Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 358)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Sabtu, 24 Desember 2022



Oleh, Dalem Tehang


SUASANA kamar pun menjadi penuh keharuan. Aku bergeser, tidak tahan dengan kondisi yang begitu menyedihkan. Ke kamar mandi dan berwudhu. 


Setelah mengambil kain sarung dan kupluk, aku keluar kamar. Kembali ke gazebo, bergabung lagi dengan pak Hadi, pak Raden, Oong, dan Pak Edi yang masih bercengkrama.


“Kenapa bang, kayaknya lagi ribet bener,” kata Oong, setelah aku duduk di antara mereka.


Aku ceritakan musibah yang dialami pak Ramdan. Upaya yang dilakukan kap Yasin, hingga akhirnya memilih berkomunikasi melalui videocall saja. 


“Nah, itu akhirnya boleh hp masuk kamar 30 sama Yasin. Sok idealis aja dia selama ini,” celetuk pak Edi.


“Tadi pak Mario emang sudah bilang, ada waktunya kap Yasin butuh sarana komunikasi dan hp nggak dilarang lagi masuk kamar itu, pak. Cuma aku nggak nyangka, omongan pak Mario langsung terbukti dalam waktu nggak lebih dari dua jam,” kata pak Hadi.


“Ini kan situasinya bener-bener penting, pak. Jadi, kap Yasin emang harus ambil kebijakan, dan apa yang dilakuinnya nurutku sangat tepat. Bagaimana pun juga, sebagai pimpinan kamar, dia mesti berani ngambil langkah. Termasuk nyingkirin egoisme pribadinya yang ngeharamin hp masuk kamar itu. Kebetulan aja, apa yang aku sampein tadi langsung kejadian,” jawabku, dengan serius.


“Bener juga yang diomongin bang Mario. Yasin emang cakap dan cepat ambil sikap. Nggak kebayangkan kalau musibah itu terjadi sama kita. Gimana coba jiwa dan pikiran kita. Tapi, dengan hp bang Mario yang diizinin Yasin masuk kamar, pak Ramdan bisa sedikit plong karena bisa ngelihat kondisi sang anak untuk terakhir kalinya,” pak Raden menyela. Nada suaranya bergetar. Mengisyaratkan ia memahami betapa beratnya ujian yang dialami pak Ramdan.


Suara adzan Dhuhur menggema dari masjid. Kami bergegas meninggalkan gazebo untuk solat berjamaah. Selepas solat dan berdoa, aku berjalan cepat untuk kembali ke kamar. 


Karena pak Waras ketika bertemu di masjid, sempat menyampaikan bila setelah Dhuhuran akan dilakukan pembacaan surah Yasin dan tahlil untuk anak pak Ramdan, bersamaan dengan jasadnya dimakamkan. 


Ketika aku masuk kamar, semua penghuni sel 30 telah duduk melingkar dengan memakai kain sarung untuk melakukan prosesi doa melepaskan putra bungsu pak Ramdan. Pak Waras memimpin semua kegiatan tersebut. Suasana kamar terus diliputi keharuan. 


Sipir yang bertugas melakukan apel siang didampingi seorang tamping, hanya mengabsen kami dengan menghitung sendiri. Tanpa kami harus berdiri, mengangkat tangan dan menyebut urutan nomor.


“Kok cuma 11? Harusnya kan 12?” tanya sipir itu kepada tamping.


“Satunya, si Beni sedang di strafsel, dan,” jelas tamping itu.


Sipir berbadan tegap itu menganggukkan kepalanya dan sesaat kemudian meninggalkan kamar kami, meneruskan tugas ke kamar selanjutnya.


Seusai kami menyampaikan doa, kap Yasin menawarkan kepada pak Ramdan apakah akan videocall istrinya lagi, untuk melihat langsung pemakaman anaknya. Pria berambut putih itu hanya menganggukkan kepalanya. 


Kap Yasin segera menghubungi nomor telepon seluler istri pak Ramdan setelah meminta izin kepadaku untuk menggunakan hp-ku yang masih ia pegang. Tidak lama kemudian, hubungan pun tersambung. Anak perempuan tertua pak Ramdan yang mengangkat dan ia menunjukkan proses pemakaman adik bungsunya. 


Pak Ramdan menatap layar telepon seluler tanpa berkata apa-apa. Hanya air kesedihan yang terus mengucur dari matanya yang kini tampak kuyu dan cekung. Kap Yasin dan pak Waras duduk mendampingi pak Ramdan. Sambil memegang badannya, dan terus menenangkannya.


Tidak tahan melihat kesedihan yang demikian mendalam, aku beranjak. Duduk di ruang depan. Menyelonjorkan kaki sambil menghisap rokok. Mencoba melepaskan diri dari balutan kepiluan yang tengah menggema di kamar kami.


Anton mendekatiku sambil membawa bantalnya. Memberi isyarat agar aku merebahkan badan. Dan tidak lama kemudian, anak muda berusia 26 tahunan itu memijat kakiku, sambil mengajak berbincang. Pelan pijatannya, namun cukup enak aku rasakan.


Tanpa terasa, aku terlena dengan pijatan tangan Anton, dan akhirnya tertidur. Baru terbangun ketika badanku ditepuk oleh pak Waras.


“Makan, be,” kata dia, pendek.


Saat berdiri dari merebahkan badan dan tidur siang di ruang depan, aku melihat semua penghuni kamar telah duduk melingkar di lantai atas. Siap menyantap makanan yang sudah tersedia. Buru-buru aku ke kamar mandi, mencuci muka, dan bergabung untuk makan siang. Yang segera dimulai setelah diawali dengan doa bersama dipimpin pak Waras.


Selama makan, tidak ada satu pun yang berbicara. Semua tampak tengah diliputi pikiran masing-masing, yang terbelenggu oleh kedukaan pak Ramdan. 


Selepas menikmati makan siang yang telah melewati waktu biasanya itu, aku kembali merebahkan badan di bidang tempat tidurku. Meneruskan tidur siang yang terpotong. 


Aku terbangun ketika lampu kamar yang sangat terang, telah menyala. Tersadarlah, jika waktu solat Ashar akan segera berlalu. Terburu-buru aku berwudhu dan solat di lantai bidang tempat tidurku.


“Tadi babe nyenyak bener tidurnya, maka nggak aku bangunin waktu adzan ashar,” kata pak Waras, setelah aku menunaikan ibadah solat.


“Lain kali, senyenyak apapun aku tidur, pas waktu solat dateng, bangunin ya, pak,” pintaku kepada pak Waras.


“Kalau babe sudah bilang gini, ya berani aku bangunin. Sebab, aku pernah kena sentak sama seorang kawan, gara-gara bangunin dia tidur buat ngajak solat. Jadi, agak trauma setelah kejadian itu,” jelas pak Waras. Ada senyum kecut di sudut bibirnya.


“Kalau buat solat, senyenyak apapun aku tidur atau lagi ada kegiatan seserius apa juga, bangunin dan ajak aja, pak. Tapi, kalau buat urusan yang lain-lain, nggak usah,” lanjutku.


Keinginanku untuk segera mandi, harus ditunda. Karena harus bergiliran. Masih ada empat kawan yang sudah mengantri untuk membersihkan badan. Dan akhirnya, aku mengambil buku catatan harian. Menuliskan semua kegiatan. Menuangkan segala kejadian. Menorehkan sejuta keindahan dalam balutan kasih sayang Tuhan, yang tetap mencuatkan optimisme akan hari depan. Karena bagiku, menulis menjadikan hidup terasa kian hidup. (bersambung)

LIPSUS