Oleh, Dalem Tehang
SEIRING perjalanan waktu, semua pintu kamar di Blok B pun dibuka. Saatnya menikmati alam bebas di kawasan rutan untuk semua tahanan, sekaligus pertanda sebentar lagi waktunya solat Dhuhur. Sipir Almika berpamitan, kembali ke tempat tugasnya. Pos menara depan.
“Gorengannya bawa ke kamar aja, om. Sayang kalau ditinggalin disini,” ucap Almika.
Setelah merapihkan kembali bungkusan gorengan, aku pun kembali ke kamar. Pak Waras langsung menyambutku, dan mengajak ke masjid. Bungkusan gorengan, ku berikan kepada Anton, yang masih asyik bermain catur.
“Om deket ya sama pak Almika?” tanya kap Yasin, yang tengah duduk santai sambil menghisap rokok di tangannya.
“Iya, deket emang, kap. Ayahnya kawan sejak kami masih muda dulu. Kenapa,” sahutku.
“Nggak apa-apa sih, om. Tadi pas ngelihat om sama pak Almika lagi ngobrol, kayaknya deket bener hubungannya. Syukurlah om kalau deket sama pak Almika. Dia itu salah satu sipir yang disegani disini. Nggak pernah ngerepotin tahanan, tapi langsung turun tangan kalau ada yang perlu bantuan,” urai kap Yasin, sambil mengacungkan jempol tangannya.
Aku tersenyum. Turut bangga karena mengenal dekat sipir Almika, yang memang dikenal sebagai petugas penjaga rutan yang baik hati dan santun. Setelah mengambil kain sarung dan kupluk, aku mengikuti langkah pak Waras.
Ketika melewati kamar 20, Rudy tepat akan keluar kamar, juga membawa kain sarung dan telah memakai kopiahnya. Napi berusia 27 tahunan itu langsung menyalamiku.
“Om sehat-sehat aja ya. Nggak bete kan di kamar yang baru,” kata dia, saat kami jalan berdampingan menuju ruang pintu utama Blok B.
“Alhamdulillah, om sehat, Rud. Asyik malahan di kamar 30 itu. Ramai suasananya. Banyak kegiatan kawan-kawan juga, jadi nggak bete,” jawabku, dengan santai.
“O iya, om. Semalem habis kasih tausiyah setelah solat isya, ustadz Umar tanyain om. Kenapa kok nggak pernah jamaahan lagi,” ujar Rudy.
“Terus, kamu jawab apa?” tanyaku, dengan cepat.
“Ya Rudy bilang, kalau om sekarang pindah ke kamar 30. Jadi, bisa ikut jamaahan di masjid cuma pas solat dhuhur sama ashar aja. Selebihnya, om solat di kamar,” jelas Rudy.
“Alhamdulillah, terimakasih ya, Rud. Inshaallah nanti om ikut kultum abis asharan,” kataku, sambil menepuk bahu Rudy.
Sesampai di masjid, aku langsung solat sunah dan membaca wirid. Hingga adzan Dhuhur menggema. Dilanjutkan dengan solat berjamaah. Baru saja selesai berdoa, pak Waras mengajakku kembali ke kamar.
“Kenapa buru-buru sih, pak. Santai sedikit emang kenapa,” kataku kepada pak Waras.
“Kita kan mau apel siang, be. Kalau nggak lengkap, nanti semua kena hukuman. Disuruh push up dan sebagainya,” ucap pak Waras.
“Oh ya, emang kayak gitu, pak?” tanyaku.
“Babe kan nggak rasain lama di kamar penaling, langsung ke kamar forman. Makanya nggak tahu bedanya perlakuan sipir sama tahanan di setiap kamar,” jelas pak Waras, sambil tersenyum kecut.
Terburu-burulah kami meninggalkan masjid untuk kembali ke kamar. Dan benar saja. Baru beberapa menit masuk kamar, apel siang dilaksanakan.
Sipir yang bertugas didampingi tamping, memerintahkan semua penghuni kamar berdiri dengan posisi berbaris di ruang depan. Dan berhitung secara berurutan hingga 12. Sipir menanyakan kepada tamping sudah lengkap belum isi kamar kami. Tamping yang memegang catatan data pengisi kamar, menganggukkan kepalanya.
“Bagus kalau gitu. Tetep jaga kesehatan dan patuhi aturan yang ada,” kata sipir itu, seraya memandangi 12 orang penghuni kamar 30.
Tidak lama kemudia, kap Yasin memerintahkan pak Ramdan dan beberapa penghuni lain untuk menyiapkan makan siang. Duduk melingkar di lantai bagian dalam kamar tahanan, kami pun menikmati makanan yang ada. Yang penting perut terganjal.
Selepas makan, aku duduk di ruang depan. Di bidang tempat tidur pak Waras. Keasyikanku menikmati sebatang rokok menjadi terusik saat Beni meminta rokok dengan setengah memaksa.
“Kalau minta itu, ngomongnya baik-baiklah, Ben. Jangan ninggi gitu. Emang aku ini anak buah kamu apa,” kataku.
“Habis, om sok bener sih. Sejak semalem aku minta dibeliin makanan sampai minta rokok juga, nggak ditanggepi,” sahut pria berbadan tinggi besar yang dikenal sebagai debt collector itu.
“Emang kalau aku nggak mau kasih, kenapa?” tanyaku, tetap dengan suara santai.
Beni terdiam. Tampak rahangnya bergerak-gerak. Menahan emosi. Aku menyadari, perilaku arogan pria ini adalah bagian dari ujian tersendiri untukku. Karena Tuhan akan menguji kita dengan sesuatu yang kita sukai atau tidak kita sukai. Namun, aku memahami benar, bahwa Dia tak akan menguji dengan sesuatu yag kita tidak sanggup untuk menanggungnya.
“Jadi, sebenernya mau om ini apa? Mau nyoba keilmuanku?” tanya Beni, ada nada tinggi dan menekan di dalam ucapannya.
“Kamu salah kalau tanya aku, Ben. Kamu yang mestinya jelasin, mau kamu apa, kok kayaknya nggak seneng bener sama aku. Soal kamu minta ini atau itu, kalau aku nggak mau kasih, emang kenapa,” jawabku, juga dengan nada tinggi.
Kembali Beni terdiam. Kap Yasin langsung menengahi, dengan memberi Beni sebatang rokoknya. Pria yang tersangkut kasus perampasan dan penganiayaan itu, tampak belum puas meski telah mendapat rokok. Matanya terus menatapku dengan letupan amarah.
Beberapa kali pak Waras menepuk-nepuk kakiku, yang berada tepat di samping ia duduk. Menenangkan. Mengingatkan agar aku terus bisa mengendalikan diri. Dan mendadak aku teringat filosofi bawang: yang sering disakiti, bahkan dipotong-potong, tetapi tidak pernah menangis. Yang menangis justru yang menyakiti dan memotong. (bersambung)