Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 371)

Jumat, 06 Januari 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


AKU menaruhkan badan di kasur tipis pak Waras, sambil terus mendengarkan nyanyian sumbang dari Anton. Sesekali menimpali perbincangan pak Waras dan pak Ramdan. Semua penghuni kamar 30 berkumpul di ruang depan. Ada yang bermain catur, mengisi teka-teki silang, dan melamun.


Tidak tahu kapan mulainya, ternyata aku tertidur di kasur pak Waras. Tersadar ketika kakiku di tepuk perlahan oleh Anton.


“Subuhan, om,” kata dia, ketika melihatku telah membuka mata.


“Masyaallah, aku ketiduran semalem ya, Ton. Terus pak Waras tidurnya dimana,” kataku, sambil duduk dari kasur pak Waras.


“Pindah tempat aja, om. Pak Waras tidur di kasur om. Tapi dia sudah bangun, itu lagi solat sunah qobla subuh,” ujar Anton, yang segera bergerak menuju sajadah di dekat pintu masuk ruang dalam.


Setelah berwudhu, aku mengambil kain sarung dan kupluk. Dan ketika melihatku telah selesai melaksanakan solat sunah qobla Subuh serta membaca wirid, pak Waras memberi isyarat kepada pak Ramdan untuk segera komat. Seperti biasanya, kami berempat solat Subuh berjamaah.


“Maaf, pak. Semalem aku ketiduran di kasurnya,” kataku kepada pak Waras, selepas kami solat dan berdoa.


“Nggak apa-apalah, be. Malahan aku yang rasain nikmat. Tidur di kasur babe yang besar dan empuk. Untung tetep bisa bangun pas denger suara adzan subuh,” sahut pak Waras, seraya tersenyum.


Pak Ramdan langsung menyiapkan minuman hangat untukku, pak Waras, Anton, dan dirinya sendiri. Setelah merapihkan kasur dan menaruh kain sarung serta kupluk, aku ke ruang depan. Menikmati kopi pahit bersama beberapa makanan ringan yang masih ada. Kiriman dari sipir Almika.


“Alhamdulillah ya, be. Tetep bisa nikmat tidur. Aku ngelihat wajah babe tidur semalem, nyenyak bener. Damai hati babe, pikiran juga tenang,” kata pak Waras, seraya menyeruput teh manisnya. 


“Cuma suara ngoroknya itu yang luar biasa kenceng, om. Sampai-sampai tikus yang lagi main di got depan kamar aja, pada kabur,” ucap Anton, menyela dan langsung tertawa ngakak.


Kami pun tertawa ngakak dengan perkataan Anton. Memang banyak yang menilai, ketika tidur tidak diiringi dengan suara mengorok, berarti belum lelap dan tidak dalam kenikmatan istirahat. Namun sebaliknya, ada yang berpendapat, seseorang yang tidur dengan suara mengorok kencang, menandakan begitu dalamnya kegalauan pada batin dan pikirannya. 


“Kalau tidur nggak ngorok itu kurang asyik, Ton. Justru nikmatnya tidur mesti diiringi sama suara ngorok,” ujar pak Ramdan, masih dengan tertawa.


“Emang sambil tidur, pak Ramdan bisa nikmati keasyikannya ya?” tanya Anton, menyela. 


“Iya juga ya, Ton. Nggak mungkinlah kita lagi tidur bisa rasain nikmatnya. Paling setelah bangun baru bisa kita rasain, tidur tadi kayak mana ya,” jawab pak Ramdan, dan kembali tertawa.


Mendadak pak Ramdan bangkit dari duduknya, dan masuk ke ruang dalam. Tidak lama kemudian, ia ke ruang depan kembali dengan membawa sebuah piring berisi tiga ekor ikan bakar.


“Hampir kelupaan, om. Tadi pas mau subuh, komandan dateng kesini. Ngasih ikan bakar buat om. Cuma, karena om lagi tidur nyenyak, dia nitip ke aku buat disampein ke om,” kata pak Ramdan dan menyerahkan piring berisi tiga ekor ikan bakar ke tanganku.


“Oh ya. Alhamdulillah. Ada aja rejeki kita ya, pak. Ya sudah, ayo kita makan bareng-bareng. Karena kita berempat yang sudah bangun, ya kita aja yang makannya,” kataku kemudian.


“Tapi nggak ada stok nasi, om. Apa buat mie instan aja dulu. Nggak enaklah kalau ngegadoin ikannya aja,” ujar pak Ramdan, meminta pendapatku.


“Buat mie goreng aja kalau gitu, biar pas disatuin sama ikan bakar,” sahutku, dan bergegas ke loker untuk mengambil tiga bungkus mie goreng.


Dengan cekatan, pensiunan pejabat pemerintahan itu pun membuat mie goreng. Sesekali terdengar ia tengah bersenandung. Meski masih tampak kesedihan setelah putra bungsunya meninggal dunia akibat aksi kekerasan begal jalanan, namun pak Ramdan memiliki mental yang kuat dan cepat menguasai keadaan.


Sekira 20 menit kemudian, kami telah menikmati sarapan mie goreng ditemani ikan bakar kiriman komandan pengamanan rutan. Aku menyisihkan satu ekor ikan bakar untuk kap Yasin. Sehingga kami berempat memakan dua ekor lainnya.


Saat kami tengah sarapan, seorang tamping kunci membuka gembok kamar. Sambil memberitahu, bila aku ditunggu pak Edi di kamarnya. Kamar 34. 


“Pak Edi aja yang kesini, aku lagi sarapan,” kataku kepada tamping kunci tersebut. 


Dengan setengah berlari, tamping berusia 30 tahunan berbadan gempal itu menuju kamar pak Edi. Dan tidak lama kemudian, laki-laki yang aku kenal sejak masih berstatus tahanan di polres tersebut pun masuk ke kamarku.


“Wah, enak amat sarapan sama ikan bakar. Aku yang ikut sokongan aja cuma kebagian satu, itu pun kecil. Ini ada tiga ekor gede-gede pula ikannya,” ucap pak Edi, begitu melihat kami sedang sarapan mie goreng dengan ikan bakar.


“Namanya rejeki itu beda-beda pastinya, pak. Ada yang hasil usaha, ada yang bener-bener nggak terduga. Nah, yang kami makan ini bagian dari rejeki nggak terduga itu,” tanggap pak Waras, sambil tersenyum.


“Apa ceritanya kalian bisa kebagian ikan bakar ini ya? Penasaran aku jadinya,” kata pak Edi lagi.


“Tadi pas mau subuh, komandan kesini. Bawain tiga ekor ikan bakar buat om Mario. Aku yang terima, karena dia lagi tidur. Jadi, ini ikan pengasih, pak,” jelas pak Ramdan.


“Emang babe ini ada aja rejekinya lo. Dari masih di polres dulu aku sering heran, kok ada aja polisi yang ngirim makanan, tiap hari pula. Belum lagi istrinya, rutin kirim sarapan buat kami sekamar, juga makan malem. Nggak tahu aku, apa rahasianya sampai rejeki ngalir terus gitu,” tutur pak Edi, sambil menatapku.


“Yang Di Langit yang ngatur, pak. Aku sendiri nggak tahu kalau ditanya apa rahasianya. Karena rahasianya ya punya Tuhan. Gimana acara semalem, pak. Seru dan puas ya makan ikan bakarnya,” sahutku, seraya tersenyum.


“Justru aku pengen ketemu pagi-pagi ini karena mau obrolin acara semalem, be. Ngeselin tahu. Tiap orang cuma dijatah satu ekor doang. Itu juga nasinya dari kita sendiri. Gila kan acara Malem Tahun Baruan kayak gitu,” kata pak Edi, beberapa saat kemudian.


“O gitu. Terus yang nggak punya nasi, makan ikannya aja, gitu ya,” ujarku.


“Ya mau nggak mau, be. Ketimbang nggak makan, ya netelin ikan bakar itulah. Makanya, aku nggak sampai pagi ikuti acaranya,” jawab pak Edi.


Tiba-tiba Rudy berdiri di balik jeruji besi. Membawa bungkusan. Dan langsung menyerahkan kepadaku.


“Apa ini, Rud?” tanyaku kepada OD kamar 20 itu.


“Titipan om Dino sama om Basri, buat om. Ikan bakaran semalem,” jawab Rudy, yang langsung pergi meninggalkan kamarku.


“Alhamdulillah. Sampein terimakasih om buat Dino sama Basri ya, Rud,” kataku, setengah berteriak.


“Nah, ini malah Dino sama Basri ngirim kesini. Apa-apaan sih ini semua, be?” ujar pak Edi dan kembali menatapku dengan pandangan penuh tandatanya.


“Ya nggak ada apa-apalah, pak. Kan pak Edi denger sendiri omongan Rudy tadi. Kiriman buatku dari Dino dan Basri. Mereka kasih ke aku dan buat kawan-kawan. Emang yang nerima salah, ya nggak dong,” sahutku, sambil tersenyum.


Bungkusan berisi ikan bakar dari Rudy aku berikan kepada pak Ramdan. OD kamarku memberitahu, isinya empat ekor ikan bakar.


“Alhamdulillah. Berarti semua isi kamar kita bisa kebagian nikmati ikan bakar ya. Langsung dipotong jadi dua aja setiap satu ekornya, pak. Jadi nggak rebutan pas mau makan nanti,” kataku kepada pak Ramdan.


Pak Edi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Gaya khasnya jika tengah dirundung rasa heran atas sebuah kenyataan yang diluar perkiraannya.


“Kalau aku hitung sekilas aja, malahan untung kawan-kawan di kamar ini dibanding kami yang sokongan buat ikut acara semalem,” kata pak Edi, setelah diam cukup lama.


“Hidup ini kan emang untung dan rugi, pak. Nurut pak Edi, karena kami dapet kiriman ikan bakar dari acara semalem, kami untung. Sebab, kami nggak ikut acaranya akibat nggak bisa sokongan. Tapi sebenernya, kami juga rugi,” tanggap pak Waras.


“Apa ruginya, pak? Wong tetep dapet ikan bakarnya kok?” tanya pak Edi, dengan cepat.


“Ruginya, kami nggak ngerasain langsung gimana asyik dan serunya Malem Tahun Baruan di rutan. Kan belum tentu pas pergantian tahun depan kami masih ada disini semua. Pasti sudah banyak yang bebas juga. Nah, pengalaman itu yang buat kami rugi,” urai pak Waras, seraya tersenyum. 


Pak Edi mengangguk-anggukkan kepalanya. Mencoba menelaah perkataan pak Waras. Dan tidak lama kemudian, ia kembali menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. 


Melihat ekspresi kap kamar 34 itu, kami semua tersenyum. Hidup ini tetap indah jika dihiasi dengan keentengan pikiran dan perasaan, dimana pun kita tengah berada. (bersambung)

LIPSUS