Oleh, Dalem Tehang
SAAT memasuki ruang kunjungan umum, aku melihat istriku duduk di pojok kanan sambil bersandar ke tembok. Memakai pakaian dinas kantornya, tampak ia sangat mencolok dibandingkan pengunjung lainnya.
Melihatku berjalan menuju ke tempatnya, istriku Laksmi langsung berdiri sambil melepas senyum indahnya.
“Ayah sehat terus ya,” kata Laksmi saat kami berpelukan erat.
“Alhamdulillah, berkat doa bunda dan anak-anak, ayah terus dikasih nikmat sehat,” sahutku, dan merangkulnya untuk kemudian duduk kembali di lantai ruang kunjungan.
Istriku Laksmi membuka satu dari dua kantong plastik besar yang berisi berbagai makanan. Ia mengajakku makan, dengan lauk kesukaanku hasil masakannya sendiri. Ikan asin sambel goreng dan tahu goreng.
Sambil berbincang, sesekali aku menyuapi istriku. Wajah Laksmi sumringah. Seakan tiada lagi beban pada batinnya. Ia terus menunjukkan jati dirinya, di tengah dunia yang gelap tiada menentu, tetaplah ia menjadi terang.
“Ayah seneng bener ngelihat bunda begini, terus senyum dan wajahnya mancarin keceriaan,” kataku, sambil mencium istriku.
“Alhamdulillah. Allah yang buat bunda bisa begini, ayah. Dikasih-Nya kesabaran dan keikhlasan. Kalau secara lahiriyah, siapa sih istri yang nggak terpuruk ngelihat suaminya ditahan,” jawab Laksmi dengan tersenyum.
Ku rengkuh kepalanya, ku sandarkan di dadaku. Ku elus penuh kasih sayang kepalanya. Ku bisikkan kata-kata kebanggaan kepadanya. Laksmi kembali tersenyum, dan menaikkan wajahnya. Menciumku.
“Ayah juga nggak usah banyak pikiran ya. Dientengin aja semuanya. Sebab, kalau pikiran dan perasaan nggak dikendaliin, malahan bakal sakit. Buang jauh-jauh rasa khawatir, karena itu bakal lemahin lambung. Juga buang rasa takut, karena bakal lemahin fungsi ginjal. Dan jangan stres, karena ia akan buat lemah fungsi otak dan jantung,” ujar istriku, sambil matanya menatapku dengan serius.
“Iya, bunda. Inshaallah, ayah bisa terus kendaliin pikiran dan perasaan. Ayah nggak mau nambahi beban bunda kalau sampai sakit,” kataku, dengan tersenyum.
“Yang penting, terus tingkatin istiqomah. Nggak ada apapun yang terjadi di dunia ini karena kebetulan, semua sudah ditulis oleh Dia. Tuhan Seru Sekalian Alam adalah penulis yang terbaik, dan nggak akan pernah menyakiti makhluk-Nya sendiri. Jadi ayah tetep pede ya. Jangan pernah kecil hati, apalagi ngerasa tersingkirkan. Mungkin kawan-kawan atau bahkan keluarga, ngejauh semua, ya biar aja. Nggak perlu dipikirin. Yang penting, terus berjuang untuk deket sama Allah. Itu aja pinta bunda,” tutur istriku, panjang lebar.
Ku peluk istriku dengan erat. Kebanggaan kian membuncah. Laksmi menjadi sosok yang semakin tangguh lahir batinnya. Ditambah keakraban dengan Pengeran Gusti yang mengisi relung pikiran dan jiwanya.
Terus ku peluk istriku dalam rengkuh kebahagiaan dan kebanggaan. Lalu ku senandungkan serangkai doa dengan perlahan: “Wahai Rabb-ku, jika ada orang yang tidak suka melihat kami bahagia, karuniakanlah ia kebahagiaan yang dapat membuatnya melupakan kebahagiaan kami!”
Tidak ada pembicaraan serius yang kami bahas dalam kunjungan istriku di sela-sela jam kantornya tersebut. Hanya kangen-kangenan dan terus menjaga hati. Hingga suara adzan Dhuhur menggema dari masjid di dalam kompleks rutan, waktu besukan pun berakhir.
Aku antar istriku hingga ke pintu gerbang P-2-O, untuk selanjutnya ia memasuki ruangan terakhir sebelum keluar dari gerbang utama pintu rutan. Kembali kami berpelukan erat, sesaat sebelum ia melangkah memasuki ruangan terdepan.
“Ayah terus jaga kesehatan, tertib solat, ngaji juga doanya, dan lepasin semua beban di pikiran serta perasaan,” pesan istriku Laksmi dengan suara bergetar.
Ku lepas istriku dengan senyuman. Yang menyimpan banyak nilai di dalamnya. Kebanggaan, kasih sayang, juga keprihatinan. Ketegaran yang ia tunjukkan selama ini, membuatku terus mendapat kucuran air sejuk yang menumbuhsuburkan semangat dan keyakinan.
Dan setelah melapor di pos penjagaan lar serta dalam, aku masuk ke kamar. Tepat saat kawan-kawan telah duduk melingkar untuk makan siang.
“Lanjut aja makannya, aku dhuhuran sebentar,” kataku kepada kap Yasin dan kawan-kawan yang menunggu kedatanganku.
“Baiknya, kalau makanan sudah tersaji, makan dulu baru solat, be. Itu ajaran Kanjeng Nabi,” pak Waras menimpali.
“O gitu, pak. Emang bener Kanjeng Nabi Muhammad SAW ngajarin gitu?” tanyaku, dengan cepat.
“Iya, be. Aku pernah baca soal itu. Nggak mungkin juga aku berani bawa-bawa nama Kanjeng Nabi kalau nggak bener yang aku sampein,” jawab pak Waras.
“Bener yang dibilang pak Waras itu, om. Aku juga pernah denger ustadz Umar nyampein gitu waktu kultum. Lagian, lebih baik makan inget solat, ketimbang solat inget makan,” kata kap Yasin, seraya tersenyum.
Akhirnya, aku bergabung dengan kawan-kawan yang telah duduk rapih untuk makan siang. Beberapa lauk makan yang dibawakan istriku, langsung aku keluarkan dari kantong plastik. Ada rendang, telur sambel, ikan asin sambel, hingga kerupuk.
“Ikan asin sambel gorengnya nggak usah ditaruh disini, be. Itu kan lauk favorit babe. Simpen aja buat babe. Ini aja sudah banyak lauknya,” ujar pak Waras yang telah mengenal kesukaanku.
“Nggak apa-apa, pak. Kawan-kawan juga pasti ada yang suka dengan lauk ini. Ya kita nikmati bersama. Masakan istri, jadi pasti beda rasanya,” sahutku.
Setelah diawali dengan doa bersama, kami penghuni kamar 30 makan siang bersama. Selepasnya, baru aku dhuhuran. Solat di atas bidang tempat tidurku.
“Om, hp-nya masih di aku. Nggak apa-apa ya kalau aku sesekali pakai buat ngubungi keluarga,” kata kap Yasin, saat kami telah duduk santai di ruang depan sambil menikmati rokok.
“Nggak apa-apa, kap. Sepanjang buat ngubungi keluarga, silakan pakai. Asal jangan buat yang nganeh-nganeh aja,” jawabku, dengan santai.
Tidak berselang lama, kap Yasin izin masuk ke ruang dalam untuk menelepok istrinya. Ia duduk di sudut ruangan, bidang tempatku yang memang terlindungi oleh tembok kamar mandi. Sehingga tidak akan terpantau oleh siapapun yang berdiri di balik jeruji besi.
“Akhirnya malah kap Yasin yang ngejilat ludahya sendiri,” kata pak Ramdan dengan pelan.
“Maksudnya apa, pak?” tanya pak Waras.
“Selama ini kan dia keukeuh bener, kamar steril dari hp. Jadi barang haramlah pokoknya. Tapi, akhirnya dia sendiri yang pakai hp,” jelas pak Ramdan, sambil tersenyum kecil.
“Yah, semua itu sesuai kebutuhan, pak. Dan semua musibah pasti berhikmah. Dengan musibah yang pak Ramdan alami, hikmahnya kap Yasin terbuka hati dan pikirannya, kalau kita tetep perlu alat komunikasi. Sesederhana kayak ginilah cara Allah itu ngebuka mata hati kita,” sahut pak Waras dengan gayanya yang kalem dan santai.
“Tapi selama ini kap Yasin itu kayak sudah harga mati bener kalau nyangkut soal botol alias hp itu, pak. Dia bahkan pernah ngancam, lebih baik pindah kamar dari pada ada hp disini,” tanggap pak Ramdan, ada nada kegusaran di dalam perkataannya.
“Hidup ini kan fleksibel sih, pak. Nggak usah kita komentari perubahan sikap kap Yasin itu dengan penilaian negatif, teteplah positif. Ngejaga perasaan orang lain itu lebih baik ketimbang nge-ghibah-innya. Walau memang, ngejaga perasaan orang lain itu cuma bisa dilakuin sama orang yang berperasaan,” sambung pak Waras, dengan tersenyum.
Mendengar penuturan pak Waras dengan demikian adem, aku bersyukur di dalam hati. Bertemu dengan sosok yang terus menebar kebaikan, yang di dalam perkataannya acapkali diselimuti dengan bahasa-bahasa sederhana yang menyimpan makna. (bersambung)
