Oleh, Dalem Tehang
SEUSAI solat Maghrib berjamaah di kamar, aku membaca Alqur’an. Juga pak Waras, dan kap Yasin. Duduk bersila di ruang bagian depan, suara kami membaca ayat-ayat Tuhan, terdengar hingga ke luar kamar.
Tiba-tiba seorang sipir datang. Memberitahu kap Yasin, jika Beni saat ini berada di strafsel. Pria berprofesi sebagai debt collector dan tersangkut kasus penganiayaan serta perampasan itu, akan menjalani kehidupannya di dalam sel tikus selama dua pekan.
“Selesai dari strafsel dia masuk kesini lagi apa nggak ya, pak?” tanya kap Yasin kepada sipir tersebut.
“Itu terserah kap aja. Kalau kap sama temen-temen disini masih nerima, ya dia masuk sini lagi. Tapi kalau nggak, cepet aja ajuin ke penanggungjawab blok. Nanti dia yang akan atur penempatan selanjutnya,” jelas sipir itu.
“Terimakasih sarannya, pak. Juga terimakasih informasinya,” sahut kap Yasin.
Sepeninggal sipir, kap Yasin memerintahkan pak Ramdan untuk melipat kasur tipis milik Beni. Dan menaruhnya di balik pintu bagian dalam. Juga bantal dan gulingnya, diikat menjadi satu.
Adzan Isya terdengar dari masjid. Pak Waras meminta pak Ramdan menyusun sajadah untuk kami solat berjamaah. Setelah suara adzan selesai, kami langsung solat.
Selepas solat dan mengikuti doa yang dipimpin pak Waras, aku berdiri di jeruji besi. Memandang ke kamar-kamar lain yang berada di seberang taman. Tampak mayoritas penghuninya masih melaksanakan solat juga. Terasa adem batinku melihat cukup banyak tahanan yang menjalankan ibadahnya.
“Ayo kita makan, om,” terdengar suara Anton memanggilku. Dan kami pun makan malam bersama.
Setiap tiga orang mendapat jatah satu tempat makan catering dari dapur rutan. Untuk setiap catering dapur, kami harus membayar Rp 75 ribu per-minggunya. Dengan dua kali pengiriman, siang dan petang.
Sambil menikmati makan malam, kap Yasin menyampaikan informasi kepada semua penghuni kamar 30, bila kini Beni tengah di strafsel, sampai dua minggu ke depan.
“Soal kasusnya apa, aku nggak tahu. Dan kita baikan emang nggak perlu tahu. Yang aku pengen tahu, gimana Beni ke depannya nurut kawan-kawan. Apa dia balik ke kamar kita lagi, atau kayak mana,” ujar kap Yasin, sambil memandangi kami satu demi satu.
Semua hanya diam. Saling menatap antar-sesama. Ada sebuah keengganan untuk menyampaikan pendapat. Bukan saja karena ini di dalam rutan, yang penuh dengan intrik dan saling mengintip untuk menjatuhkan, tetapi juga pembawaan Beni yang mendominasi dan dikenal sebagai preman kamar 30. Ada kekhawatiran tersendiri pada kawan-kawan untuk bersuara.
“Kalau pendapat om Mario kayak mana?” tiba-tiba kap Yasin bertanya kepadaku.
“Aku baru tahu Beni sejak disini, kap. Sebelumnya nggak kenal. Tapi yang ku lihat, pembawaan dia yang sok jagoan itu buatku nggak nyaman. Baiknya sih, dia nggak usah balik kesini setelah dari strafsel nanti. Itu kalau nurut aku, tapi semua tergantung kawan-kawan juga,” kataku, dengan tegas.
Tampak wajah kap Yasin memerah. Terkejut mendengar pendapatku. Pak Waras juga menatapku dengan pandangan serius. Sementara, beberapa kawan yang lain, mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Coba yang lain kasih pendapat,” kata kap Yasin, beberapa saat kemudian.
“Aku setuju sama omongan om Mario tadi, kap. Baiknya, om Beni emang nggak usah balik kesini lagi. Biar kami yang muda-muda ini juga ngerasa tenang karena nggak ada dia lagi,” ujar Anton.
Mendengar perkataan Anton, beberapa tahanan yang berusia di bawah 30 tahunan, menunjukkan persetujuannya. Dengan mengacungkan jempol ke arah bendahara kamar 30 itu.
“Jadi, mayoritas kawan-kawan nggak pengen Beni balik kesini lagi ya. Gitu ya?” tanya kap Yasin, dengan wajah serius.
“Iya, mayoritas emang nggak pengen Beni balik kesini lagi, kap,” kata pak Ramdan, menimpali.
“Ya sudah kalau gitu maunya kawan-kawan, aku ikut aja. Besok aku sama om Mario ngadep pegawai penanggungjawab blok, nyampein maunya kawan-kawan. Moga-moga aja dipenuhi,” ujar kap Yasin.
“Kenapa sama aku, kap?” tanyaku, spontan.
“Biar ada saksi kalau aku bawa aspirasi kawan-kawan, om. Lagian, kan om yang memulai pendapat, Beni nggak usah balik kesini setelah dari strafsel nanti,” sahut kap Yasin, sambil tersenyum.
Mendengar penjelasan kap Yasin, aku hanya tersenyum. Pria yang dikenal pendiam ini, ternyata cukup cerdik dalam memainkan perannya sebagai kap kamar. Saat itu, ku akui kebenaran perkataan seorang sahabat, seorang yang pendiam –sebenarnya- tidaklah bodoh. Justru sebaliknya, ia adalah pengamat yang sangat baik. Ia tahu banyak hal, hanya saja enggan mengumbarnya, dan ia merupakan sosok yang luar biasa.
“Om mau kan besok temani aku nemui pegawai penanggungjawab blok?” tanya kap Yasin, setelah diam beberapa saat.
“Siap perintah, kap!” jawabku, singkat dan tegas.
Seusai makan malam, aku dan beberapa penghuni kamar, duduk di ruang depan. Sambil menunggu lantai tempat makan dibersihkan untuk kemudian ditaruhkan kembali kasur-kasur di atasnya.
“Coba dulu, pak Waras. Kasih cerita yang ringan tapi bisa jadi perenungan,” kata kap Yasin, yang tengah duduk santai sambil merokok.
Pak Waras mengernyitkan dahinya. Sesaat. Memikirkan cerita apa yang tepat sesuai keinginan kap kamar 30 tersebut. Ringan namun bisa menjadi perenungan.
“Jangan lama-lama ngernyitin dahinya, pak. Nambah keliatan tuanya,” ujar Anton, seraya tertawa.
Kami semua tertawa mendengar celetukan Anton, pun pak Waras. Suasana kamar 30 memang lebih ramai karena berpenghuni 11 orang setelah Beni sedang masuk strafsel. Sangat berbeda dengan selku sebelumnya, yang hanya berisi empat orang. Itu juga lebih banyak aku dan Rudy saja yang berada di dalam kamar. Dino dan Basri menghabiskan waktunya di luar kamar.
“Oke, aku sudah dapet ceritanya, kap. Ringan tapi bisa jadi perenungan. Cerita ini aku baca dari sebuah media. Entah apa nama medianya, aku sudah lupa,” kata pak Waras, beberapa saat kemudian.
“Lanjut, pak. Ayo, pada kesini yang lagi nggak ada kegiatan. Dengerin pak Waras cerita,” ucap kap Yasin, memanggil kawan-kawan lain yang saat itu hanya merebahkan badan. Mengisi kekosongan, meningkahi kejenuhan. (bersambung)