Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 383)

Rabu, 18 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang


SEUSAI makan siang, Anton mengajakku duduk santai di ruang depan. Sambil menikmati rokok dan buah melon sebagai pencuci mulut.


“Om, masih inget nggak apa yang diomongin ustadz Umar waktu kita salaman tadi?” tanya Anton, setelah aku duduk di dekat pintu kamar. 


“Ingetlah, Ton. Kata ustadz, teruslah kalian rendah hati, maka kalian akan jadi mentari. Bayangan kalian di permukaan air, tapi tempat kalian sangat tinggi,” kataku, mengulang apa yang disampaikan ustadz Umar. 


“Emang masih bagus ingetan om rupanya ya. Aku yang muda aja sudah lupa,” sahut Anton, seraya tertawa.


“Maksud kamu, karena aku sudah tua, jadi gampang lupa, gitu ya. Gak gitu juga kali, Ton. Makanya, jangan ngukur orang dari jejeran umurnya. Karena banyak juga yang masih muda tapi pembawaannya seperti orang pikun,” jawabku, juga sambil tertawa.


“Aku juga salut, om punya cara sendiri buat tetep inget yang penting-penting, ditulis di buku dengan rutin. Itu yang mau aku ikuti, sebab aku termasuk orang yang susah inget tapi gampang lupa,” ujar Anton lagi.


“Bukan dulu, gimana bisa ustadz Umar kasih petuah sedahsyat itu sama kamu dan babe, Anton,” pak Waras menyela obrolan kami.


Anton menceritakan pertemuan kami dengan ustadz Umar selepas mengikuti solat Dhuhur berjamaah, hingga “Sang Guru” menyampaikan petuahnya.        


“Emangnya kenapa, pak?” tanya Anton, kemudian.


“Apa yang disampein ustadz itu kata-kata yang dahsyat, Anton. Kalau kita bisa mahami dengan bener dan jalaninya, inshaallah hidup kita selalu tenang dan nyaman. Jauh dari kegalauan, apalagi sombong dan iri dengki,” tutur pak Waras, dengan wajah serius.  


“Pastinya nggak mudah jalaninya, pak,” ucap Anton, dengan cepat.


“Nggak ada sesuatu yang bakal buat kita baik, bisa dijalani dengan mudah, Anton. Tapi, nggak ada juga yang nggak mungkin. Yang penting, niat dan kesungguhan kita aja jalaninya,” kata pak Waras lagi.


“Jadi mesti konsen ke satu titik, perbaiki diri. Gitu ya, pak,” lanjut Anton.


“Iya, emang harus gitu, Anton. Kita harus terus belajar perbaiki diri dan berhenti nyalahin orang lain. Juga belajar jadi pemaaf, dan berhenti sebagai pembenci. Aku inget omongan guru kita, Oemar Said Tjokroaminoto, di buku Memeriksai Alam Kebenaran. Beliau bilang, yang intinya gini: Nggak bisa manusia jadi utama, jadi besar dan mulia, atau jadi pemberani, kalau terlalu banyak sesuatu yang ditakuti dan disembah. Sebab, keutamaan, kemuliaan, kebesaran, dan keberanian hanya lahir dari orang-orang yang bertauhid secara lahir dan batin. Gitu kata beliau. Dan apa yang disampeinnya, jadi pelajaran berharga untuk kita,” urai pak Waras. 


“Biar mantep buat jalani petuah kebaikan itu gimana ya, pak?” pak Ramdan yang sejak tadi diam, mengajukan pertanyaan kepada pak Waras. 


“Imbangi dengan kualitas doa, pak. Artinya, doa yang bener-bener disuarain dari hati, dan terbebas dari keinginan pikiran yang macem-macem,” ujar pak Waras.


“Maksudnya doa yang berkualitas itu gimana, pak?” tanya pak Ramdan lagi.


“Doa yang bener-bener ngungkapin pengakuan kalau kita lemah dan butuh Allah. Soal hajat kita terkabul atau nggak, nggak usah dipersoalin, yang penting Allah sudah tahu mau kita apa. Kalau kita sudah bisa lakuin seperti itu, barulah disebut doa berkualitas, doa yang bener-bener jadi ruhnya ibadah,” tutur pak Waras, panjang lebar.


“Aku ini sudah sering berdoa lo, pak. Cuma kayaknya, ya gini-gini aja yang ku rasain. Belum ada mantep-mantepnya buat ibadah,” kata Anton, polos.


“Ada kawan yang pernah bilang ke aku kayak gini: nggak semua yang kamu cintai akan bahagiain kamu, nggak semua yang kamu benci bakal nyedihin kamu. Seperti pisau yang bagus tapi bisa melukaimu, dan obat yang pahit tapi bisa nyembuhin kamu. Gitu juga sama doa-doa kita. Kalau belum dikabulin, ya nggak usah sedih. Terus aja lakuin dengan sepenuh hati. Jangan menyerah. Allah lebih tahu kapan Ia akan wujudin doa-doamu,” ucap pak Waras. 


“Jadi kapan Allah kabulin doa-doa kita ya, pak?” tanya Anton.


“Kalau nurut Ibnu Qayyim, ketika seseorang habiskan waktunya untuk Allah, maka Allah akan urus semua kebutuhannya, dan ngehapus segala kekhawatirannya. Allah akan kosongin hatinya, supaya hanya dipenuhi dengan kecintaan kepada-Nya. Gitu kata beliau. Jadi, kita harus tunjukin dulu kesungguhan kalau semuanya hanya semata-mata demi dan untuk Allah. Emang nggak mudah lakuinnya, tapi yakinlah, di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin kalau Allah berkehendak,” urai pak Waras.


Mendadak mata pak Ramdan menatap ke arah jeruji besi. Ada seorang pria muda berkepala plontos berdiri disana. Ia menanyakan Teguh. 


Pak Ramdan bergerak, masuk ke ruang dalam, dan membangunkan anak muda berbadan kekar yang baru menjadi penghuni kamar 30 itu, dari tidur siangnya.


Sambil mengucek matanya, Teguh mendekat ke jeruji besi. Menemui orang yang mencarinya. Yang masih sangat asing wajahnya buatku dan kawan-kawan. Tampak mereka bicara dengan sangat pelan. Memakai bahasa daerah. Yang juga kami tidak mengerti artinya. 


Tidak terlalu lama keduanya berbicara. Setelahnya, Teguh duduk di antara kami yang masih terus bercengkrama. Mengusir kejenuhan akibat hanya berkutat di dalam sel penjara ukuran 6 x 9 meter. Dan karena siang itu sangat terik, hanya aku yang tetap memakai kaos, yang lain bertelanjang dada. 


“Siapa tadi itu, Guh?” tanya Anton kepada Teguh.


“Paketanku. Aku berdua sama dia yang ketangkep. Dua kawan lain bisa kabur,” jawab Teguh, dengan nada santai.


“Sudah berapa lama kamu kerja ya, Teguh. Juga berapa kali ketangkep?” tanya pak Waras.


“Kalau bawa barang dan kirim ke pemasok lapangan sih, sudah dua tahunanlah, pak. Kalau ketangkep, ya baru ini. Mestinya, nggak bakal kayak gini, kalau kawan yang mau ambil barang tetep dengan kesepakatan awal. Cuma, ya sudahlah. Setiap orang emang ada waktu apesnya,” kata Teguh, panjang lebar.


“Emang kesepakatan awalnya gimana?” tanya Anton, penasaran.


“Kami sudah sepakat ketemu di SPBU. Tapi pas 500 meter lagi sampai SPBU, dia telepon. Kasih tahu lokasi penyerahan barang bergeser 1 Km dari situ. Pas kami berhenti di tempat yang dibilang kawan, sudah ditunggu sama petugas dari BNN. Ya sudah, aku sama paketanku tadi, pasrah,” jelas Teguh.


“Terus kawan yang mau ambil barang gimana, ditangkep nggak?” tanya Anton lagi.


“Nah, itu yang buatku sakit hati. Begitu mobil yang aku sopiri dikepung petugas dari BNN, kawan itu cepet-cepet kabur sama motornya. Nurutku, kalau petugas waktu itu mau nangkep dia, ya pasti bisa. Cuma kayaknya, sengaja dibiarin. Karena barangnya kan masih di mobilku,” urai Teguh lagi.


“Jangan-jangan, yang mau ambil barang kamu itu cepu, Guh,” celetuk pak Ramdan.


“Bisa jadi gitu, pak. Aku nggak bisa mastiin. Tradisi di bisnis narkoba itu kan ada istilah tuker kepala. Bisa aja sebenernya kawan itu sudah ketangkep duluan. Terus dia nyanyi, kalau aku sama paketan bawa barang banyak. Petugas BNN pasti pengen dapet nama dan prestasi kan, jadi yang kecil dilepasin, asal yang besar bisa diamanin. Ya inilah nasibku sekarang,” ujar Teguh, kali ini dengan suara tertahan. 


“Kawan kamu yang dua lagi gimana?” tanya Anton.


“Mereka kan di mobil lain. Beriringan memang, tapi tetep jarak sekitar 750 meteran gitu. Jadi, waktu ngelihat aku sama paketan sudah dikepung, mereka lanjut, jalan terus. Akhirnya mereka lolos, dan barang yang ada di mereka tetep bisa dikirim ke pemesan,” ucap Teguh, yang mendadak tersenyum lepas. Tampak sama sekali tiada beban. (bersambung)

LIPSUS