Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 381)

Senin, 16 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang


SEUSAI menikmati sarapan dengan lauk ayam kalasan, aku langsung mandi. Dan setelah berganti pakaian, meminta tamping kunci untuk membuka pintu kamar. Tentu dengan memberikan imbalan. 


“Terimakasih, pakde,” kata tamping kunci, saat aku kimel-kan uang Rp 5 ribu ke tangannya.


“Sama-sama. Sudah sana ke kantin, kan bisa beli dua bungkus mie instan itu,” sahutku, sambil menepuk bahunya. 


“Tahu aja lo pakde ini kalau aku emang lagi kepikir mau beli mie goreng,” tanggap tamping itu, dan tertawa.


Sesampai di pintu keluar Blok B, aku melihat Gerry tengah berbincang dengan dua orang di tepian selasar, dekat lapangan. Duduk ndeprok ditemani gorengan dan air mineral. Aku langsung bergabung dengan mereka. Banyak canda dan tawa mengiringi obrolan kami. Hingga kemudian Gerry berpamitan kepada kedua teman sebelumnya, untuk bicara denganku.


Aku dan Gerry duduk di kursi taman depan kantin. Di pojokan. Ia memesan minuman dawet dan pisang goreng. Juga membelikanku dua bungkus rokok.


“Jadi gini, bang. Selama dua bulan terakhir ini, aku gabung sama kawan-kawan yang jual narkoba. Awalnya sih semuanya mulus. Langsung dapet untung. Tapi, sudah seminggu ini kurir di luar, mati lampu. Aku kepepet harus kasih paculan,” kata Gerry, setelah minuman dan makanan ringan yang dipesannya ada di meja depan tempat kami duduk.


Aku terdiam. Tidak menduga bila Gerry bisa masuk dalam kegiatan bisnis ilegal tersebut. Yang jika apes, bisa menambah masa pemenjaraannya. Namun aku memahami pilihannya. 


Pada hakekatnya, semua orang yang berada di dalam penjara memang memiliki pilihan. Memperbaiki diri dengan mendekatkan jiwa raga kepada Tuhan, atau mengasah ilmu dan pengalaman berbagai tindak kriminal. 


“Maksudnya mati lampu sama paculan itu apa, Gerry? Aku nggak paham,” kataku, setelah berdiam beberapa saat.


“Mati lampu itu istilah buat kurir di luar penjara yang ngejualin barang dan nggak bisa dihubungi lagi, bang. Ngilang gitulah gampangnya. Kalau paculan, semacam setoran rutin buat bos-bos disinilah, karena aku kan tinggal di kamar terbuka dan usaha narkoba pula,” Gerry menjelaskan.


“Kok bisa kurir kamu mati lampu? Emang kamu nggak kenal bener sama orang itu?” tanyaku.


“Itu masalahnya, bang. Aku kan dikenalin kawan sekamar sama orang itu. Kata kawan sih, kurir itu jago kalau jualin barang. Ya emang, awalnya rutin kirim uang setelah ambil dan barang terjual, tapi sekarang ngilang. Aku kan harus setor ke yang punya barang,” lanjut Gerry. 


“Kamu minta pertanggungjawaban kawan yang ngenalin aja, Gerry. Lagian, kenapa pula kamu mau-maunya main kayak gini. Sudah tahu badan terkurung, malah milih gawean berisiko besar gini,” ujarku.


“Awalnya iseng aja, bang. Dan emang untungnya besar. Usaha tour travelku bisa berkibar bagus lagi,” sahutnya, seraya tersenyum.


“Semua juga tahu kalau main di dunia narkoba pasti untung besar, Gerry. Makanya, bisnis ini dimainin banyak orang, nggak peduli umur, jenis kelamin, profesi, pangkat maupun jabatannya. Tapi mestinya kamu juga mikir jauh, kita kan lagi di dalem gini, kalau terjadi mati lampu kayak sekarang, apa coba yang bisa dilakuin. Nggak adakan?” tanggapku.


“Itulah masalahnya, bang. Gimana caranya biar aku beresin urusan ini. Karena yang punya barang sudah nagih terus, bahkan kirim anak buahnya ke rumah. Nemuin istri dan karyawan perusahaanku,” lanjut Gerry. 


“Kamu tadi kan bilang kalau sudah dapet untung besar, bayar aja barang yang kamu ambil sama keuntungan yang didapet. Hitung-hitung buang sial. Ketimbang kamu nunggu kurir yang nggak jelas itu, malah timbul masalah di luar. Gimana coba kalau istri sama karyawanmu tahu kamu di dalem sini main narkoba, kan celaka,” kataku, mengurai.


“Iya juga ya, bang. Kok nggak nyampe situ aku mikirnya ya. Kalau aku bayar pakai keuntungan kemarin, masih ada sisa sih walau sedikit. Jadi baikan gitu ya, ketimbang yang punya barang kirim orang terus ke rumah dan ceritain kerjaanku disini,” sambut Gerry dengan cepat.


“Ya sudah gitu aja. Gerak cepet, Gerry. Sambil nunggu perkembangan soal kurirmu, berhenti dulu pesen barangnya,” saranku.


Gerry langsung berdiri dan dengan setengah berlari menuju kamarnya, sambil berpesan agar aku menunggunya di kursi taman tersebut. Pikiranku melayang pada keberagaman permainan menjurus aksi tindak kriminal yang banyak terjadi di dalam rutan. 


Meski perdagangan narkoba dengan istilah “asongan” tetap yang dominan, namun masih banyak hal lain yang selama ini berlangsung dengan nyamannya. Semacam peredaran miras, ganja maupun obat-obat terlarang lainnya. Yang tentu saja, semuanya dikemas dengan rapih dan tersembunyi. Juga hanya melibatkan orang-orang tertentu.


“Sudah clear, bang. Alhamdulillah. Siang nanti uang barangnya dikirim. Orangnya ngerti kok, bahkan dia mau bantuin nyari kurirku yang ngilang itu,” kata Gerry, setelah sekitar 25 menitan baru kembali lagi ke tempat kami duduk.  


“Syukur kalau gitu, Gerry. Habis ini sudah ya. Nggak usah lagi kamu masuk ke dunia itu. Kita masing-masing punya dunia atau keahlian, nggak usahlah coba-coba masuk ke dunia yang bukan keahlian kita. Apalagi dunia yang berisiko kayak ini,” ujarku, sambil memeluk Gerry.


“Siap, bang. Aku janji sama abang, nggak bakal main narkoba lagi,” kata Gerry dengan nada tegas.


“Janjinya itu sama diri kamu sendiri, bukan sama aku, Gerry,” sahutku, juga dengan nada tegas. 


“Siap, bang. Aku janji demi arwah ibu dan bapak, nggak bakal main kayak gitu lagi,” kata Gerry, tetap dengan nada tegas.


Aku terus memeluk pria muda yang selalu berpenampilan perlente dan memiliki kepedulian tinggi dengan sesama penghuni rutan tersebut. Ia juga memelukku, dan tidak lama kemudian, terdengar ia menangis.


“Kenapa kamu nangis?” tanyaku, setelah melepaskan pelukan.


“Aku terharu, bang. Untung ada abang yang kasih aku masukan jitu. Kalau nggak, bisa-bisa istri dan karyawan tahu kerjaanku disini, bakal muncul masalah baru buatku. Terimakasih ya, bang,” jawab Gerry, seraya menghapus air yang masih ada di sudut kedua matanya.


“Santai aja, Gerry. Kita ditemuin disini bukan karena kebetulan, tapi emang sudah diatur sama Yang Di Langit. Kan kamu juga orang pertama yang nge-bond aku waktu baru masuk AO. Jadi wajar kalau kita saling sejagaan,” sahutku. 


“Terimakasih ya, bang. Aku bener-bener terharu bisa selamet dari urusan ini setelah ngobrol sama abang. Tuhan kirim abang buat kebaikanku,” ujar Gerry lagi.


“Ya sudah, nggak usah melo gitu. Kamu lebih tahu mana yang baik dan mana yang nggak baik. Inget, kita ini pendosa, kita ini penjahat, kita ini orang bermasalah. Sadari aja itu dan taubat dengan bener-bener. Tuhan itu maha pengampun,” ucapku kemudian. (bersambung)

LIPSUS