Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 357)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Jumat, 23 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang

 

KOK pindah kesitu, bang? Kenapa nggak sekalian gabung sama kami aja?” tanya pak Raden, setelah kami berempat duduk di gazebo.


“Nanti setelah putus perkaraku, baru pindah ke tempat pak Raden dan kawan-kawan. Sekarang, biar disini aja dulu. Lagian, pindah blok kan bertele-tele juga prosesnya,” jawabku, seraya tersenyum.


“Kamar 30 itu kan paling kotor, pak. Orangnya pemales semua,” timpal pak Hadi.


“Nanti pelan-pelan aku ajak kawan-kawan buat perbaiki kamar, pak. Emang prihatin bener sih sama kamar sekarang. Tapi, ya mau kayak mana, emang begitulah adanya,” tanggapku.


“Apalagi katanya, kap kamar nggak kasih bawa hp ya, bang. Bergaul nggak sih dia itu. Mana ada di rutan ini yang kamarnya bebas dari hp. Bahkan, mayoritas yang disini kan pasti punya hp. Sok taat aturan, padahal petugas pengawas aja malah jadi tempat nitip hp kalau pas mau ada razia dari kanwil,” Oong menambahkan.


“Iya emang, kap Yasin sudah bilang kalau di kamar nggak boleh ada hp. Kalau mau telepon, di luar kamar. Maka, hpku masih disimpen di kamar 20 sampai sekarang,” ucapku.


“Nggak boleh kap kamar ngatur sampai urusan begituan, pak. Dia emang bertanggungjawab ngejaga ketenangan dan kenyamanan kamar, tapi ya nggak sampai ngurusin hp gitu jugalah,” kata pak Hadi, yang menjabat kap kamar 12 di Blok C. 


“Buat saat ini, pilihanku cuma taat sama aturan kap kamar 30, pak. Karena aku kan di kamar itu. Pasti ada waktunya kap Yasin juga perlu sarana komunikasi, dan narik lagi sikap anti-hp di kamar,” kataku, dengan santai.


Pak Raden meminta seorang tahanan yang sedang menonton televisi di gazebo untuk membelikan makanan ringan dan minuman kaleng di kantin. Juga empat  bungkus rokok. 


Perbincangan kami akhirnya berkembang kemana-mana. Membahas hal-hal ringan yang menyenangkan hati dan pikiran. Penuh canda dan tawa.


“Asyik amat sih ngobrolnya dari tadi. Kayak nggak lagi susah aja,” tiba-tiba pak Edi keluar dari kamarnya dan bergabung duduk dengan kami.


“Emang siapa yang lagi susah, pak? Kami nggak susah kok,” jawab Oong, sambil tertawa ngakak.


“Pak Edi ya yang lagi susah,” timpal pak Hadi, juga diiringi tawanya.


“Semprul emang kalian ini. Wong kita sama-sama di penjara, kok bilangin cuma aku aja yang susah. Ya kita semualah,” tanggap pak Edi, dilanjutkan dengan tertawa juga. 


“Kalau kami berempat mah nggak susah, pak. Karena kami lagi nyantri di pondok rutan ini. Dan buat kami, sehancur-hancurnya kehidupan sekarang, tetep baik-baik aja. Happy-happy aja,” kata pak Raden. Diiringi senyum hangatnya.


“Jadi, pak Edi. Ada orang pernah nulis kayak gini buat yang lagi di penjara: ada tangis yang ditahan, ada teriakan yang diredam, ada sedih yang harus dipadamkan, ada pedih yang harus disembuhkan, karena tidak semua luka harus dibuka, dan canda tawa bisa menutup segala duka,” tutur pak Hadi.


“Embuhlah. Yo wes, sing penting dulur-dulurku podo seneng. Aku senep dewean yo ben,” ujar pak Edi, setengah merajuk. 


Melihat ekspresi pak Edi, kami berempat kembali tertawa. Pria berpostur kurus dengan kulit hitam kelam itu, memang termasuk sosok yang tidak pernah sepi dari mengeluhkan keadaan. Meski ini, telah untuk ke sekian kalinya ia menjalani kehidupan di balik jeruji besi. 


Tamping kunci berjalan keliling. Membuka setiap gembok pada pintu kamar yang ada di Blok B. Beberapa saat kemudian, ratusan tahanan telah membaur di sepanjang taman, selasar dan ruang utama pintu masuk blok. Suasana pun menjadi riuh-rendah.


Pak Waras berdiri di pintu kamar. Memanggilku. Spontan aku berpamitan kepada pak Hadi, pak Raden, dan Oong, juga pak Edi.


“Ada apa, pak?” tanyaku saat sampai di depan pintu kamar.


“Kap pengen ngomong sama kita,” sahut pak Waras, dan mengajakku untuk masuk ke ruang dalam. 


Kap Yasin duduk di bidang tempat tidurnya. Bersandar ke tembok. Di sebelahnya ada pak Ramdan dan Anton.


“Jadi begini, om. Pak Ramdan ini pengen bener bisa ngelihat anaknya sebelum dimakamin. Wajarlah, sebagai ayah ingin ngelepas anaknya. Apalagi itu putra bungsu,” kata kap Yasin, setelah aku duduk di tepian lantai.


“Terus, gimana maksudnya, kap?” tanyaku.


“Ya itu, gimana jadinya. Makanya aku minta pak Waras manggil om. Buat diskusiin soal ini,” jawab kap Yasin.


“Kap sudah jelasin hasil ketemu pegawai penanggungjawab blok tadi ke pak Ramdan?” tanyaku lagi. 


“Sudahlah, om. Cuma pak Ramdan bilang, keluarganya pasti nggak ada uang sebanyak itu,” jelas kap Yasin.


“Kalau sudah kayak gini, aku juga nggak punya jalan keluarnya, kap. Kita kan sama-sama tahu kondisi masing-masing. Nggak mungkin kita sokongan sebanyak itu, darimana uangnya,” ucapku.


“Aku bisa cariin pinjeman om, cuma nanti bayarnya bareng-bareng ya. Masing-masing isi kamar ini nyumbang Rp 350 ribu,” kata kap Yasin.


“Aku nggak sanggup, kap. Uang mingguan sama uang loker aja belum kebayar, nambah mau sumbangan lagi. Kasihan istri kalau aku minta uang terus-terusan buat ini-itu. Kalau kawan-kawan lain mampu, ya monggo,” jawabku dengan serius.


Mendengar jawaban tegasku, kap Yasin dan beberapa orang lainnya, hanya diam. Pak Ramdan terus menundukkan wajahnya. Aku memahami betapa hancur hati pria yang telah memasuki usia lanjut tersebut. Namun, tidak mungkin memaksakan diri untuk melakukan sesuatu di luar kemampuan kami. 


“Mohon maaf bener, pak Ramdan. Kami juga sangat berduka atas wafatnya putra bapak. Tapi, mohon maaf, kami nggak bisa menuhi keinginan bapak untuk bisa ngelepas putra ke liang lahat. Karena ini nyangkut uang, dan kita disini sama-sama cuma ngandelin istri serta keluarga buat biaya hidup sehari-hari,” kataku, sambil menatap pak Ramdan yang terus menangis sesenggukan. 


“Gimana kalau pak Ramdan telepon aja ke istri atau keluarga di rumah. Biar plong juga perasaannya. Kalau mau, aku anter ke wartelsus,” kata Anton.


“Nah, bener ide Anton ini, pak. Bagusnya sih pakai hp ya, biar bisa videocall. Jadi pak Ramdan bisa ngelihat juga wajah anaknya yang meninggal. Masalahnya, kita yang di kamar ini nggak ada yang pegang hp,” ujar kap Yasin. 


“Pakai hpku aja, kap. Sebentar ku ambil,” kataku, dan bergegas keluar kamar.


Dengan setengah berlari, aku masuk ke kamar 20. Rudy yang sedang duduk santai di ruang depan, ku minta membantu mengangkat rak untuk mengambil telepon seluler yang tersembunyi di baliknya.


“Emang boleh sama kap Yasin bawa hp di kamar 30, om?” tanya Rudy.


“Ini lagi ada urusan penting bener, Rud. Mau nggak mau, harus ada hp yang masuk kamar 30,” jawabku, dan kemudian berjalan kembali ke kamarku.


Sesampai di kamar, aku duduk di bidang tempat tidurku. Terhalang tembok kamar mandi dan mengaktifkan telepon seluler. Setelah pak Ramdan memberi nomor telepon istrinya, ku hubungi dengan nomorku. Sampai lima kali panggilan, baru diangkat. Langsung aku tunjukkan wajah pak Ramdan.


“Duduk di deket om Mario situ, pak. Biar nggak kelihatan dari depan kalau lagi teleponan,” kata kap Yasin kepada pak Ramdan yang terus sesenggukan.


Terdengar suara seorang wanita menangis meraung-raung saat memandang telepon seluler ada wajah pak Ramdan.


“Ya Allah, bapak. Anak bungsu kita mati dibunuh orang. Ibu nggak rela dunia akherat kalau pelakunya nggak mati juga,” kata wanita yang ternyata istri pak Ramdan tersebut, dengan suara kencang penuh amarah.


Pak Ramdan hanya menangis, tidak keluar satu kata pun. Matanya yang sembab memandang sayu kepada istrinya. Sesekali ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan belum menerima bisa kenyataan bila putra bungsunya telah meninggal dunia. (bersambung)

LIPSUS