Oleh, Dalem Tehang
SIPIR yang tampil bersahaja itu menanyakan, siapa di antara kami yang pintar memijat. Spontan, semua menunjuk Anton.
“Kamu beneran bisa mijet? Apa cuma asal ngemek-ngemek aja?” tanya sipir kepada Anton.
“Kalau belajar secara khusus sih nggak pernah, pak. Kebetulan, nenek saya dulu tukang pijet, jadi saya belajar dari ngelihat cara dia aja,” jawab Anton, polos.
“Dan selama disini, kamu praktekin cara mijet nenekmu itu ya?” tanya sipir itu lagi.
Anton menganggukkan kepalanya. Tampak ada keraguan pada wajahnya. Seakan ada kekhawatiran bila sipir tersebut memintanya memijat dan ia tidak bisa memberi pelayanan terbaik.
“Saya ngelihatnya, kamu ragu-ragu ya. Bisa mijet beneran apa nggak. Ya sudah, nggak usah. Saya cari yang lain aja, yang biasa mijet beneran,” lanjut sipir itu, dan meninggalkan kamar kami.
Setelah sipir menjauh dari kamar, kap Yasin menanyakan kepada Anton kenapa ia meragukan kemampuannya sendiri.
“Aku kan belajarnya otodidak, kap. Asal mijet aja, nginget-nginget cara nenekku dulu. Takutnya, sipir tadi nggak puas sama pijetanku, kan bisa jadi masalah,” tutur Anton, seraya tersenyum kecut.
“Kamu nggak boleh ragu sama kemampuanmu sendiri, Anton. Itu kelebihanmu. Yang pede aja. Ukuran bagus nggaknya tukang pijet itu, kalau kamu mijitin orang dan orang itu bisa tidur, berarti pijitanmu bagus, enak, muasin, dan buat orang fresh,” tanggap kap Yasin.
“Aku tadi dipijit Anton sampai ketiduran lo, kap. Emang enak kok pijetannya,” ujarku, menyela.
“Nah, itu om Mario sudah ngebuktiin kehebatanmu. Lain kali, jangan ragu ya, Anton. Justru kamu harus sering ngasah kemampuan, biar makin terbiasa dan berkembang potensi yang ada di diri kamu,” kata kap Yasin, menyemangati.
“Tapi, masak aku jadi tukang pijet sih, kap. Yang bener aja. Aku kan pengennya punya spesifikasi yang bergengsi gitulah,” ucap Anton, yang baru menyelesaikan pendidikan S-1 dari Fakultas Ekonomi ini, sambil tersenyum menyeringai.
“Eh, jangan ngerendahin tukang pijet ya, Anton. Sama aja itu ngerendahin nenekmu sendiri lo. Bisa kualat kamu. Justru, tukang pijet itu profesi yang amat spesifik dan bukti nyata gimana seseorang ngembangin kemampuan spesial yang ada pada dirinya. Nggak tergantung sama orang lain, malahan dicari orang,” jawab kap Yasin dengan suara serius.
“Tapi kan, kesannya kurang greget gitulah, kap,” kata Anton, dan tertawa ngakak.
“Pandanganmu kebalik itu, Anton. Nggak perlu mikirin profesi yang bergengsi, yang punya greget atau apalah. Yang penting itu halal, usaha dengan badan dan pikiran sendiri, dan nggak nyusahin orang. Kebayang nggak sama kamu, sekali kamu mijet orang disini, pasti kamu dikasih uang minimal Rp 20 ribu. Kalau sehari ada tiga orang aja yang minta pijet, berapa pendapatanmu. Dan itu halal, juga ngebuat orang seneng. Dobel pahalamu. Coba pikirin itu,” kata kap Yasin lagi, terus memotivasi.
“Bener juga itu, kap. Lama-lama aku bisa nggak minta-minta lagi ke orangtua buat biaya hidup disini ya,” tutur Anton, kali ini wajahnya tampak serius.
“Itu maksudku, Anton. Kamu punya keahlian, ngapain disia-siain. Coba kamu lihat sekeliling kita, kan ada aja yang orang nawarin buat dipijet. Padahal, belum tentu dia punya keahlian kayak kamu. Itu cara orang nyari uang buat makan. Kamu yang punya keahlian, kok malah ngeraguin diri sendiri,” sambung kap Yasin.
“Mulai besok, kita semua punya tugas promosiin Anton sebagai tukang pijet hebat ya, kawan-kawan. Kalau dia seneng, kita semua juga kan pasti seneng,” kata pak Waras, menyela.
“Siap. Emang kita harus saling dukung gini, baru makin kuat kebersamaan kita,” ucap kap Yasin, menimpali.
Anton hanya tersenyum kecil. Anak muda berusia 26 tahunan itu tampak kurang memiliki kepercayaan diri. Karenanya, kap Yasin terus memotivasinya.
Waktu terus bergulir, tengah malam sudah terlewati. Dinihari telah hadir sebagai pengganti. Namun, kantuk belum juga datang. Meski begitu, aku tetap berpamitan untuk segera merebahkan badan di kasurku. Bagiku, mengistirahatkan badan tetaplah penting. Karena pada batin yang demikian lelah oleh deraan kehidupan penjara, harus diimbangi dengan tetap terjaganya kondisi fisik.
Ku pandangi foto keluargaku yang berada dalam bingkai cantik, berdiri tegak di atas rak. Ku berikan senyuman untuk orang-orang terkasih dan kebanggaanku. Istri dan anak-anakku.
Ku pejamkan mata, mendoakan mereka dari khalwat batin yang terdalam. Menyerahkan mereka sepenuhnya kepada Sang Pemilik Kehidupan, Allah Azza wa Jalla.
Tiba-tiba aku dibangunkan pak Waras untuk solat Subuh. Ternyata, aku tidur begitu saja dinihari tadi. Tanpa rencana. Pun lepas dari berdoa. Bersyukur aku masih diberi sisa usia oleh Yang Maha Kuasa, hingga menyadari keteledoran dalam melakoni istirahat sesaat.
Sambil terus membaca istighfar di dalam hati, aku ke kamar mandi. Berwudhu, dan kemudian bergabung dengan pak Waras, pak Ramdan, dan Anton untuk solat Subuh berjamaah.
Seusai solat, aku berdiri di jeruji besi. Memandang taman-taman kecil, mendengarkan gemericik suara air kolam, juga ikan-ikannya yang berlarian tiada henti. Menikmati senandung tidak beraturan dari beberapa burung parkit di dalam kandangnya.
“Kok pagi-pagi sudah ngelamun, om?” tiba-tiba Rudy berdiri di depanku, dibatasi jeruji besi.
“Ah, kamu ngagetin aja, Rud. Bukan ngelamun ini. Lagi mandangi taman, dengerin suara burung dan gemericik air kolam. Jadi tenang batin ini nikmati keindahan yang begini sejuk. Alhamdulillah,” jawabku.
“Om nggak kepengen olahraga ya? Kalau mau, aku sampein ke tamping kunci?” tanya Rudy, beberapa saat kemudian.
“Kepengenlah, Rud. Beberapa hari ini nggak jogging, rasa badan nggak enak bener. Tapi om sadar, ini kan bukan kamar terbuka. Jadi, ya nunggu ada yang berniat baik aja,” kataku.
“Ya sudah, Rudy sampein ke tamping kunci ya. Tapi jangan lupa, kasih dia kimel-an, biar lancar semua urusan om,” ucap Rudy, dan meninggalkan kamarku.
“Babe mau olahraga ya. Boleh nggak aku ikut?” tanya pak Waras, yang mendengar obrolanku dengan Rudy.
“Ayo, pak. Kita olahraga bareng. Biar badan tetep seger,” sahutku, dan menyiapkan tupperware untuk tempat air putih.
Tidak sampai 10 menit kemudian, tamping kunci datang dan membukakan gembok pintu selku. Aku dan pak Waras keluar kamar untuk jogging. Uang Rp 5 ribu aku kimel-kan ke tangan tamping kunci, yang spontan wajahnya berbinar ceria. Sukacita.
Sebelum memasuki lapangan, aku mengajak pak Waras ke pos penjagaan dalam. Melapor terlebih dahulu. Dan setelah mendapat izin, baru kami memulai langkah. Mengelilingi lapangan sepakbola.
Hawa kawasan rutan masih sangat sejuk, membuat kami kian bersemangat untuk memanaskan badan. Menjaga kebugaran tubuh, menjaga keseimbangan pikiran dan perasaan. Terus mencari serpihan kebahagiaan di balik kehidupan yang dibatasi tembok tinggi mengeliling. (bersambung)