Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 353)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Senin, 19 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang 


INI cerita tentang laut. Ada seorang anak bermain di laut, mendadak sepatunya yang ditaruh di pinggir pantai, hilang karena dibawa ombak ke tengah lautan. Karena kesal, dia nulis di pinggir pantai, di atas pasir: laut maling. Saat bersamaan, datang nelayan melabuhkan kapalnya. Banyak hasil tangkapannya. Ia menulis di pasir pinggiran pantai: laut baik hati. Tiba-tiba, ada seorang ibu menangis histeris, anaknya dibawa ombak dan tenggelam di lautan. Dia pun menulis di pasir pantai: laut pembunuh. Serombongan remaja yang sedang asyik berperahu mendadak dihantam badai, buru-buru mereka ke pantai, dan menulis: laut penuh marabahaya. Lalu, ada seorang laki-laki menemukan mutiara setelah menyelam, dia menulis di pasir tepian pantai: laut pembawa berkah. Dengan beragam tulisan sebagai ekspresi manusia terhadapnya itu, seisi lautan tidak pernah mengeluh. Dan datanglah ombak besar, menghapus semua tulisan di atas pasir pada tepian pantai, tanpa sisa,” tutur pak Waras, dengan suara kalem.


“Luar biasa ceritanya, pak. Nggak salah kalau aku minta pak Waras sering-sering kasih cerita kayak gini buat kami,” ujar kap Yasin, yang spontan menyalami pak Waras.


“Jadi, intinya apa cerita itu, pak?” tanya pak Ramdan.


“Seperti kata kap tadi, ceritain sesuatu yang ringan tapi bisa jadi perenungan. Ya, renungin aja sendiri. Apa yang bisa kita dapet dari ceritanya. Perenungan itu kan sangat pribadi. Kita masing-masing berhak dapetin nilai sendiri dari kisah laut tadi,” jawab pak Waras, seraya tersenyum.


“Kalau pak Waras sendiri, apa perenungan yang didapet dari cerita laut itu?” tanya pak Ramdan lagi.


“Itu buat pribadiku aja, pak. Aku nggak mau hasil perenunganku jadi semacam penekanan biar kita sepemahaman. Kalau belum bisa dapetin nilai dari cerita tadi, ambil jeda dulu, kasih ruang buat logika untuk mengkancahnya,” ujar pak Waras, tetap dengan tersenyum. 


Ku pandangi wajah pak Waras, teduh tanpa ekspresi. Ku akui kepiawaiannya dalam menebar motivasi. Ada kebahagiaan tersendiri di jiwaku berada di kamar 30 ini. Meski secara lahiriyah cukup sumpek.


Lamat-lamat terdengar suara puji-pujian kepada Tuhan Yesus. Yang senandungnya terbawa oleh semilir angin. Kami saling berpandangan.


“Itu kawan-kawan tamping gereja lagi nyanyiin puja-puji buat Tuhannya, Yesus. Mereka ada di kamar 7, tepat di samping kamarku sebelum pindah kesini,” kata pak Waras, menjawab pertanyaan di hati kami.


“O gitu, pak. Emang kenapa mereka pada nyanyi-nyanyi gitu ya? Tiap malem nggak?” tanya Anton, tampak penasaran.


“Kalau kita berdzikir, mereka nyampeiin pengagungan kepada Tuhan Yesus dengan cara bernyanyi. Kan sebentar lagi mau Natal, jadi pola ibadah mereka ya bertambah,” jawab pak Waras.


“O iya ya, sebentar lagi Natal. Pantes aja sejak kemarin aku lihat gereja mulai ramai kegiatannya. Juga dipasangi berbagai ornamen Natal,” ujar pak Ramdan.


“Situasi ini yang buatku kagum sama rutan. Semua penghuninya dikasih kesempatan yang sama buat jalani ajaran agamanya, dan semua kita saling ngehargai. Jujur, kebersamaan kayak gini, baru aku rasain setelah di dalem penjara,” tutur pak Waras, dengan wajah serius. 


“Kan biasa juga sih pak sama situasi di luar, semua juga saling ngehargai keyakinan masing-masing,” tanggap kap Yasin.


“Kalau di kampungku beda, kap. Faktor mayoritas, sering ngeberangus hak orang lain buat jalani agamanya. Sehingga, yang minoritas terpaksa cari-cari kesempatan sendiri buat lakuin ibadahnya. Nggak tahu kalau di tempat kawan-kawan,” kata pak Waras lagi.


“Di tempatku juga baik kok hubungan antar-agamanya, pak. Bahkan, kami ikut ngejaga keamanan sekitar gereja waktu saudara-saudara kita nonmuslim lakuin ibadah Natalannya,” ucap Anton. 


“Itu sebenernya yang bagus. Saling ngehargai agama masing-masing. Kalau kata Alqur’an: lakum dinukum waliyadin. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku. Allah aja ngasih pilihan buat makhluk yang Ia ciptain mau nganut agama apa, kenapa kok kita sesama makhluk ngerasa lebih kuasa dari Sang Pencipta. Ini yang sering aku nggak ngerti,” lanjut pak Waras.   


“Emang banyak hal di langit dan di bumi ini yang jauh dari jangkauan pikiran kita, pak. Karena kita sebagai makhluk, cuma dikasih sedikit ilmu oleh Sang Khaliq. Itulah hebatnya Allah,” kata kap Yasin.


Pak Waras manggut-manggut, sambil sesekali batuk. Aku dan kawan-kawan terus menelaah berbagai perbincangan yang mengemuka. Mengisi otak untuk menepis kepenatan, menambah pengetahuan pada kehidupan penuh keterkungkungan.


“Kehidupan ini emang penuh misteri, dan yang tampak, seringkali nggak sesuai sama yang sebenernya ya, pak,” kata kap Yasin, melanjutkan pembicaraan.


“Bener itu, kap. Kawanku dulu pernah bilang: jangan ketipu sama terangnya bulan, karena di balik itu ada sisi gelapnya. Juga jangan menghina kelemahan malam, karena di baliknya masih ada setitik cahaya,” tanggap pak Waras, sambil tersenyum.


“Maksud sebenernya apa itu, pak?” tanyaku, mulai ikut menimbrung dalam obrolan.


“Kalau kata kawanku, ya begitulah kehidupan, be. Jangan terlalu silau sama sesuatu yang tampak mewah penampilannya, karena belum tentu cerminkan kepribadian. Juga, jangan menghina yang kelihatan sederhana, karena bisa aja di balik itu semua tersembunyi sesuatu yang mempesona. Intinya, mata boleh melihat dengan jelas, tapi hati yang bisa ngenilai dengan jujur,” tutur pak Waras. 


Tiba-tiba mata kap Yasin memandang ke arah jeruji besi, seraya menganggukkan kepala. Aku menengok ke atas, karena posisiku bersandar di tembok tepat di bawah jeruji besi. Selintas aku melihat sosok sipir Mirwan berdiri di balik jeruji besi.


“Om Mario disini ya, kap?” tanya sipir Mirwan kepada kap Yasin. 


Tanpa menjawab, kap Yasin menunjuk posisiku yang tengah duduk tepat di bawah jeruji besi tempat sipir Mirwan berdiri. Spontan aku pun bangun dari duduk, dan langsung menyalami sipir muda yang selama ini dekat denganku itu.


“Kangen ya, Mirwan. Kemana aja kamu nggak kelihatan beberapa hari ini,” kataku, setelah kami bersalaman.


“Aku habis cuti, om. Makanya tadi kaget, begitu masuk kamar 20, ternyata om nggak disitu lagi. Kata orang yang gantiin tempat om, om sudah pindah ke kamar 30 ini,” kata Mirwan, sambil melepas senyum hangatnya. 


“Iya, om sekarang disini, baru dua malem ini. Alhamdulillah, kamu masih inget dan mau cari om,” ujarku, juga sambil tersenyum. (bersambung)

LIPSUS