Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 377)

Kamis, 12 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang


OM, hari ini sidang ya. Nanti jam 11.30 sudah di pos penjagaan,” kata tamping regis yang selalu berpenampilan perlente itu.


“Nggak salah kamu? Om kan sidangnya hari Senin dan Kamis, ini hari Rabu. Lagian, waktu itu hakimnya bilang mulai sidang lagi pertengahan bulan, ini kan masih minggu pertama di awal tahun,” ujarku, menyahuti.


“Nah, aku nggak paham soal itu, om. Yang jelas, nama om ada disini. Lihat aja daftar tahanan yang sidang hari ini,” ucap tamping regis, dan menyerahkan kertas berisi daftar nama tahanan yang bersidang hari itu. Memang, disana ada namaku.


Aku terdiam. Mendadak berada dalam lingkaran kebingungan. Aku ingat betul penegasan ketua majelis hakim yang disampaikan pada sidang terakhir, bila aku akan kembali menjalani persidangan pada minggu kedua pada bulan pertama awal tahun, namun namaku tercatat sebagai peserta sidang hari ini.


“Darimana bisa muncul namaku ini ya?” tanyaku kepada tamping regis, yang juga tampak kebingungan.


“Dari Kejaksaan Negeri-lah, om. Disini kami salin lagi sesuai aslinya,” jelas tamping itu.


“Gini aja, coba nanti kamu cek lagi surat dari Kejaksaan Negeri itu, bener nggak ada nama om. Kalau-kalau kalian salah ngetik,” kataku kemudian.


“Siap, om. Nanti aku cek lagi. Tapi, om tetep siap untuk hadir sidang ya. Karena selama ini bisa dibilang nggak pernah kami salah nulis nama yang harus sidang kok,” timpal tamping tersebut, dan sesaat kemudian bergerak ke kamar lain untuk memberitahu tahanan yang hari itu mesti mengikuti persidangan.


Sepeninggal tamping regis, aku berdiam diri dengan memegang jeruji besi. Terjadi pergulatan dalam pikiran. Keyakinanku akan jadwal yang disampaikan majelis hakim menjadi tergerus oleh adanya namaku di dalam daftar nama tahanan yang akan bersidang hari itu.


“Ada apa, be?” tanya pak Waras, yang tetap asyik menyelonjorkan badannya di lantai.


Aku pun menceritakan masalah yang tengah terjadi. Pak Waras tampak beberapa kali mengernyitkan dahinya. Aku tahu, ia juga tengah dililit oleh keraguan untuk memberikan saran.  


“Sebaiknya, tetep berangkat aja, be. Siapa tahu ada perubahan jadwal,” saran pak Waras, setelah mendengar ceritaku dan melakukan penimbangan selama beberapa menit.


“Gitu sarannya ya, pak,” sahutku, pendek.


“Nurutku lebih baik gitu, be. Kalau babe nggak berangkat, bisa jadi masalah baru di dalem sini. Apalagi, kalau ternyata emang babe harusnya sidang hari ini. Kan bisa aja majelis hakim kesel, dan akhirnya pakai rumus pasal jengkel ke depannya,” kata pak Waras, dengan gaya khasnya; santai.


“Kalau berangkat ke pengadilan juga, walau aku tetep ngerasa nggak bakal sidang, apa manfaatnya, pak?” tanyaku.


“Yang jelas, babe sudah nunjukin ketaatan sama perintah pimpinan rutan. Dan yang lebih penting lagi, babe bisa nikmati suasana di luaran. Ngilangin sumpek dan bete karena di sel terus. Selain itu, malah bisa ketemu istri dan keluarga,” urai pak Waras, seraya tersenyum lebar.


“Oke, kalau gitu sarannya, pak. Terimakasih. Aku siap-siap dulu ya,” tanggapku, dan bergerak ke loker tempat pakaian untuk mengambil kaos daleman dan lain-lainnya.


Kemeja putih lengan panjang dan celana hitam aku turunkan dari gantungan. Sepatu yang terbungkus kantong plastik, aku keluarkan. Mengelap dan menyemirnya. Hingga hitam mengkilat. Kopiah warna hitam pun aku siapkan. Dan setelahnya, baru aku aktifkan telepon seluler untuk memberitahu istriku, Laksmi.


“Lho, bukannya minggu depan jadwal ayah sidang?” tanya istriku, ketika ku beritahu jika siang nanti aku ke pengadilan untuk bersidang.


“Seinget ayah emang gitu, bunda. Tapi tadi ayah lihat sendiri, ada nama ayah sebagai peserta sidang hari ini. Jadi, ayah tetep ke pengadilan. Soal nanti sidang apa nggak, ya urusan nantilah itu. Ketimbang nggak berangkat, malah jadi masalah disini,” jelasku.


“Kalau nurut ayah, itu yang terbaik, ya nggak apa-apa. Tetep berangkat aja. Tapi coba konfirmasi ulang sama tamping regis. Siapa tahu mereka salah masukin nama. Nanti kabari bunda perkembangannya ya, ayah,” ujar istriku. 


Setelah berbincang beberapa saat, hubungan telepon aku matikan. Dan setelah menon-aktifkan, telepon seluler kembali aku simpan di dalam celah kecil yang sengaja aku buat pada bagian tepi kasurku. 


Tepat pukul 11.30 aku keluar kamar. Berpakaian khas tahanan yang akan menjalani persidangan. Juga membawa kacamata baca lipat kesayangan, buku kecil beserta pulpennya, serta satu bungkus rokok dengan koreknya. 


“Abang sidang hari ini?” tanya sipir Fani yang bertugas di pos penjagaan dalam, saat melihatku memasuki teras pos jaga.


“Namaku ada di daftar yang sidang, Fani. Tapi, seingetku masih minggu depan,” jawabku, dengan enteng. 


“Kok bisa gitu, bang?” tanya Fani lagi.


“Nggak ngerti aku, Fani. Tadi sudah ku minta tamping regis cek ulang, tapi sampai sekarang nggak ada perkembangan. Ketimbang salah, baikan aku berangkat aja ke pengadilan,” kataku lagi.


“Itu lebih baik, bang. Daripada timbul masalah baru kalau nggak berangkat. Aku paham, kalau abang pengen kepastian atau kebenaran informasinya. Karena emang, hati kita diciptain dalam keadaan mencintai kebenaran, menginginkannya, dan mencarinya. Tapi, seringkali situasi dan kondisi maksa kita cuma bisa sabar dan nerimo sama kenyataan yang ada,” tutur sipir Fani, sambil tersenyum kepadaku.


Mendengar tuturan Fani, aku pun tersenyum. Sipir berbadan tinggi besar dengan jambang lebat dan mata tajam ini, memang memiliki ketenangan dan sikap bijak yang mumpuni dalam menyikapi beragam cerita yang menghiasi kehidupan. Pun pembawaannya yang bersahaja, membuat banyak tahanan yang segan dengannya.


Sambil terus menatap sipir Fani, aku teringat perkataan seorang sahabat: Orang beriman menerima kebenaran dengan senang hati. Saat dihinakan atau dipermainkan, tidak ada pembalasan selain ucapan kebaikan. Orang beriman akan membungkus kemarahan dan kebenciannya dengan kesabaran dan memaafkan.


“Abang mau makan dulu nggak? Kalau mau, aku pesenin di kantin. Masih ada waktu kok, bang,” ucap sipir Fani, beberapa saat kemudian. Yang membuyarkan ingatanku akan perkataan seorang sahabat.


“Nggak usah, Fani. Tadi sudah sarapan kok. Nanti pasti ayukmu juga bawa makanan,” jawabku.


“O, abang sudah kabari ayuk kalau mau sidang?” tanya dia lagi.


“Sudah, barusan ini tadi. Inshaallah, nanti dia ke pengadilan. Dia juga ragu, karena inget bener kalau agenda sidangku itu minggu depan, bukan sekarang,” ujarku.


“Ya sudah, bang. Jalan-jalani aja. Anggep-anggep dapet hiburan, bisa nikmati jalan raya dan ngelihat kota,” kata Fani, sambil tertawa ngakak. Aku pun tertawa. (bersambung)

LIPSUS