Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 348)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Rabu, 14 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang


BEGITU lelapnya aku tidur, hingga saat dibangunkan pak Waras untuk solat Subuh pun, aku tidak bangun. Tersadar saat matahari mulai merambahkan sinarnya ke kamar melalui sela-sela jeruji besi.


“Subhanallah,” ucapku begitu bangun, dan bergegas ke kamar mandi. Wudhu, serta solat Subuh, di atas kasurku, meski telah kesiangan.


“Matahari sudah tinggi kok subuhan to, om. Mana diterima Tuhan kalau lewat waktunya gini,” kata pak Ramdan.


“Namanya baru bangun, pak. Soal diterima nggaknya solatku, itu haknya Tuhan. Kewajibanku cuma buat lakuin solatnya,” jawabku, dengan santai. 


“Ya bener sih, semua tergantung Tuhan aja, mau nerima nggak solat atau amal kita. Tapi kan, semua ada tata caranya, ada waktu-waktunya,” lanjut pak Ramdan.


Aku hanya diam, melipat sajadah dan menaruhkan di atas rak yang ada di dekat kasurku. Bagiku, banyak hal cukup dirasakan, tidak perlu diceritakan apalagi diperdebatkan. Karena pada hakekatnya, semua orang bisa menemani, namun tidak semua bisa memahami.


Ketika apel pagi dilaksanakan, sipir Almika yang bertugas tampak terkejut melihatku berada di kamar 30.


“Om pindah kesini, kenapa?” tanya Almika, sambil mengernyitkan dahinya.


“Iya, om sekarang disini. Nggak apa-apa sih, cuma aturan yang buat om harus pindah dari kamar sebelumnya,” jawabku, dengan santai.


“Ya sudah, Mika selesaiin apel dulu ya. Nanti kita ngobrol om,” kata Almika, dan bergerak ke kamar-kamar lain bersama seorang sipir serta seorang tamping, untuk melakukan apel pagi bagi semua penghuni Blok B.


Aku buru-buru mandi, meski tetap sekadarnya saja. Dan aku sampaikan kepada pak Ramdan, rencana membersihkan bak mandi dilakukan selepas solat Ashar saja, karena setelahnya air untuk semua kamar akan dialirkan oleh tamping air dari pusatnya, sehingga bak kamar mandi bisa langsung terisi.     


Sekitar 15 menit kemudian, sipir Almika telah kembali berdiri di depan kamarku, sementara tamping pemegang kunci membukakan gembok pintu. Aku pun keluar kamar, dan mengikuti langkah Almika. Duduk di gazebo depan kamar pak Edi. Kamar 34.


“Jadi apa ceritanya, kok om dipindah?” tanya Almika, dengan wajah serius.


Aku pun menceritakan semua yang terjadi hingga sampai harus pindah dari kamar 20 ke kamar 30. Almika tampak begitu serius mendengarkan uraianku. Tidak sedikit pun ia memotong pembicaraan, sampai aku selesai menyampaikan seluruh alurnya.


“O gitu ceritanya, om. Ya sudah, itu yang terbaik. Om tetep patuh sama keputusan pimpinan. Mika yakin, pimpinan juga bersimpati sama om,” tanggap sipir Almika dengan suara kalem.


Pak Edi berdiri di pintu kamarnya. Menawarkan minuman kopi. Sipir Almika menolak. Tidak lama kemudian, ia meminta seorang penghuni kamar pak Edi untuk ke kantin, membelikan kami minuman dan makanan ringan. Ia juga langsung memberi uang kepada tahanan yang dimintanya ke kantin. 


Semua tahanan dan napi memahami benar karakter sipir Almika. Ia tidak pernah mau merepotkan penghuni rutan. Apalagi meminta ini dan itu. Karena itulah, ia lebih sering memilih ditugaskan di pos menara dibandingkan di pos-pos lain yang bisa langsung bersentuhan dengan para penghuni rutan. 


“Kok ngelamun, om?” tanya Almika, tiba-tiba. Membuatku terkejut.


“Lagi mikir aja, kenapa kok kamu nggak mau dibuatin minum sama pak Edi, tapi malah minta dibeliin minuman sendiri. Itu kan sama aja nolak rejeki,” kataku, seraya tersenyum. 


“Bukan nolak rejekilah, om. Tapi, Mika nggak mau ngerepotin kawan-kawan WBP. Toh, masih bisa beli sendiri. Kawan-kawan kan disini kondisinya pas-pasan, bisa aja karena kasih minuman buat kita, nanti malem mereka nggak ngopi karena kopinya habis. Beda kalau om yang kasih, ya Mika tetep terimalah. Takut kualat,” jawab Almika, sambil tertawa.


Ketika salah satu penghuni kamar 34 yang diminta Almika membeli minuman dan gorengan telah kembali dari kantin, ia langsung memberikan semua uang kembaliannya.


“Buat saya kembalian ini, pak?” tanya pria berusia 30 tahunan itu, sambil melongo.


“Iya buat kamu. Kan kamu sudah bantu beliin minuman sama gorengan ke kantin, kembaliannya buat kamu, sebagai ucapan terimakasih,” ujar Almika, dengan santai.


“Alhamdulillah. Rejeki anak soleh. Terimakasih, pak,” ucap tahanan itu, seraya membungkukkan badannya. Memberi hormat.


“Eh, nanti dulu. Kamu tadi bilang rejeki anak soleh, emang kamu solat?” tanya Almika.


“Kadang-kadang, pak,” sahut tahanan itu, cengengesan.


“Kalau anak soleh itu, solatnya nggak pernah putus. Lima waktu itu wajib dilakuin. Coba aja jalani, pasti rejekimu bakal makin banyak,” kata Almika, memotivasi.


“Siap, pak. Mulai dhuhur nanti, saya mau solat lima waktu terus,” sahut pria bertubuh kerempeng itu, dan meninggalkan kami yang tetap berada di gazebo. 


Sambil menikmati minuman es cendol dan pisang serta tahu goreng, aku dan Almika meneruskan perbincangan. Ia menanyakan bagaimana penerimaan kawan-kawan di kamar 30 atas kehadiranku sebagai penghuni baru.


“Mayoritas sih, bagus-bagus aja, Mika. Bahkan om langsung ditempatin di lantai atas. Pas pojok bener, sembunyi posisinya. Dibalik tembok kamar mandi,” jelasku.


“Syukur kalau gitu, om. Kalau ada yang ngeselin hati atau ngeremehin, jangan bertindak sendiri ya, om. Kasih tahu aja,  nanti Mika yang bertindak. Sebab, kalau om sampai berbuat macem-macem, risikonya masuk strafsel dan ke depannya nggak bisa ngurus remisi. Kan sayang. Biar Mika yang ambil-alih kalau ada apa-apa sama om,” kata Mika, panjang lebar.


“Siap, Mika. Inshaallah, semua baik-baik aja. Kalau ada satu dua yang sok-sok-an, ya biasa-biasa aja itu mah. Nggak om pusingin,” sahutku.


“Pokoknya, om santai aja. Nikmati dan syukuri aja yang ada. Tetep tampil dengan gaya om selama ini, yang elegan, cuek, dan nggak pernah ngusilin urusan orang lain. Tapi, kalau ada yang sok ngetes-ngetes, om tahan emosi. Kasih tahu aja Mika ya. Mika nggak mau om disini nambah masalah,” lanjut Mika dengan serius.


“Siap, tenang aja, Mika. Om kamu ini sudah tua, sudah lebih sabar dan nrimo. Nggak lagilah mau main kasar-kasaran itu,” jawabku, dengan tegas. (bersambung)

LIPSUS