Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 380)

Minggu, 15 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang


JADI om nggak setuju kalau Teguh tidurnya di lantai atas, bareng sama kita?” tanya kap Yasin.


“Bukan soal setuju nggak setuju ini mah, kap. Aku cuma nyampein saran dan pikiran aja. Semua keputusan di kamar ini kan tergantung kap. Kami semua manut,” tanggapku.


“Gimana kalau aku yang pindah ke bawah aja, kap. Biar Teguh gantiin tempatku,” kata Anton, tiba-tiba. 


Seorang penghuni lain yang masih berusia muda, juga menyatakan kesiapannya pindah tempat ke ruang depan, agar pak Waras bisa naik ke lantai atas.


“Nah, ini yang aku suka. Kawan-kawan tetep mikirin perlunya ngejaga kebersamaan kita. Ini baru solusi yang elegan namanya. Oke, aku sepakat sama Anton dan usulan kamu,” ujar kap Yasin, ada senyum sumringah dari mulutnya yang masih berisi makanan.


Kami semua tersenyum mendengar perkataan kap Yasin. Cara Anton menyelamatkan wibawa kap, patut diacungi jempol. Betapapun, kehidupan memang tempat pembelajaran, tanpa menyekatkan keberadaan. Di alam bebas atau di dalam sel yang amat terbatas. 


Seusai makan malam, pak Ramdan membuatkan kami minuman hangat. Sambil menikmati sebatang rokok dan duduk santai di ruang depan, cepat-cepat aku berusaha untuk menghabiskan secangkir kopi pahit yang telah tersedia. 


“O, ayah suka kopi pahit ya, kenapa?” tanya Teguh, setelah diberitahu pak Ramdan bila aku hanya minum kopi tanpa gula. 


“Biar inget aja, Teguh. Kalau nggak semua yang terasa pahit itu berakhir menyedihkan. Yah, kayak secangkir kopi ini, walau pahit tapi ada kenikmatan di akhirnya,” jawabku, seraya tertawa.


“Tapi aku nggak bisa rasain nikmatnya kopi pahit lo, ayah. Aku suka berbagai minuman yang manis. Bahkan, kepengen rasain minuman apa aja yang manis-manis,” kata Teguh, dengan tersenyum.


“Kalau nuruti keinginan, nggak akan ada habisnya. Gitu juga kalau cari kepuasan, nggak akan ada ujungnya, Teguh. Emang hidup ini nawarin banyak hal, tapi semua kembali ke diri kita. Kalau bukan diri sendiri yang ngerasa cukup dalam segala hal, sampai kapan juga kita akan terus ngerasa kurang,” ujarku lagi.


Setelah isi cangkir habis, aku pun bergeser. Naik ke lantai tempat tidur. Seusai membersihkan kasur dan menyiapkan selimut, aku merebahkan badan. Dan sesaat kemudian, telah lelap dalam tidur. Sampai kemudian, telapak kakiku terasa ada yang menepuk-nepuk. Anton membangunkan untuk solat Subuh.


Selepas solat berjamaah dan mengaminkan doa yang dipimpin pak Waras, aku kembali ke kasur. Melanjutkan tidur. Hingga dibangunkan oleh pak Ramdan karena ada yang mencariku. Sambil berdiri di atas kasur, aku melihat ke arah depan. Dibalik jeruji besi tampak Gerry tengah berdiri, dan langsung melambaikan tangannya saat melihatku.


“Lagi nggak enak badan tah bang, nggak biasanya habis subuhan tidur lagi,” ujar Gerry, setelah aku berdiri di depannya, dibatasi jeruji besi.


“Nggak juga sih. Lagi pengen tidur aja badan ini. Ya aku ikuti aja maunya badan,” sahutku, sekenanya.


“Syukur kalau gitu, bang. Kirain abang lagi nggak enak badan. Semalem ada kiriman dari rumah lewat sipir, jadi kita berbagi. Ayam kalasan. Enak kok bang,” tutur Gerry, sambil menyerahkan bungkusan yang disebutnya berisi ayam kalasan.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak ya, Gerry. Sehat terus ya,” kataku kemudian.


“Siap, bang. Kalau bisa, siangan nanti kita ngobrol ya, bang. Aku pengen konsultasi sama abang,” lanjut Gerry.


“Oke, nanti abang ke tempat kamu,” sahutku. Dan setelahnya, Gerry pun bergeser, meninggalkan kamarku.


Bungkusan berisi lauk ayam kalasan pemberian Gerry, ku serahkan kepada pak Ramdan. Sebagai OD kamar 30, semua makanan atau minuman yang diterima penghuni kamar pasti diberikan kepada dia. Untuk nantinya diatur pada saat waktunya makan bersama. Terkecuali yang benar-benar bersifat sangat pribadi atau makanan dan minuman kesukaan. 


“Om mau sarapan sekarang?” tanya pak Ramdan.


“Ada nasi nggak? Kalau nggak ada, beli aja dulu,” kataku.


“Nggak adalah, om. Catering kan belum dianter,” sahut pak Ramdan.


Ku panggil seorang tahanan yang tengah menonton televisi di gazebo depan kamar 34. Meminta tolong untuk membelikan nasi di kantin. 


“Pak Waras sama pak Ramdan sudah sarapan belum?” tanyaku, seraya melihat ke arah keduanya.


“Kami sudah sarapan kok, be. Tadi beli nasi uduk,” jawab pak Waras. 


Aku memberikan uang Rp 10 ribu kepada tahanan yang ku minta membelikan nasi ke kantin. Satu bungkus nasi berisi lima kepalan tangan dengan tujuh kali suapan, seharga Rp 5 ribu, sisanya yang Rp 5 ribu untuk yang membelikan. 


“Kenapa nggak beli dua bungkus nasinya, om. Tanggung nanti ngeganjel di perutnya. Ayam kalasannya kan enak dan lumayan banyak ini,” kata pak Ramdan.


“Ayam kalasannya dipotong jadi dua aja, pak. Lumayan, bisa buat tambahan lauk makan siang,” jawabku, sambil tersenyum.


“Kalau tahu babe mau dapet kiriman lauk gini, aku nggak beli nasi uduk tadi. Sudah mahal, nggak ngenyangin pula,” ucap pak Waras, dan tertawa ngakak.


“Kita kan sama-sama nggak tahu, kalau bakal dapet kiriman lauk, pak. Kalau aku sudah tahu duluan sebelum kejadian, lain pasti yang ku lakuin,” tanggapku, juga dengan tertawa.


“Ilmu laduni itu namanya, om. Yang bisa tahu duluan sebelum kejadian. Emang nggak gampang dapetinnya, tapi hebat kita kalau punya ilmu itu,” kata pak Ramdan, menimpali.


“Ngapain susah-susah pengen ilmu laduni segala, pak. Yang harus dipelajari dan dipraktekin itu ilmu tahu diri,” kataku, dan kembali tertawa.


“Nah, bener yang dibilang babe itu, pak. Kita harus belajar sekaligus praktekin ilmu tahu diri, biar keseharian kita nggak buat lama-lama kehilangan semangat,” sambut pak Waras, juga dengan tertawa.


“Dengan ilmu tahu diri itu, ujungnya kita nerima takdir Tuhan ya, pak. Nggak boleh nyalahin kiri-kanan,” ucap pak Ramdan.


“Emang kesana ujungnya, pak. Karena hukuman Tuhan itu kan bermacam-macam. Ada yang disegerakan, ada yang ditunda. Ada yang terasa, ada pula yang nggak terasa. Nah, di antara hukuman yang nggak terasa tapi sangat besar adalah hilangnya iman. Dengan pelajari dan praktekin ilmu tahu diri, inshaallah kita nggak kehilangan iman,” tutur pak Waras.


Seorang penghuni rutan yang aku minta tolong membelikan nasi di kantin, telah datang. Segera aku sarapan. Dengan lauk ayam kalasan pemberian Gerry, yang telah dipotong menjadi dua oleh pak Ramdan. (bersambung)

LIPSUS