Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 354)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Selasa, 20 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang 


KITA ngobrol di luar aja ya, om. Aku panggil tamping dulu, biar ngebuka gembok kamar om,” kata Mirwan kemudian, dan bergerak ke arah pintu masuk Blok B. 


Aku melihat jam di dinding kamar bagian dalam. Menunjukkan pukul 23.10. Cukup larut sudah. Namun, tidak enak hati menolak ajakan sipir Mirwan untuk berbincang di luar kamar sel. Apalagi, kami memang cukup lama tidak bertemu.


“Nggak apa-apa ngobrol di luar, om. Apalagi yang ngajak kan sipir. Nggak ada yang bakal ngusilin,” kata kap Yasin, seakan memahami pikiranku.


Sekira 10 menit kemudian, sipir Mirwan kembali ke kamar bersama tamping kunci, yang langsung membuka gembok kamarku. Setelah mengambil kain sarung, aku pamit ke kap Yasin dan kawan-kawan untuk keluar kamar.


“Ngapain bawa sarung, om. Kayak mau ronda aja,” kata Mirwan, sambil tertawa ngakak.


“Di luar kan banyak nyamuk, Mirwan. Bisa bentol-bentol semua nanti badan om gara-gara kamu ajak ngobrol,” sahutku, juga tertawa.


Sipir muda yang selalu berpenampilan sederhana itu, mengajakku duduk di gazebo, depan kamar 34. Kamar pak Edi. Suara acara film di televisi yang cukup kencang, ia pelankan.


“Maaf ya, aku pelanin suaranya. Mau ada obrolan. Lagian, sebenernya nggak perlu kenceng juga suaranya, kan pakai Bahasa Inggris, baca aja teksnya, lebih gampang buat tahu ceritanya,” kata sipir Mirwan, sambil memandang beberapa penghuni kamar 34 yang tengah menonton acara televisi dengan menyandarkan badannya di jeruji besi.


“Siap, dan. Bener juga sih, kami emang nggak ngerti apa yang mereka omongin. Cuma baca teksnya aja,” sahut salah satu penghuni kamar 34 yang sedang menonton televisi.


Setelah duduk berhadapan, Mirwan membuka tas ransel yang sejak tadi ada di punggungnya. Mengeluarkan satu bungkusan. Berisi martabak manis. Dikeluarkannya lagi bungkusan yang lain, berisi minuman kaleng, dan bungkusan ketiga ia buka, berisi tiga bungkus rokok buatku.


“Banyak amat ini, Mirwan. Kamu ini lagi sedekah, apa jalani nazar,” kataku, setelah ia menjelaskan semua yang dibawanya sengaja diperuntukkan buatku.


“Berbagi rejeki aja, om. Aku kan pernah cerita, kalau habis berbagi sama om, ada aja rejekiku yang datengnya nggak terduga. Dan jumlahnya pasti berlipat dari yang aku bagi. Makanya, aku makin seneng berbagi sama om,” jawab sipir Mirwan, sambil tersenyum.


“Itu bukan karena om-lah, Mirwan. Allah yang kasih semuanya. Karena Dia tahu hatimu ikhlas, pikiranmu lurus-lurus aja, dan sedekahnya ke orang susah, makanya Dia buktiin janji-Nya, kasih rejeki buatmu dari tempat yang nggak terduga,” ucapku. 


“Ya pastinya dari Allah, om. Aku yakin bener kalau soal itu. Tapi, wasilahnya kan lewat om,” tanggap Mirwan, dan setelahnya, kami pun memulai makan martabak spesial keju tanpa kacang.


Di sela-sela kami menikmati makanan dan minuman ringan sambil merasakan semilir angin malam di gazebo yang dikelilingi taman-taman kecil, sipir Mirwan menanyakan penyebab aku pindah kamar. Dengan singkat, aku ceritakan semua proses dan alasan hingga aku harus bergeser kamar. 


“Ambil hikmahnya aja ya, om. Aku sih yakin, mau ditaruh di kamar mana aja, om tetep bisa adaptasi dengan baik dan memberi warna,” ucap Mirwan, seusai mendengar ceritaku. 


“Ngomong-ngomong, kenapa sih kamu selalu ngasih om makanan, minuman, dan rokok kalau kita ketemu? Itu semua kan kamu beli. Jangan-jangan nanti, kalau pas nggak punya uang, kamu milih nggak mau nemuin om karena nggak bawa apa-apa kayak selama ini,” kataku.


“Ya, kan tadi sudah aku jelasin. Intinya ya itu. Dan memang, aku lagi jalani tirakat belajar memberi, om,” kata Mirwan. Ada senyum penuh misteri tersungging di sudut bibirnya. 


“Maksudnya, tirakat belajar memberi itu gimana? Om baru denger istilah itu, Mirwan?” tanyaku. 


“Ustadz tempat aku belajar agama, kasih tahu perlunya kita tirakat dengan belajar memberi, om. Katanya, kalau ingin dapetin sesuatu, belajarlah memberi sesuatu. Kalau ingin dapetin kebahagiaan, belajarlah bahagiain orang lain. Kalau ingin dapetin kebaikan, belajarlah berbuat baik pada sesama. Karena hakekatnya, hidup ini bukan hanya soal menerima, tapi juga harus memberi,” urai sipir Mirwan, dengan serius.


Ku pandangi wajah sipir muda yang ganteng dan low profile itu. Tampak ada kesungguhan tergurat disana. Matanya yang teduh menyorotkan kedalaman pengendalian dirinya.


“Jadi fahamkan sekarang, om. Dan terbukti emang, tirakat belajar memberi itu penuh berkah. Selain ketenangan jiwa dan pikiran, nggak ada takut sama sekali sama soal rejeki, karena yakin Allah pasti sudah siapinnya,” kata Mirwan, setelah berdiam beberapa saat.


“Maaf kalau om sempet salah ngenilai dan mahami kamu ya, Mirwan,” ujarku, dengan menatapnya.


“Santai aja, om. Tadi aku baru baca buku filosof muslim terkenal, Jalaluddin Rumi. Beliau bilang: jika orang salah memahamimu, tidak usah khawatir. Memang suaramulah yang mereka dengar, tapi apa yang terlintas dalam batinmu, berbeda dengan pikiran mereka sendiri,” sahut Mirwan, seraya tertawa.


Aku tersenyum dan bersyukur di dalam hati. Karena selalu dipertemukan dengan orang-orang yang menyuarakan nafas-nafas keagamaan dan penyadaran akan kenisbian selaku makhluk. 


“Hidup ini unik ya, om. Kok kita justru ditemuin di penjara gini, dan obrolannya soal kebaikan hidup yang harusnya kita lakuin sejak dulu-dulu. Padahal, namanya rutan kan tempat orang-orang bermasalah,” kata sipir Mirwan, dan kembali tertawa.


“Kalau dipikir secara logika, emang aneh bin ajaib yang kita temuin disini, Mirwan. Tapi kalau Allah berkehendak, nggak ada apapun yang bisa batasinya. Karena hanya Dia-lah pemilik dan pemegang kontrol atas langit dan bumi beserta isinya. Kita syukuri aja semua ini, inshaallah bawa kebaikan buat hidup ke depannya,” kataku, menimpali.


Beberapa kali aku menggerakkan kain sarung untuk mengusir nyamuk yang mengerubung. Karena banyaknya, sampai mengganggu keasyikan kami dalam berbincang ringan.  


“Biarin aja nyamuk-nyamuk itu, om. Banyak manfaat yang dibawa hewan satu ini,” kata Mirwan, melihat aku sibuk mengusir nyamuk yang berseliweran di sekitar badan dan kepalaku. (bersambung)

LIPSUS