Oleh, Dalem Tehang
SUARA adzan Ashar menggema dari masjid. Aku pun meninggalkan Gerry yang masih duduk di selasar. Menonton kawan-kawan yang bermain sepakbola.
Seusai berwudhu, aku memilih tempat di sudut kanan masjid. Sambil menunggu solat berjamaah, aku solat sunah dan membaca beberapa doa.
Selepas solat berjamaah, aku menyandarkan badan pada tiang masjid. Ingin mendengarkan tausiyah ustadz Umar. Yang beberapa hari ini tidak pernah lagi aku nikmati siraman rohaninya.
Pak Waras, pak Anas, pak Sibli, Rudy, dan Aris duduk mendekat ke posisiku. Seakan membuat kelompok pendengar kultum tersendiri, memisah dari para anggota majelis taklim.
Ustadz Umar memulai tausiyahnya dengan menyatakan, apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, dijadikan hatinya tidak mengingat amal kebaikannya, dan dijadikan lisannya tak ingin mengabarkan amalnya kepada sesama. Allah menjadikannya sibuk mengingat dosa-dosanya.
“Syech Abdul Qadir Jaelani mengatakan: jangan sekali-kali kalian berbangga-bangga dengan amal-amalmu, karena berbangga diri dapat merusak dan membinasakan amal. Barang siapa memilih pertolongan Allah, hilanglah kebanggaan akan amalnya,” lanjut ustadz Umar.
Dilanjutkan, Imam Qotadah pernah berpesan: hendaklah seseorang rela dengan takdirnya, karena sesungguhnya takdir Allah untuk orang-orang mukmin dalam hal yang tidak disukai, lebih baik bagi mereka dari ketentuan Allah yang mereka sukai.
“Dan agar ujian yang tengah kita hadapi ini terasa ringan, kita harus mengetahui dan menyadari benar bahwa Allah-lah yang memberi ujian. Dzat yang menetapkan beragam takdir atas diri kita adalah Dzat yang selalu memberi pilihan terbaik,” sambung ustadz Umar.
Ditambahkan, sesuatu yang manusiawi bila kita menangis dan bercucuran air mata. Karena terkadang, air mata dibutuhkan tidak hanya untuk membersihkan mata, tetapi juga membersihkan hati agar kita bisa melihat dunia ini dengan lebih jernih.
“Menangislah di saat-saat sepi, semoga Rabbmu melihat dirimu, sehingga Dia pun memberikan rahmat karena tangisanmu, sehingga kamu termasuk orang yang beruntung. Begitu dikatakan Imam Al Hasan Al Bashri di dalam bukunya Ar-Riqqoh wa Buka’,” kata ustadz Umar lagi.
Mengakhiri kultum menjelang senja itu, mantan dosen ini mengingatkan, bila kita bukan satu-satunya manusia yang merasakan kesulitan dalam hidup. Kita semua sama, sama-sama memiliki kesulitannya sendiri.
“Hanya saja, beberapa orang di antara kita memilih menutupinya dengan pura-pura bahagia, beberapa lainnya menerima dengan ikhlas yang luar biasa, namun tidak sedikit pula yang menceritakannya kepada dunia. Nah, kita berada di posisi yang mana, untuk itulah kita perlu terus bermuhasabah,” tutur ustadz Umar dan mengakhiri kultumnya.
Sebelum meninggalkan masjid, aku mendatangi ustadz Umar. Menyalaminya dengan kedua tangan. Penuh rasa hormat layaknya seorang santri kepada gurunya.
“Alhamdulillah, pak Mario sehat-sehat ya. Beberapa hari lalu saya tanya ke Rudy, kok pak Mario tidak pernah ikut jamaahan maghrib dan isya lagi, ternyata pindah kamar ya,” kata ustadz Umar dengan gayanya yang kalem dan santun.
“Iya, ustadz. Saya pindah kamar. Jadi bisa ke masjid kalau dhuhur sama ashar saja,” jawabku.
“Ya sudah tidak apa-apa, pak. Dimanapun di bumi Allah, kita tetep bisa bersujud. Yang penting, tetep istiqomah dan diusahakan solatnya berjamaah dengan kawan-kawan di kamar,” tanggap ustadz Umar, seraya melepas senyum yang penuh keteduhan.
“Inshaallah, saya bisa istiqomah, ustadz. Mohon doanya. Alhamdulillah, selama ini, di kamar juga solatnya berjamaah untuk maghrib, isya, dan subuh. Pak Waras yang menjadi imamnya,” jelasku.
“Kenapa pak Mario tidak sesekali menjadi imam? Mulailah mengimami solat wajib ya,” tanggap ustadz Umar.
“Bacaan saya masih blekak-blekuk kalau kata orang Jawa, ustadz. Belum fasih. Inshaallah, nanti kalau sudah semakin baik bacaannya, saya akan mencoba mengimami solat di kamar,” sahutku, seraya tersenyum.
“Teruskan membaca Alqur’annya ya, pak. Kalau sudah khatam sekali, mulai lagi. Terus saja begitu. Menurut seorang ulama, ada empat hal yang mengangkat manusia ke derajat tinggi meski amal dan ilmunya sedikit, yaitu kesabaran, kesederhanaan, kemurahan hati, dan akhlak yang baik. Itu semua bisa kita dapatkan melalui membaca Alqur’an secara rutin,” kata ustadz Umar lagi.
Dan setelah berpamitan dengan kembali menyalaminya penuh rasa hormat, aku pun meninggalkan masjid. Ternyata, pak Waras, pak Anas, dan pak Sibli masih menungguku di teras.
“Sudah selesai ngobrolnya sama pak ustadz ya, bang. Kalau sudah, ayo kita ke kantin. Aku pengen traktir makan bakso,” kata pak Sibli.
“Sudah, Alhamdulillah banyak wejangan beliau. Adem hati ini. Ayo, kalau gitu kita ke kantin. Emang lagi kepengen makan bakso sejak pagi tadi. Pas bener kalau pak Sibli ngajak,” kataku, dan kami berempat berjalan beriringan menuju kantin.
Sambil menikmati bakso, kami berbincang kesana-kemari. Suasana kantin petang itu sangat padat. Puluhan WBP berkumpul disana. Banyak yang memang berbelanja atau makan di tempat, tidak sedikit yang sekadar kongkow dengan sesama.
Ketika tanda seluruh WBP harus kembali ke sel masing-masing telah terdengar dari pos penjagaan dalam, pak Sibli langsung membayar semua makanan yang kami nikmati. Ia membelikanku rokok dua bungkus.
“Banyak amat, pak. Satu aja cukup,” kataku, ketika ia memberikan dua bungkus rokok.
“Kalau rokok kan nggak mungkin abang buang. Lagian, nggak jadi busuk juga kalau lama disimpen. Tenang aja sih, bang. Mumpung ada, kita berbagi. Jangan abang aja yang sering traktir kami,” ucap pak Sibli, seraya tertawa.
Pak Sibli dan pak Anas masuk ke selnya, kamar 19, aku dan pak Waras melanjutkan langkah untuk masuk ke tempat kami di kamar 30. Saat masuk kamar, baru aku ingat bila telah berencana akan membersihkan bak kamar mandi dengan pak Ramdan.
“Maaf, pak. Lupa aku kalau janji sore ini bersihin bak kamar mandi,” kataku kepada pak Ramdan yang tampak baru mandi sore.
“Nggak apa-apa, om. Tadi aku emang mau ngingetin, tapi aku lihat om ke kantin sama pak Waras dan dua orang lagi. Jadi, aku kerjain sendiri aja bersihin bak kamar mandinya,” jawab pak Ramdan dengan nada santai.
“Jadi, sudah pak Ramdan bersihin sendiri?” tanyaku.
“Iya, sudah. Lihat aja sama om. Sudah bersih kalau nurut aku sih. Tapi kalau nurut om kurang bersih, besok pagi-pagi, kita bersihin lagi. Digosok lagi biar lumut-lumutnya lepas semua,” kata pak Ramdan.
Aku masuk ke kamar mandi. Ku periksa bak mandinya. Alhamdulillah, sudah lumayan bersih.
“Alhamdulillah, bersih, pak. Hebat pak Ramdan, bisa bersihin bak sendirian. Kita agendain seminggu sekali aja bersihinnya, jadi nggak sampai berkarat-karat gitu lumutnya,” kataku, dan mengacungkan kedua jempol ke arah OD kamar 30 yang telah berusia di atas 60 tahun itu.
Pak Ramdan tersenyum sumringah mendapat pujianku. Dan aku pun memberinya satu bungkus rokok yang tadi dibelikan pak Sibli. Pria dengan rambut telah memutih semua itu, kembali tersenyum. Ada rona bahagia di wajahnya yang mulai berkeriput disana-sini. (bersambung)