Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 347)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Selasa, 13 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang


PAK Waras hanya tersenyum ketika melihatku melipat sajadah dan duduk ndeprok di lantai, di pinggiran pintu masuk ruang dalam. 


“Nggak usah kecil hati, be. Semua butuh proses dan setiap perubahan pasti bawa pengaruh. Aku kan selama ini sudah biasa dengan lingkungan kamar yang ramai. Bahkan di kamar 8 itu, ada 15 orang. Makanya, aku tetep bisa konsentrasi saat dzikir tadi. Nanti juga babe terbiasa kok. Yang penting, terus aja lakuin solat malem. Jangan berhenti cuma karena lingkungan yang ramai gini,” kata pak Waras, memotivasiku. 


“Bener sih, pak. Aku emang belum terbiasa aja sama kondisi ini. Sebelumnya kan kamarku isinya cuma empat orang. Jadi, ya nyaman waktu solat malemnya,” sahutku, seraya tersenyum. 


“Santai aja, bang. Yang penting, kita nggak saling ganggu keasyikan masing-masing,” salah seorang yang sedang bermain kartu, menyela ucapanku.


Pria yang menyela itu memiliki badan tinggi besar, dan sangat menikmati gayanya sendiri, yaitu tidak pernah memakai penutup badan bagian atasnya saat di kamar. Selalu hanya memakai celana pendek saja.


Pria dengan wajah sangar bernama Beni tersebut, merupakan seorang debt collector yang tersangkut kasus penganiayaan dan perampasan ketika menjalankan tugasnya.


“Cocok, Ben. Aku santai-santai aja kok. Nggak bakal juga ganggu kawan-kawan lain,” kataku, menimpali.


“Sip kalau gitu, bang. Prinsipku, aku emang nggak bisa ngerubah arah angin, tapi bisa ngatur layar buat mencapai tujuan,” tanggap Beni, dan tertawa ngakak.


Ku pandangi pak Waras. Pria low profile itu tersenyum, aku pun ikut tersenyum. Perkataan Beni memang membawa pesan intrinsik, namun sebagai sesama tahanan, kami memahami maksud dibaliknya. Sebuah isyarat, bila ia mampu menciptakan situasi yang kami inginkan untuk tetap bisa khusu’ dalam peribadatan malam, tetapi tentu saja ada timbal baliknya. Gaya “makan kawan” adalah pola yang sering dimainkan tahanan yang merasa dirinya jagoan.


Pak Waras menawariku membuat minuman hangat. Ku anggukkan kepala. Tanpa berlama-lama, ia telah menaruhkan dua cangkir di depan tempat duduk kami. Satu teh manis untuknya, dan satu lagi kopi pahit buatku. 


Seorang tamping waserda yang menjajakan berbagai makanan pada dinihari, berdiri di balik jeruji besi. Menawarkan dagangannya. Yang merupakan usaha sampingan seorang sipir ternama di rutan. Aku sempat akan memesan makanan, karena terasa lapar. Namun, pak Waras memberi isyarat dengan menggelengkan kepalanya.


“Kenapa, pak?” tanyaku dengan pelan kepada pak Waras.


“Kalau masih pada main kayak gini, nanti mereka minta dibeliin be. Atau ngambil-ngambil aja, tapi tagihannya nanti ke babe,” jelas pak Waras, juga dengan suara pelan.


“O gitu, pak. Tapi masak aku harus kelaperan karena takut orang lain minta, pak. Kan bisa langsung bayar, jadi nggak pasdal, makan duluan bayar belakangan,” kataku.


“Ya monggo kalau babe maunya gitu,” sahut pak Waras, seraya tersenyum.


Aku meminta dua nasi ayam bakar kepada tamping waserda, dan langsung membayarnya. Rp 75 ribu untuk dua bungkusnya.


“Ayo, kita makan dulu, pak,” kataku kepada pak Waras.


“Kami nggak dibeliin ya, bang?” tanya Beni, tanpa menengokkan wajahnya karena masih asyik bermain kartu.


“Nggak, Ben. Duitnya pas-pasan buat bayar makanan ini,” ujarku, dengan santai. 


“Ya sudah kalau gitu. Aku ingetin aja, jangan pelit-pelit, nanti duit yang ada hilang lo,” lanjut Beni, tetap dengan gaya cueknya.


“Coba aja kalau berani. Aku suka bener kalau ada yang mau coba-coba. Jangan cuma ngoceh,” tanggapku, ada nada tinggi dalam ucapanku. 


Beni menggeser duduknya. Menengokkan wajahnya ke arahku. Matanya menatap. Ada nada emosi berkilatan pada matanya yang besar dan tajam. Tidak ku hiraukan pola penekanan yang ia lakukan. Aku meneruskan membuka bungkusan makanan ayam bakar, dan menikmatinya.


Aku tahu persis, lari dari sesuatu yang mengancam, malah kian terbayang-bayang ancaman tersebut. Aku memilih terluka sampai memperoleh ketenangan. Karenanya, perilaku Beni yang menunjukkan kejagoannya, tak ku anggap sebagai sesuatu yang perlu masuk dalam pikiran. 


Pak Waras hanya tersenyum melihat gaya Beni, sambil terus mengunyah nasi berlauk ayam bakar yang ada di depannya. Ia memahami benar, terkadang ada kondisi batin yang tidak terpikir oleh pikiran, itulah kesadaran. 


Seusai menaruhkan bekas bungkus makanan di kotak sampah, aku mengambil rokok di atas rak dekat tempat tidurku, dan kembali duduk bersama pak Waras.


Beberapa kali Beni menengokkan wajahnya, menatapku. Dan menyindir-nyindir karena aku tidak memberi rokok untuk mereka yang masih bermain kartu.


Pak Waras hanya memandang wajahku, seraya tersenyum. Memberi pesan melalui senyumannya agar aku tetap menahan diri. Aku pun tersenyum. 


“Rawat aja ikhlasnya, be. Cuma dengan itu babe akan terbiasa ngizinin takdir mainkan perannya, tanpa perlu khawatir pada perasaan ataupun keadaan. Karena semua kembali ke skenario Yang Di Langit, dan semua akan baik-baik aja,” kata pak Waras, dengan gaya kalemnya. 


“Terimakasih, pak. Aku nggak akan bunuh singa di kalanganku sendiri, karena aku nggak mau dimakan sama anjing yang ada di kalangan musuh,” tanggapku, dengan bahasa bersayap.


Pak Waras tersenyum dilanjutkan dengan tertawa kecil. Sebuah acungan jempol ia sodorkan ke arahku. 


“Singa cuma tersenyum kalau ada anjing menggonggong, karena bagi dia terlalu mewah jika mengaum hanya untuk ngebales gonggongan makhluk yang nggak setara dengannya,” ujar pak Waras, beberapa saat kemudian. Masih dengan tersenyum dan suara tertawa kecilnya.


Aku pun tersenyum dengan perkataan pak Waras. Begitu elegan ia meracik cara agar aku tetap bisa menempatkan ketenangan batin dan pikiran dengan tepat dalam menghadapi kondisi lingkungan kamar baruku. Yang memang penuh dengan intrik. 


Dan setelah minuman kopi pahit habis, aku berpamitan kepada pak Waras untuk kembali ke kasurku. Waktu sudah menunjukkan pukul 03.20, saat aku mulai merasakan kantuk. Tidak lama kemudian, aku pun tertidur. (bersambung)

LIPSUS