Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 384)

Kamis, 19 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang


KAMU bisa terjun ke dunia narkoba ini karena apa, Teguh?” tanyaku, setelah beberapa waktu hanya sebagai pendengar.


“Faktor lingkungan aja sih, ayah. Jujur, kalau secara ekonomi, bisa dibilang aku cukup mapanlah. Orang tua punya usaha yang lumayan besar dan banyak. Bahkan, sejak SMA aku sudah pakai mobil sendiri. Tamat kuliah tahun kemarin, dibeliin rumah. Sudah dibuatin tempat usaha juga,” sahut Teguh, dengan santai.


“Maksudmu faktor lingkungan itu kayak mana?” tanyaku lagi.


“Di daerah kami, kebanyakan orang memang terjun ke dunia ini, ayah. Sebenernya, urusan narkoba itu bisnis murni lo. Kami beli dan jual barangnya. Bukan dikasih cuma-cuma. Jadi keluar modal juga,” kata Teguh, dengan nada santai.


“Tapi kan itu bisnis ilegal, Teguh,” ucapku dengan cepat.


“Persoalan sebenernya cuma di urusan penyelundupannya aja, ayah. Dan masih adanya anggepan, kalau narkoba itu barang terlarang yang harus diberantas habis-habisan. Padahal, penyelundupan miras dari luar negeri sebenernya juga nggak kalah banyak, cuma kan nggak jadi perhatian,” lanjut Teguh.


“Kenapa kalau emang bisnis murni kok kamu milih jualan narkoba?” pak Ramdan menyela.


“Untungnya besar, pak. Faktor keuntungan itu yang jadi tujuan utama. Siapapun orang bisnis, kan keuntungan besar itulah yang dicari. Dan bisnis narkoba, ngejawab itu semua, pak,” aku Teguh, terusterang.


“Tapi kan bisa juga pilih bisnis lain, banyak yang janjiin juga kok,” sambung pak Ramdan.


“Kalau bisnis lain, muterin uangnya lama, pak. Untungnya juga nggak sebesar jual narkoba. Apalagi sabu-sabu, sampai sekarang masih favorit di negeri kita. Bahkan, konsumennya nambah terus,” ujar Teguh, apa adanya.   


“Selama ini, emang sampai berkilo-kilo gitu kamu jual sabu-sabu?” tanyaku, penasaran.


“Iya, ayah. Minimal dalam sebulan, aku beli 10 kilogram dari jaringan internasional. Yang terjual bisa sampai delapan kilo. Sisanya, aku buat paket-paket kecil. Pahe istilahnya, paket hemat,” sahut Teguh, seraya tersenyum lepas.


“Nah, kamu kan ketangkep, barangmu disita. Berapa kira-kira kerugianmu?” tanyaku lagi.


“Sekitar Rp 6 miliaranlah, ayah. Sekilo sabu itu kalau mau jual cepet, ya laku Rp 1 miliarlah. Kalau enam kilo yang disita, nggak kurang dari Rp 6 miliar itulah kerugianku. Besar emang, tapi buatku biasa-biasa aja,” kata Teguh, tetap sambil tersenyum lepas, tanpa beban.


“Maksudnya biasa-biasa aja itu gimana sih, Guh? Itu kan uang banyak yang hilang,” tanya Anton, yang juga tampak penasaran.


“Modal beli enam kilo itu cuma Rp 2 miliar lebih sedikit, Ton. Keuntunganku selama ini sudah banyak, belasan miliar. Anggep-anggep buang sial karena lagi apes,” tanggap Teguh dengan santainya.


“Tapi kan, kamu bisa belasan tahun di penjara karena kasus ini,” lanjut Anton.


“Aku nggak pikirin nanti mau divonis berapa, Ton. Aku jalani aja. Nanti juga ada yang ngurus kok,” kata Teguh lagi, tetap sambil tersenyum lepas.


“Maksudmu, jaringan kamu yang bakal ngurus, gitu ya?” tanya pak Ramdan, yang ikut penasaran dengan cerita Teguh. 


“Iyalah, pak. Jaringan distribusi narkoba itu sudah kelas internasional lo. Dan aku termasuk di dalemnya. Jaringan kami punya orang dimana-mana,” jelas Teguh.


“Oke, kamu nggak mikirin mau divonis berapa nanti, tapi kamu pasti punya bayangan rencana ke depannya gimanakan?” tanya pak Waras.


“Sudah kebayang emang, pak. Paling lama setelah vonis nanti, aku disini cuma dua tahun, setelahnya diatur buat pindah ke lapas di daerah asalku,” ucap Teguh.


“Emang bisa gitu?” celetuk pak Waras.


“Semua urusan dunia ini bisa diatur, pak. Asal ada fulusnya. Dan nanti, setelah masuk lapas di daerah asal, diurus lagi. Yah, tiga tahunan di dalemlah setelah itu, baru keluar. Bisa lanjutin bisnis lagi,” tutur Teguh dengan entengnya. 


“Jadi hitungan kamu, paling lama lima tahun ya di penjara. Kamu optimis bener bisa gitu, Teguh?” tanyaku, tetap penasaran.


“Maaf, ayah. Aku bukan sok pede atau kelewat optimis. Tapi, aku paham bener kekuatan jaringan kami. Jangankan yang ditahan di dalam negeri, yang ketangkep di luar negeri aja, bisa dibalikin penahanannya di daerah kami kok. Jaringan kami sudah masuk ke semua lini, dan dengan uang hasil bisnis narkoba, bisa ngatur semuanya. Itu yang terjadi selama ini,” urai Teguh.


“Jadi kamu nggak bakal susah ya walau hidup di penjara,” kata pak Waras.


“Nggak bakallah, pak. Tetep ada yang ngurus kami disini kok. Siapa orangnya, kami juga nggak tahu. Tapi, apapun kebutuhan kami, ada aja nanti yang ngirimnya. Pasang badan itu aja kuncinya,” jawab Teguh, dengan santai.


Seorang tamping kunci datang, membukakan gembok pintu sel. Menyudahi begitu saja perbincangan ringan kami. Dengan bergegas, kami bangun dari tempat duduk masing-masing. 


Aku, pak Waras, Anton, dan Pak Ramdan mengambil peralatan solat. Pun Teguh mengambil kain sarungnya. Beberapa lainnya keluar kamar tanpa membawa apa-apa. Hanya ingin menikmati waktu bebas dari penguncian.


Saat akan keluar pintu blok, aku melihat Aris, Iyos, dan Dika tengah keluar kamarnya untuk ke masjid juga. Aku menunggu mereka di sudut ruangan, hingga mereka sampai di depanku.


“Assalamualaikum,” sapaku, yang membuat ketiganya tampak terkejut.


“Waalaikum salam. Babe mah ngagetin aja lo,” sahut Aris, sambil memukulkan kain sarungnya ke badanku. 


“Makanya, kalau jalan itu jangan keasyikan ngobrol, jadi tetep ngelihat kiri-kanan. Sudah tinggal sekamar, diluaran masih aja ngobrol samaan. Emang nggak bebas ya kalau ngobrol di kamar,” kataku, menimpali Aris.


“Nggak gitu, be. Emang lagi ada obrolan agak rahasia, jadi cukup bertiga aja ngomongnya,” jelas Iyos.


“Emang rahasia apaan sih?” tanyaku, mulai tertarik.


“Kemarin malam kamar kami nambah orang. Katanya kasus narkoba. Orangnya songong banget. Sok hebat. Kata dia, semua bisa diatur dari dalem sel. Dan mentang-mentang sudah kasih uang kamar selama sebulan, dia minta tempat di lantai atas. Ngeselinkan,” urai Iyos.


“O gitu. Orangnya berkepala plontos ya,” tanggapku.


“Iya, bener, be. Badannya gemuk gitu. Katanya sih ada paketannya, tapi kami nggak tahu dia ada di kamar mana,” Aris menambahkan.


“Paketannya ada di kamarku. Namanya Teguh. Tadi kawan kalian si kepala plontos itu ke kamarku, makanya aku ngenalin. Kalau nurut cerita Teguh, mereka emang masuk dalam jaringan besar peredaran narkoba selama ini. Jadi, maklumi aja kalau agak sok-sok-an,” kataku.


“Masak orang sok-sok-an dimaklumi sih, be. Apalagi orang baru. Yang buat keki, dia ngerasa bisa ngatur seenaknya itu. Kesel bener aku sebenernya, tapi masih bisa ku tahan,” ucap Aris.


“Kalian ini kayak orang baru aja sih disini. Kan emang macem-macem gaya orang yang baru masuk, biar disegeni penghuni kamar sebelumnya. Ada yang sok-sok-an dengan banyak omongnya, ngaku jawara nggak luka bacok dan nggak tembus peluru, sampai yang terus-terusan nangis atau kelihatan sedih. Itu semua kan trik biar nggak dikerjain sebagai orang baru, atau langsung disegeni,” ujarku dengan santai.


“Bener juga, bang. Namanya rutan kan emang tempatnya orang jual kisah. Kenapa kita jadi resah sama kisah yang dikemas orang lain, gitukan,” ujar Dika, menimpali.


“Nah, itu kamu lebih cerdas nelaah dan mahami kondisi disini dibanding Aris sama Iyos, Dika,” sahutku, seraya tertawa.  


Aris dan Iyos memelototkan matanya ke arah Dika, yang mendadak ikut tertawa juga. (bersambung)  

LIPSUS