Oleh, Dalem Tehang
TERDENGAR suara adzan Maghrib dari masjid, cepat-cepat aku menutup buku catatan harianku. Dan mengingatkan seorang kawan yang masih di kamar mandi untuk mempercepat kegiatan membersihkan badannya.
Aku meminta izin kepada pak Waras dan kap Yasin untuk tidak ikut solat berjamaah, karena belum mandi sore.
Akhirnya, giliran untuk mandi pun tiba. Karena menyadari mash ada dua orang lagi penghuni kamar yang belum membersihkan badannya pada sore itu, aku mandi dengan cepat. Dan setelahnya solat Maghrib di atas kasurku, dilanjutkan dengan membaca Alqur’an hingga adzan Isya menggema.
Setelah solat Isya berjamaah, pak Waras mengajak semua penghuni kamar kembali membaca surah Yasin dan tahlil untuk mendoakan putra bungsu pak Ramdan yang baru siang tadi dimakamkan.
Meski masih diliputi duka yang mendalam, namun pak Ramdan kelihatan semakin tenang. Ia ikut membaca surah Yasin dengan lancar dan khidmat saat bertahlilan.
Pria berusia 60 tahunan itu tampak beberapa kali mengusap matanya ketika pak Waras memimpin doa bagi almarhum anaknya. Kami semua larut dalam kesadaran, bila setiap saat ajal bisa menjemput, siap atau tidak siap kita untuk menghadap Sang Pencipta.
Selepas kegiatan doa bersama, kap Yasin memerintahkan kepada tiga penghuni kamar yang menggantikan tugas pak Ramdan sebagai OD untuk tiga hari ke depan, segera menyiapkan makan malam. Suasana mulai mencair kembali. Sambil menikmati makanan yang ada, perbincangan dan canda-ria telah menjadi penghiasnya.
Beberapa kawan langsung bermain kartu di ruang depan, seusai makan. Anton mengajak pak Waras main catur. Mengasah kesabaran dan ketekunan.
“Kenapa ya pak, dalam permainan catur ada raja, tapi nggak ada ratu?” tanya Anton kepada pak Waras.
“Karena wanita bukan untuk dipermainkan, Ton,” jawab pak Waras, dengan santainya.
Mendengar jawaban pak Waras, Anton dan kami semua tertawa. Pak Waras tampak terbengong melihat kami tertawa.
“Lho, kok malahan pada ketawa to. Kan bener jawabanku,” kata pak Waras.
“Itu mah jawaban asal njeplak aja, pak. Bukan jawaban yang sebenernya,” ujar kap Yasin yang masih tertawa.
“Lha, kan emang bener. Wanita itu bukan untuk dipermainkan, makanya nggak ada istilah ratu di urusan catur ini. Kalian jangan salah nangkep jawabanku,” lanjut pak Waras, tetap denga gaya santainya.
“Emang bener gitu pertimbangannya, kenapa pembuat permainan catur nggak masukin ratu sebagai salah satu bidaknya, pak?” tanya Anton, dengan serius.
“Yo embuh, Ton. Aku kan nggak pernah ketemu dan kenal sama orang yang pertama kali ngelahirin permainan catur ini. Aku juga baru tahu main catur, ya setelah di penjara. Sebelum-sebelumnya, tertarik aja nggak,” jawab pak Waras, sambil tersenyum.
“Kok bisa ngomong kalau nggak ada ratu di permainan catur karena wanita bukan buat dimainin, darimana asal-usulnya itu, pak?” tanya Anton lagi.
“Yo perkiraanku aja itu mah, Ton. Dipikiranku, pembuat permainan ini orang yang sangat ngehargai wanita. Hingga buat sekadar jadi bidak di sebuah permainan aja, dia nggak mau ada ratunya,” balas pak Waras. Kali ini ia cengengesan.
“Ngawur kalau gitu, pak,” ucap kap Yasin,, menyela.
“Yo nggak ngawur dong, kap. Bener kan omonganku, kalau wanita itu bukan buat dimainin? Ayo, siapa yang berani ngebantah omonganku ini,” tanggap pak Waras dengan cepat.
“Kalau wanita secara umum, ya bener, pak. Wanita itu harus disayangi, dicintai, dan dimanjain. Bukan buat disakiti apalagi dimainin. Tapi, topik utamanya tadi kan soal nggak adanya ratu di permainan catur. Padahal ada raja, perdana menteri, dan sebagainya,” sambung kap Yasin.
“Kan wes tak jelasin tadi, kap. Karena aku nggak pernah ketemu sama pembuat pertama kalinya permainan catur ini, jadi aku nggak tahu alasan dia, kenapa nggak nampilin ratu jadi salah satu bidaknya,” kata pak Waras, dan tertawa ngakak.
Kembali semua tertawa dengan perkataan pak Waras. Pria setengah baya ini memang mempunyai banyak kelebihan. Bukan hanya dalam pengetahuan agama, tetapi juga sosial politik dan ekonomi, bahkan seringkali melontarkan joke-joke yang tidak pernah terlintas di dalam pikiran kami.
“Jadi lanjut nggak ini main caturnya, pak?” tanya Anton, setelah suasana kembali normal selepas kami semua tertawa.
“Kamu main sama babe aja ya. Aku masih pengen ketawa dulu,” sahut pak Waras, yang membuat kami semua kembali tertawa melihat tingkahnya.
“Ayo, om. Kita main. Lanjutin permainan pak Waras,” ajak Anton kepadaku, yang sejak tadi hanya duduk bersandar tembok menyaksikan kegiatan kawan-kawan.
“Nanti aja kalau aturan di negara kita sudah berubah, Ton,” sahutku.
“Maksudnya, om?” tanya Anton dengan serius.
“Di catur itu ada perdana menterinya, Ton. Di negara kita kan nggak ada istilah itu. Aku nggak mau nanti kita-kita yang suka mainin perdana menteri dianggep mau ngerubah dasar negara,” jelasku, sambil tertawa.
Spontan kawan-kawan penghuni kamar 30 kembali tertawa. Suasana pun menjadi penuh keceriaan. Bahkan pak Ramdan yang semula hanya duduk di atas kasurnya, kini telah bergabung. Duduk di ruang depan dan menampakkan wajah yang penuh ketenangan.
“Jadi, yang suka main catur bisa kena pasal subversi ya, om,” ujar kap Yasin, masih dengan tertawa.
“Bisa aja, kap. Negara kita kan dipimpin presiden sekaligus kepala negara. Nah, ini yang dibangga-banggain malah rajanya. Sampai semua bidak, termasuk perdana menterinya, harus ngejagain sang raja dengan mati-matian. Sadar nggak sadar, kita ngebanggain kerajaan, bukan republik. Bahaya ini,” kataku, juga dengan tertawa.
“Wes podo edan kabeh. Neng bui kok ngurusi negoro. Mikire kejauhan,” pak Waras menyela, sambil tertawa ngakak, hingga terbatuk-batuk.
Seorang sipir berdiri di jeruji besi. Membuat kami spontan menghentikan tawa.
“Kok berhenti ketawanya? Justru aku kesini karena pengen nikmati ketawa kawan-kawan lo,” kata sipir berusia sekitar 50 tahunan itu, seraya tersenyum.
“Kaget aja, pak. Kok tiba-tiba muncul bapak di depan kami, jadi spontan kami berhenti ketawa,” ujar pak Waras, juga sambil tersenyum.
“Emang bisa gitu ya, karena kaget, lagi ketawa pun langsung berhenti,” kata sipir itu lagi.
“Bisa, pak. Buktinya kami tadi. Kan langsung berhenti ketawa begitu bapak muncul. Mana kayak hantu pula, ndadak nongol,” lanjut pak Waras, yang kemudian diiringi tawanya.
Sontak, kami penghuni kamar tidak bisa menahan diri untuk diam mendengar perkataan pak Waras. Meledaklah kembali ketawa kami. Pun sipir yang berdiri di balik jeruji besi. Bahkan, sipir itu hingga terpingkal-pingkal.
“Saya suka sama gaya kawan-kawan di kamar ini. Tetep ceria dan bisa ketawa lepas. Nunjukin kalau kalian nggak ada beban jalani hukuman disini,” kata sipir itu, setelah suara tawa mereda.
“Siapa bilang nggak ada beban, pak. Justru karena keberatan beban, makanya kami ketawa. Maksudnya, ngetawain diri sendiri,” tanggap pak Waras lagi.
Dan untuk kali ini, kami hanya tertawa kecil. Bahkan mayoritas memilih sekadar tersenyum. Betapapun juga, hidup di bui tetaplah membawa beban nan menyakitkan dan menyedihkan, meski mencoba mengecilkannya melalui percandaan bahkan kepasrahan sekalipun. (bersambung)