Oleh, Dalem Tehang
SETELAH menghisap rokok pemberian kap Yasin hingga habis, Beni beranjak dari ruang depan. Masuk ke dalam dan merebahkan badannya di bidang tempat ia tidur.
Aku, pak Waras, dan kap Yasin masih berbincang di ruang depan. Bercerita mengenai berbagai hal. Utamanya kap Yasin menguraikan bagaimana lika-liku ia menjalani kehidupan sebagai pemasok barang haram, hingga tertangkap dan mendekam di sel selama bertahun-tahun.
“Begitu keluar lapas, aku bingung. Mau kerja apa. Karena pusing nggak tahu harus kayak mana, apalagi kebutuhan keluarga kan nggak bisa ditunda-tunda, akhirnya aku gabung lagi sama kawan-kawan lama, masih di urusan jualan narkoba. Eh, ketangkep lagi, dan sekarang ada di kamar ini,” tutur kap Yasin, dengan terus menghisap rokok yang ada di jari tangannya.
“Kehidupan ini emang isinya ujian, kap. Saat kita ikhlas sama ujian yang sekarang misalnya, terkadang Allah akan kasih lagi ujian yang lebih berat. Ketika kita sudah ikhlas sama ujian susulan itu, saking cinta sama kita, Allah kasih ujian yang lebih berat lagi. Gulirannya kayak gitu,” kata pak Waras, menimpali.
“Ya, tapi sampai kapan diuji terus, pak?” tanya kap Yasin, setengah mengeluh.
“Nanti, saat kita semakin ikhlas sama apapun ujian yang didatangkan Allah, kita akan mahami kalau nggak ada sehebat-hebat penolong kalau bukan Allah. Waktu kita sudah mahami dan nyadari sepenuh hati itulah, Allah akan kasih kenikmatan dan hidayah buat kita,” tanggap pak Waras.
“Orang kan cuma ngelihat sesuatu yang tampak aja sih, pak. Nggak rasain sakitnya sebuah proses,” ujar kap Yasin, menimpali.
“Lah, ngapain mikirin penilaian orang, kap. Nggak ada gunanya itu. Berbuat apapun kita, tujuannya semata-mata cari ridho Yang Kuasa aja. Kita bertaubat dan belajar agama, ya karena cari ridho-Nya. Bukan biar kita dianggep sudah jadi orang baik atau sudah sadar dari kenakalan kita,” sahut pak Waras.
Kap Yasin mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku pun terus mendengarkan pencerahan yang disampaikan pak Waras. Yang memang memiliki pengetahuan cukup matang dalam berbagai hal.
“Jadi, semua kita pasti diuji ya, pak. Termasuk orang-orang pinter dan yang alim-alim itu?” tanya kap Yasin lagi.
“Iya, semua manusia pasti diuji, kap. Masing-masing punya ujiannya sendiri. Kayak kita diuji masuk bui. Ada kawan yang diuji anaknya ninggal. Rumahnya kebakaran, istrinya kabur. Orang yang berilmu juga diuji, ujiannya adalah kesombongan. Sedang orang alim, ujiannya atau penyakitnya adalah kesyirikan dan riya,” jelas pak Waras.
“Kalau nurut pak Waras, sebenernya apa yang kita miliki di dunia ini,” ujar kap Yasin, sambil memandang pak Waras dengan wajah serius.
“Sebenernya, kita semua cuma punya dosa dan amal kebaikan, kap. Selain itu, nggak ada yang bener-bener punya kita. Semua hanya titipan Yang Kuasa aja,” jawab pak Waras.
“Kira-kira, dengan begini banyaknya dosaku, diterima nggak ibadahku ya, pak?” kembali kap Yasin bertanya.
“Wallahua’lam kalau soal itu, kap. Tapi kalau nurut Al Imam Ibn Athoillah As-Sakandari, tidak jarang kemaksiatan yang menorehkan rasa hina dan terpecahnya hati, jauh lebih baik dari ketaatan yang mencetuskan rasa mulia dan sombong. Nurut aku sih, terusin aja ibadah dan perbuatan baik kap selama ini. Allah itu lebih seneng sama taubatnya seorang begajulan ketimbang sujudnya orang alim yang sombong,” urai pak Waras.
“Intinya, kita kuatin niat, jangan sombong tapi rendah hati, gitu ya, pak,” kata kap Yasin, dan kembali menyulut sebatang rokok.
“Sederhananya ya gitulah, kap. Aku pernah baca sebuah buku, dulu waktu masih sering ceramah, seorang filosof pernah nulis begini: aku malu kepada-Mu ya, Rabb. Yang tak berdaya tapi merasa kuasa, yang tak punya apa-apa tapi merasa sombong. Aku yang dicipta tapi seringkali merasa seperti yang mencipta dan berkuasa. Kalimatnya sederhana memang, kap. Tapi coba dalami maknanya. Itu sebuah pengakuan jujur seorang makhluk kepada khaliqnya,” kata pak Waras lagi.
Tiba-tiba datang empat orang sipir didampingi tamping kunci. Begitu pintu kamar dibuka, mereka langsung masuk kamar dan menarik Beni yang tengah rebahan.
“Ada apa, pak? Jangan main tarik gini dong?” teriak Beni, mencoba meronta.
“Kalau nggak mau ditarik, sekarang bangun dan ikut kami,” kata salah satu sipir, sambil memerintahkan ia memakai kaos.
Dengan wajah pucat pasi, Beni mengikuti langkah para sipir yang menjemputnya. Tampak ada kegamangan luar biasa pada sorot matanya.
“Beni kenapa, kap?” tanya pak Ramdan, yang terbangun dari tidur siangnya.
Kap Yasin hanya mengangkat bahunya. Mengisyaratkan bila ia sendiri belum mengetahui masalahnya. Pak Waras menatapku, aku pun mengangkat bahu. Kehidupan di dalam penjara memang penuh dinamika, yang acapkali tidak pernah terduga kejadiannya.
Rudy tiba-tiba telah berdiri di balik jeruji besi. Aku mendekat ke posisinya. Ia juga menanyakan mengenai masalah Beni. Aku kembali hanya mengangkat bahu, karena benar-benar tidak mengetahuinya.
“Rudy cari tahu ya, om,” kata Rudy, beberapa saat kemudian.
“Buat apa nambah-nambah urusan sih, Rud. Nggak usah pengen tahu sama hal-hal yang nggak ada urusannya sama pribadimu. Kepo amat kamu jadi orang,” jawabku.
“Ya biar tahu aja, om,” ucapnya, pendek.
“Terus kalau sudah tahu, kamu mau sebarin ke kawan-kawan, gitu ya. Manfaatnya apa buat kamu, nggak ada kan. Malahan kamu ngeghibah, nambah-nambah dosa aja,” tanggapku lagi.
Rudy tersenyum, dan tidak lama kemudian bergerak dari balik jeruji besi kamarku. Mulai terdengar suara para penghuni rutan keluar kamar masing-masing. Pertanda tamping kunci tengah melakukan tugasnya. Membuka semua gembok pintu sel yang ada di Blok B. Saatnya bagi kami semua menikmati alam nan segar di luar kamar.
Aku keluar kamar dengan membawa kain sarung dan kupluk. Sekalian untuk solat Ashar berjamaah ketika waktunya tiba. Berjalan keluar pintu utama Blok B, aku duduk di selasar. Menonton kawan-kawan yang akan memulai permainan sepakbola dan bola volly.
Gerry duduk di sampingku. Membawa dua botol minuman dan sebungkus gorengan. Ia menanyakan mengapa aku pindah kamar. karena kabar aku bergeser dari kamar forman telah menjadi obrolan banyak WBP saat berkumpul di kantin.
“Kenapa orang jadi pada kepo ya gara-gara aku pindah kamar,” kataku, sambil menikmati minuman yang diberikan Gerry.
“Itu juga yang buatku bingung, bang. Kenapa cuma urusan abang pindah kamar aja jadi bahasan. Padahal, aku yang senior aja, pindah kamar nggak ada yang ngopeni,” sahut Gerry, seraya tertawa ngakak.
“Apapun penyebabnya aku pindah, tetep aku bersyukur aja, Ger. Toh, nggak jadi susah-susah amat juga di kamar yang baru,” jelasku, dengan santai.
“Inilah yang aku suka sama abang, tetap santai aja jalani kondisi apapun,” ucap Gerry, menyela.
“Ya mau kayak mana lagi kita jalani hidup disini kalau nggak dibawa lapang dada dan santai-santai aja, Gerry. Nurutku, saat hati kita lapang nerima kenyataan, Tuhan pasti akan beri kemudahan-kemudahan dalam berbagai hal. Dan juga, kelapangan rejeki itu berbanding lurus sama lapangnya hati kita,” kataku, sambil menepuk bahu Gerry dengan senyuman.
“Tapi kan, dengan dipindah dari kamar terbuka ke kamar biasa, sama aja nebang abang dari kebebasan,” tanggap Gerry.
“Nggak gitu jugalah, Ger. Ada yang pernah bilang: selagi akarnya masih hidup, menebang paksa sebuah pohon, nggak bakal buatnya mati. Jadi, ya santai-santai ajalah,” sahutku, kembali dengan tersenyum. (bersambung)