Oleh, Dalem Tehang
KARENA tidak kuat menahan dalamnya rasa duka pada batinnya, pak Ramdan pun jatuh pingsan. Pak Waras meminta Anton mengambilkan segelas air dari galon. Ia mendoakan dan meniupkan doanya ke dalam gelas tersebut.
Kap Yasin memasukkan air doa pak Waras ke mulut OD kamar 30 itu dengan memakai sendok. Sedikit demi sedikit. Tidak lama kemudian, perlahan-lahan, pria berambut putih tersebut kembali siuman.
“Sabar ya, pak. Semua ujian dan musibah ini karena Allah sayang sama pak Ramdan sekeluarga,” kata kap Yasin, sambil memeluk tubuh kurus pria berusia cukup lanjut itu.
Air kesedihan terus bercucuran dari kedua mata cekung pak Ramdan. Sesekali ia menarik nafas panjang. Menghela beratnya beban pada jiwa dan pikirannya.
Dengan perlahan, ia bangun dari tempat duduk. Menuju bidang tempat tidurnya. Dan menumpahkan kepiluan di atas kasur tipis yang telah banyak robek pada bagian bungkusnya.
“Coba kap temui pegawai penanggungjawab blok, minta diusahain pak Ramdan bisa dapet izin ngelihat jenazah anaknya sampai ikut pemakaman,” kata Anton kepada kap Yasin.
“Sudah kepikir juga sih, Ton. Cuma kan semua nggak ada yang gratis. Banyak biaya yang harus dikeluarin buat itu. Darimana duitnya. Pak Ramdan milih jadi OD, karena dia nggak bisa bayar uang mingguan,” jawab kap Yasin dengan suara pelan.
“Gimana kalau kita tanggung bareng biayanya, kap. Kita sokongan,” lanjut Anton.
“Yang belum bayar kewajiban uang mingguan aja masih banyak lo, masak mau ditambah beban lagi sih, Ton. Apa iya, kawan-kawan bisa. Jangan ngukur kemampuan kita-kita aja,” tanggap kap Yasin lagi.
Anton langsung terdiam. Aku memahami maksud baik dan amat manusiawi yang disampaikan bendahara kamar tersebut. Namun, kap Yasin lebih mengerti, bila aktivitas apapun di dalam rutan pasti akan terbentur dengan dana.
Meski begitu, kap Yasin tidak mau berdiam diri saja. Seiring berjalannya waktu, ia keluar kamar setelah mandi dan berganti pakaian. Meminta tamping kunci untuk membukakan pintu karena akan ke kantor rutan. Berkonsultasi dengan pegawai penanggungjawab Blok B.
Pak Waras mendekat ke tempat pak Ramdan yang terus menengkurapkan badan di kasur tipisnya. Mengajaknya berbicara. Pelan. Cukup lama ia duduk di samping pak Ramdan. Sampai kemudian, pria tua yang kini matanya sembab oleh linangan air mata itu, bangun dari tempat tidurnya.
Pak Waras menuntunnya ke kamar mandi. Berwudhu. Juga meminta kami semua untuk mensucikan diri. Ia mengajak semua penghuni kamar untuk membaca surah Yasin, mengirim doa untuk ke-husnul khotimah-an putra bungsu pak Ramdan.
Suara mengaji kami menggema di dalam kamar. Membuat suasana pagi itu mencekam penuh kesedihan. Dibalut erat oleh rasa kehilangan yang begitu mendalam. Setelah ditutup dengan doa bagi almarhum putra bungsu pak Ramdan, kami kembali ke tempat masing-masing.
Kap Yasin telah kembali ke kamar. Ia memanggilku, pak Waras, dan Anton untuk duduk di ruang bagian depan. Menyampaikan hasil pertemuannya dengan pegawai penanggungjawab Blok B.
“Prinsipnya, dikasih izin buat pak Ramdan ngelayat sampai ikut makamin anaknya. Karena itu putra kandung. Waktunya empat jam. Masalahnya, biayanya nggak sedikit. Hampir Rp 4 juta. Itu pun karena rumah pak Ramdan masih di dalam kota. Kalau di luar kota, nambah lagi biayanya,” jelas kap Yasin, setelah kami duduk di lantai ruang depan.
“Kok sebanyak itu biayanya, kap?” tanya Anton dengan cepat.
“Kan harus pakai pengawalan, Ton. Bukan cuma sipir dari sini, tapi juga ada anggota Polri-nya. Pengawalan itu sesuai protapnya, minimal empat orang. Belum lagi, pakai mobil tahanan juga harus nanggung bensin dan uang lelah sopirnya. Intinya sih itu. Nggak ada biaya buat administrasi, apalagi setor ke kepala rutan karena dia tandatangan,” urai kap Yasin.
Spontan aku berpikir. Di kamar 30 ini memang ada 12 penghuni. Namun, kap Yasin dan pak Ramdan selama ini dibebaskan membayar uang mingguan, karena kap Yasin merupakan kepala kamar, sedang pak Ramdan bertugas sebagai OD. Dispensasi yang sudah menjadi tradisi kehidupan di dalam penjara. Itu sebabnya, tidak mungkin juga mereka akan urunan untuk masalah ini.
Memang, masih ada 10 orang lain di kamar 30. Tetapi, sangat tidak mungkin setiap orang menyumbang Rp 400 ribu untuk membantu pak Ramdan agar bisa melihat jasad putra bungsunya terakhir kali dan turut memakamkannya.
“Kayaknya, nggak mungkinlah kita atasi kebutuhan biayanya ini ya. Tapi, buat ngejaga hati pak Ramdan, nggak usah pula kita ceritain soal besarnya biaya kalau dia mau pulang ngelihat jenazah anaknya. Nanti dia makin terluka batinnya,” tutur kap Yasin, beberapa saat kemudian.
“Pak Ramdan kan pensiunan pejabat sih, kap. Pasti masih banyak kawan-kawannya yang bisa dihubungi dan minta bantuan. Coba kontak keluarganya, sampein soal ini. Biar mereka tahu dan cari jalan keluarnya juga,” kata Pak Waras, dengan suara serius.
“Kita semua di luaran emang punya banyak kawan, pak. Tapi, begitu kita di dalem, nggak lebih dari hitungan jari tangan yang masih mau jaga perkawanan. Ini fakta yang sama-sama kita alami lo. Apalagi pak Ramdan. Dia kan pejabat di masa lalu, pensiun sudah lebih dari tiga tahunan. Lagian, kalau mau hubungi keluarganya, aku juga nggak tahu nomornya. Jadi baikan, kita gantian ngehibur dia aja,” ujar kap Yasin.
Tidak ada pilihan, selain mencurahkan perhatian dan memberi penghiburan bagi pak Ramdan. Karena keinginan untuk bisa ia pulang ke rumah melihat jenazah sekaligus memakamkan anaknya, tidak mungkin bisa kami wujudkan.
Kap Yasin memanggil empat penghuni kamar yang masih berusia di bawah 30 tahun. Memerintahkan mereka menggantikan tugas-tugas pak Ramdan sebagai OD selama tiga hari ke depan. Cara pengaturan dan sikap bijak kap Yasin, membuatku banyak mendapatkan pengalaman.
“Alangkah berat ujian pak Ramdan ini ya, kap. Masih di penjara, anak ninggal. Nggak bisa ngelihat pula,” ucap Anton, setengah mengeluhkan keadaan.
“Semua kita punya ujian masing-masing, Ton. Kita ngenilainya, berat bener ujian pak Ramdan, tapi percaya aja, nggak bakal buat dia sampai down berat,” jawab kap Yasin dengan santai.
“Kok kap yakin gitu?” tanya Anton, lagi.
“Karena Tuhan sudah bilang, nggak akan kasih ujian di atas kemampuan kita ngatasinya. Makanya, kalau berdoa, jangan minta yang jadi beban diringanin, tapi minta supaya kuat kita dilipatgandain,” ujar kap Yasin.
Hari semakin siang, aku pun segera membersihkan badan. Seusai mandi, sekujur tubuh terasa penuh kesegaran. Rudy datang membawakan aku sarapan. Mie rebus dicampur nasi. Pastinya nasi cadong.
Baru saja menyelesaikan sarapan, di balik jeruji kamarku berdiri tiga laki-laki. Pak Hadi, pak Raden, dan Oong. Mereka memintaku keluar kamar. Bercengkrama di gazebo depan kamar 34. Kap Yasin memanggil tamping kunci, untuk membuka gembok sel dan mengeluarkanku. (bersambung)