerima semua ketentuan-Nya. 


Aku juga tidak mau berkecil hati, pun tidak merasa kuat. Yang ada hanya tetap sabar dengan lingkungan baru, yang memang penuh warna ini. Pilihannya hanyalah, aku harus meleburkan diri secara total, sehingga tetap bisa menemukan serpihan kenyamanan, sekecil apapun itu. 


Dan aku juga menyadari, tidak ada seorang pun yang langsung bisa menjadi bijak. Karena sikap bijak bukanlah pembawaan lahir, melainkan tercipta dari sebuah proses pembelajaran yang sangat panjang dan dalam. 


“Kok malah ngelamun, om. Kalau nggak bisa tidur lagi, lanjutin main catur ini aja,” kata Anton, beberapa saat kemudian.    


“Mau coba lanjut tidur aja, Ton,” sahutku, tetap merebahkan badan.


Jarum jam di kamar menunjukkan pukul 01.40. Masih ada enam orang penghuni kamar yang memanfaatkan waktu sebelum kantuk menyerang, dengan bermain kartu dan catur. Aku terus berusaha dengan berbagai cara untuk kembali tidur, tetap saja belum bisa. Ingin melakukan solat malam, situasinya juga tidak memungkinkan. 


Keriuhan suara dari kawan-kawan, acapkali menyeruak keheningan malam nan pekat. Dan tiada rasa menghargai bagi sesama yang tengah beristirahat. Dalam kondisi seperti itu, rasa serba salah pun menghampiriku. 


Pak Waras bangun dari tidurnya dan ke kamar mandi. Buru-buru aku menutup hidung setiap kali ada yang membuang hajat, baik kecil apalagi besar. Karena tempatku, bersebelahan persis dengan tembok kamar mandi.


“Nggak bisa tidur, be?” tanya pak Waras, seusai dari kamar mandi.


“Tadi sudah tidur, pak. Mau ngelanjut tidur lagi sebenernya, tapi belum bisa,” jawabku.


“Kalau gitu, solat malem aja, be,” lanjut pak Waras.


Aku tidak menjawab. Hanya diam. Karena bagiku, kondisi lingkungan kamar saat itu tidak memungkinkan untukku bisa konsentrasi dalam menggelar peribadatan.


“Paksain aja solat malemnya, be. Nanti juga terbiasa kok. Jangan sia-siain waktu malem buat ngelamun atau begadang. Kalau nggak istirahat, baikan solat,” kata pak Waras, seakan memahami kegalauan di hatiku. 


Aku hanya menganggukkan kepala. Dan sesaat kemudian, pak Waras menggelar sajadahnya. Tepat di samping pintu masuk ruang depan. Sekitar satu meter dari kasurnya.  Aku perhatikan pria seumuran denganku itu dalam solat malamnya. Tetap penuh kekhusu’an. Begitu kuatnya konsentrasi dia dalam menjalin komunikasi dengan Pemilik Langit dan Bumi, Allah Rabbul Izzati.


Akhirnya, aku pun tergerak untuk mengikuti apa yang dilakukan pak Waras. Berwudhu dan menggelar sajadah. Hanya beberapa sentimeter di samping pria bertubuh tambun itu. 


Bila pak Waras tetep bisa khusu’ dalam peribadatannya, tidak demikian denganku. Beberapa kali konsentrasiku dalam berdzikir buyar, ketika suara kawan-kawan yang bermain kartu, mendadak meledak. Kencang dan penuh tawa. Hingga memaksaku terus beristighfar di dalam hati. Sambil menarik nafas panjang, berkali-kali. Dan karena merasa tidak kuat menaklukkan lingkungan, aku pun mengakhiri peribadatan pada dinihari itu. (bersambung)

LIPSUS