Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 370)

Kamis, 05 Januari 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang 

 

TERDENGAR suara musik keras dari lapangan, tempat pesta bakar ikan memeriahkan kehadiran Tahun Baru. Diiringi dengan suara para tahanan yang telah berkumpul disana.


“Pasti banyak yang nanti akhirnya mabuk-mabukkan di acara itu ya, kap,” kata Anton kepada kap Yasin yang tetap duduk dengan santainya sambil ngemil makanan ringan yang dibawakan sipir Almika.


“Nggak usah ngeduga-ngeduga, apalagi yang negatif, Anton. Kalau nggak ada urusannya sama kita, nggak usah dikomentari,” sahut kap Yasin, dengan kalem. 


“Kenapa emangnya, kap?” tanya Anton.


“Ngabis-ngabisin energi aja. Coba belajar gunain pikiran dan perasaan buat hal-hal yang positif. Apa-apa yang nggak bawa pengaruh sama pribadi kita atau kamar kita, nggak usah dipikirin,” sambung kap Yasin.


“Jadi avonturir dong,” ucap Anton, dengan cepat. 


“Ya nggak gitu juga maksudnya, Anton. Cuma belajar selektif dalam ngenilai sesuatu. Lagian, apa pula untungnya buat kita dengan komentari acara di lapangan itu? Wong kita aja nggak ikutan. Mau ada yang mabuk-mabukan karena miras atau kebanyakan makan ikan, kan nggak bawa pengaruh apapun buat kita sekamar ini. Baikan kamu terus aja nyanyi, itu manfaatnya jelas, bisa ngehibur kami semua,” tutur kap Yasin, seraya tertawa.


Mendengar kap Yasin tertawa, Anton pun ikut tertawa. Dan tidak lama kemudian, ia kembali menyuarakan tembang-tembang dangdut diiringi gendang dari galon air mineral.


Mataku melihat jam yang ada di dinding kamar. Pukul 23.50. Buru-buru aku bangkit dari duduk di ruang depan, dan setelah meminta izin kepada kap Yasin, ku aktifkan kembali telepon selulerku. Sambil duduk di pojok kasur yang terhalang tembok kamar mandi, aku hubungi istriku melalui videocall.


“Alhamdulillah, kita tetep bisa nyambut datengnya Tahun Baru bersama ya, ayah. Ini Bulan sama Halilintar juga milih nggak keluar rumah, walau tadi mau dijemput kawan-kawannya diajak keluar. Mereka pengen pas datengnya pergantian tahun, bisa sama ayah,” kata istriku Laksmi.


“Alhamdulillah. Bangga bener ayah sama bunda dan anak-anak. Mana sekarang nduk ayah sama cah ragil ya, bunda?” tanyaku.    


“Lagi ke kamar masing-masing. Paling sebentar lagi juga ke kamar kita kok ayah,” sahut istriku.


Dan benar saja, beberapa menit kemudian, Bulan dan Halilintar telah masuk ke kamar dan kami pun bercengkrama berempat.


“Di rutan nggak ada acara Malem Tahun Baruan ya, ayah?” tanya Bulan.


“Ada, nduk. Bakar ikan sambil nyanyi-nyanyi di lapangan,” jawabku.


“Kok ayah di kamar aja?” tanya dia lagi.


“Ayah dan semua penghuni kamar ini nggak ikut acara itu. Sokongannya mahal, duitnya nggak ada. Jadi, kami ya di kamar aja ngelewati pergantian tahun. Bersyukur ayah bisa videocall gini,” ujarku.


Suara sirine pertanda pergantian tahun terdengar sangat nyaring dari lapangan rutan. Aku pun langsung mengucapkan Selamat Tahun Baru buat istri dan anak-anakku.


“Inshaallah di tahun baru ini kita bisa lebih istiqomah ya, ayah. Terus dikasih sehat, rejeki berkah, dan dijauhkan dari semua bala petaka, fitnah serta iri dengki,” tutur istriku, menyampaikan doanya.


“Aamiin, aamiin ya robbal alamin. Ayo sama-sama kita bagusin yang kemarin kurang bagus. Kita tingkatin yang sudah bagus. Dan terus kuatin sabar serta ikhlas kita atas takdir yang ada,” sahutku, seraya menatap Laksmi, Bulan, dan Halilintar melalui layar handphone.


“Ayah harus terus jaga kesehatan ya. Mbak nggak mau denger ayah sakit. Inget ya, ayah,” Bulan menyampaikan pesannya.


“Adek minta, ayah lebih serius baca Qur’annya. Setelah khatam, ngaji lagi, khatam lagi, ngaji lagi. Gitu terus sampai bebas. Dan setelah di rumah, terusin ngajinya,” ujar Halilintar menyampaikan harapannya buatku.


“Kalau bunda minta ayah terus sayang sama bunda selamanya, dan terus jadi kebanggaan kami semua dalam kondisi apapun. Kami akan selalu ada buat ayah, dan ayah juga harus selalu ada buat kami. Bunda yakin, ayah laki-laki tegar, tangguh, dan nggak kenal kata menyerah. Lakoni cerita kehidupan yang ada sekarang ini dengan terus deketin diri sama Allah,” tutur istriku Laksmi dengan suara penuh keharuan.


“Terimakasih bunda dan anak-anak. Inshaallah, ayah bisa lakuin apa-apa yang kalian harepin. Kita tetep semangat ya, karena dengan itu kita akan terus survive. Tutup telinga rapat-rapat dari komentar sekeliling. Tetep aja fokus sama tujuan masing-masing. Dan inget, kita harus terus bahagia, dengan tetep jadi diri kita sendiri dalam kondisi apapun,” kataku menanggapi.


Meski kami menunjukkan wajah penuh keceriaan dan kebahagiaan dalam perbincangan pada malam pergantian tahun, namun sesungguhnya masing-masing menyadari adanya kesedihan dan keprihatinan dengan kondisi yang ada ini.


Tetapi, semua kepiluan di dalam jiwa dan pikiran itu, mampu kami tepis dengan kebersamaan. Aku pun mengakui, perlahan-lahan ketegaran dan keteguhan mental itu terbangun dengan kokohnya. Bukan hanya pada diriku, tetapi juga istriku Laksmi, dan anakku Bulan serta Halilintar.


“Ayah, kawan-kawan ayah ada nggak yang mau ngubungi keluarganya ngucapin tahun baruan. Coba ayah tawarin pakai hp ayah. Pastilah mereka juga pengen kayak kita bisa videocall di malem tahun baru,” kata istriku, di sela-sela kami bercandaan.


“Iya juga ya, bunda. Tapi tadi nggak ada yang bilang ke ayah mau pinjem hp sih,” sahutku.


“Ayah yang tawarinlah. Mungkin mereka segen mau bilang ke ayah pinjem hp. Berbagi kebahagiaan kan bagus sih, ayah. Coba habis kita ngobrol ini, ayah tawarin ya. Bunda ngerasain bahagianya bisa videocall kayak gini, bunda pengen istri dan anak-anak kawan ayah sekamar, juga rasain hal yang sama,” kata istriku lagi.


“Oke kalau gitu bunda. Kita sudahi dulu ya. Nduk dan adek, baik-baik yo. Khusus buat adek, jagain bunda dan mbakmu,” ujarku.


“Siap, ayah. Adek pasti jagain bunda dan mbak. Ayah tenang aja. Nggak usah khawatir,” jawab Halilintar, sambil mengepalkan telapak tangannya diiringi senyuman.


“Oke, ayah. Terus jaga kesehatan dan tingkatin ibadahnya ya. Nggak usah mikirin urusan lain-lain,” pesan istriku, dan sesaat kemudian hubungan videocall kami pun terputus.


Setelah menaruh telepon seluler di kasur, aku kembali ke ruang depan. Dan disambut dengan salaman diiringi pelukan dan ucapan Selamat Tahun Baru dari semua penghuni kamar 30. Suasana kamar benar-benar penuh keceriaan.


Sambil membuka minuman kaleng pemberian sipir Almika, aku sampaikan kepada kawan-kawan yang ingin menghubungi keluarganya, silakan menggunakan hp-ku.


“Kap duluan, om. Baru nanti giliran. Yang tua-tua dulu, yang bujangan belakangan,” kata Anton, yang antusias dengan penyampaianku.


Kap Yasin bangkit dari tempat duduknya dan setelah meminta izin kepadaku, ia naik ke kasurku. Tidak lama kemudian, terdengar ia tengah berbicara dengan keluarganya.


Sementara, suara ingar-bingar terdengar begitu kencang dari arah lapangan. Mayoritas penghuni rutan, tengah berkumpul disana. Memeriahkan kehadiran tahun baru dengan sukacita. Sebaliknya, di sekitar kamar kami, suasananya sangat sepi. Karena hanya penghuni kamar 30 ini saja yang tidak bergabung di lapangan. (bersambung)

LIPSUS