Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 385)

Jumat, 20 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang 


KALAU nurut babe, gimana caranya ngejinakin orang yang sok-sok-an gitu?” tanya Aris, sambil kami terus berjalan ke arah masjid karena suara adzan telah terdengar.


“Gampang aja, Ris. Waktu dia tidur, duduki bagian dadanya. Cengkerem mulutnya, dan ludahi. Sambil bisikin ke telinganya, jangan sok-sok-an lagi kalau nggak mau dibantai. Coba aja lakuin,” sahutku, sambil tertawa.


“Ngasih sarannya yang bener dulu, be. Kalau itu mah bisa nambah masalah. Jangan-jangan malah segebukan nanti,” tanggap Aris dengan cepat.


“Itu saran beneran lo, Ris. Praktis pragmatis kalau bahasa kerennya. Coba aja praktekin. Tapi, jangan setengah hati lakuinnya, harus mantep dan yakin bener. Baru dia kapok kamu buat,” lanjutku, kali ini dengan wajah serius.


Ketika aku tengah berwudhu di masjid, Dika yang berdiri di sebelahku memberi teguran.


“Abang ini kasih saran ke Aris kayak gitu. Nanti kalau dia jalani, bisa nimbulin masalah lo. Aris kan kepala kamar, masak malah dia yang nganiaya kawan sekamar,” tegur Dika kepadaku. 


“Nggak usah dipikirin sekarang ya, Dika. Nanti kalau bener Aris ngejalani saranku, dan timbul masalah, baru kita obrolin solusinya. Santai ajalah. Lagian, ini sudah mau ngadep Tuhan, singkirin dulu mikirin urusan dunia,” jawabku, sambil menepuk bahu Dika.


Seusai solat Ashar berjamaah dan ditutup dengan doa bersama, ustadz Umar berdiri di podium. Memberikan tausiyah. 


“Kita semua yang ada disini pasti merasakan betapa berantakannya hidup ini. Pilihan untuk kita hanyalah berjuang untuk memperbaikinya. Dan untuk itu semua, kita harus melakukan empat hal,” kata ustadz Umar memulai kultumnya.


Yang pertama, lanjut dia, kalau kita diuji dengan syahwat dan nafsu, maka periksalah solat kita. Sudah benar atau belum. Sudah menjalankan kewajiban lima waktu atau belum. 


“Yang kedua, kalau kita merasa selalu tidak tenang ditambah hati yang keras dalam menerima kebenaran, periksalah hubungan dan bakti kita sama kedua orang tua. Sejauhmana kita telah memperlakukan mereka. Yang ketiga, jika kita merasa tertekan dan hidup dalam kesempitan, periksalah hubungan kita dengan Alqur’an. Sudahkah kita membaca dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dan yang keempat, kalau kira merasa kurang teguh dalam kebenaran dan terus gelisah, perhatikan bagaimana penerimaan kita terhadap nasihat yang diberikan kepada kita,” tutur ustadz Umar, panjang lebar.  


Dengan mengutip perkataan Syekh Mutawalli  Asy-Syarawi, ustadz Umar menambahkan, tidak seorang pun di dunia ini yang bisa memahami kita sekalipun ia orang terdekat, sebagaimana Allah.


“Dihadapan-Nya, semua yang ada di hati kita tampak jelas. Mari kembali kepada-Nya. Kita bicara atau tidak, Dia selalu memahami diri kita, bahkan saat kita tidak memahami diri kita sendiri,” ucap ustadz Umar. 


Menurutnya, hal yang membuat tercerai berainya hati adalah terlalu banyak tahu dan selalu mau tahu tentang apa yang ada pada manusia. Sedangkan hal yang membuat damainya hati dan tenteramnya jiwa adalah fokus memperhambakan diri kepada Allah Rabbal Alamin. 


“Jangan gantungkan diri kita kepada orang lain. Kita harus berdiri sendiri, sedih sendiri, luka sendiri, bahkan harus bisa sembuhkan luka sendiri. Tidak semua teman, saudara, bahkan orang terdekat pun selalu ada buat kita. Mereka punya dunianya masing-masing, dan tidak selamanya mereka bisa membantu dan menemani. Kita mesti yakini, hidup ini tidak akan memberikan semua yang kita inginkan, namun dengan qonaah akan membuat kita menyukai semua keadaan yang ada,” kata ustadz Umar dengan suara keras berapi-api, memompa semangat para jamaah. 


Mengakhiri tausiyahnya, ustadz Umar mengajak semua jamaah untuk muhasabah melalui perenungan terhadap perkataan Syekh Nabiha Jabir. 


“Hiduplah tanpa rasa sedih dengan yang telah lalu. Hiduplah dengan cita-cita bersama hal-hal yang baru. Dan hiduplah lebih dewasa dari masa lalu yang tidak berguna,” ucap ustadz Umar, dan menutup buku yang ada di tangan kanannya.


Sekeluar dari masjid, aku memilih menonton kawan-kawan yang tengah asyik bermain sepakbola. Teriakan-teriakan penuh keceriaan terus bersahutan, dan sesekali di antara mereka beradu kaki hingga kesakitan. Saling memaki dan ejek pun terjadi. Namun tidak sampai berkelahi. 


Semua memahami, beradu fisik hanyalah membuka masalah baru. Separah apapun perlakuan sesama, mestilah mampu diatasi dengan peredaman emosi. Dan rutan memang tempat semua penghuninya melatih diri untuk terus bersabar.


“Om, si Teguh dari tadi cuma nongkrong di kantin aja. Nggak solat dia itu,” kata Anton, yang tiba-tiba duduk di sebelahku.


Seketika mataku mengarah ke kantin. Tampak Teguh tengah berbincang dengan tiga orang. Sambil merokok dan menikmati makanan ringan.


“Ya sudah, biarin aja, Ton. Urusan solat itu kan tanggungjawab pribadi. Nggak usah kamu openi orang lain,” kataku, beberapa saat kemudian.


“Tapi kan dia bawa sarung lo pas keluar kamar, om. Masak malah nggak solat di masjid,” lanjut Anton, dengan nada kesal.


“Sarung itu kan alat buat ngamanin badan biar bisa berlama-lama di luar kamar sih, Ton. Kayak kamu nggak paham aja. Sudahlah, biar aja. Beda kalau dia buat masalah di kamar,” ujarku, sambil menatap wajah Anton.


“Aku ngadu gini kan demi kebenaran sih, om. Apa iya, aku harus ngehujat atau marah sama dia dulu baru dapet tanggepan serius,” sambung Anton, masih dengan nada kesal.


“Aku paham maksudmu baik, Ton. Tapi inget juga masalahnya. Kan soal solat yang kamu persoalin sama si Teguh. Kamu kan paham kalau solat itu, urusan pribadi. Jadi, jangan pakai marah-marah juga walau nyampein kebenaran. Nggak pas itu,” jawabku. 


“Jadi, kalau nyampein kebenaran harus tetep dengan cara dan omongan yang baik ya, om,” ucap Anton, mulai mereda kekesalannya.


“Baiknya emang gitu, Ton. Nah, itu ada pak Waras. Coba panggil dia, ajak duduk disini. Nanti sama-sama kita tanya ke dia, gimana nyampein kebenaran yang baik itu,” tanggapku, seraya memandang ke sebelah kiri, sekitar 10 meter ada pak Waras dan pak Ramdan yang juga sedang menonton permainan sepakbola sebagai hiburan menjelang senja berlalu. 


Beberapa saat kemudian, pak Waras dan pak Ramdan telah bergabung denganku dan Anton. Aku sampaikan persoalan yang kami diskusikan tadi, dan meminta pengetahuannya mengenai cara penyampaian kebenaran.


“Oalah, kirain ada apa manggil aku, be. Aku sama pak Ramdan tadi sempet berbisik, kali babe manggil karena mau ngajak makan mie ayam di kantin,” ujar pak Waras, sambil tertawa.


“Boleh juga nanti kita ke kantin, pak. Tapi kasih dulu penjelasan ke Anton soal nyampein kebenaran yang pas itu kayak mana,” sahutku, juga sambil tertawa.


“Jadi gini, Anton. Seorang ulama besar bernama Malik Ibn Anas bilang: kalau ada orang yang membela kebenaran tapi dengan cara menghujat, mencerca, dan marah-marah, ketahuilah kalau niat orang itu telah cacat. Karena kebenaran nggak perlu dibela dengan cara-cara seperti itu. Cukup senandungkan kebenaran itu; ia akan diterima. Gitu nurut Malik Ibn Anas. Puaskan, sekarang ayo kita ke kantin,” jawab pak Waras, dengan sebuah senyuman di sudut bibir tebalnya.


Sambil tertawa penuh sukacita, kami berjalan menuju kantin dan langsung memesan empat porsi mie ayam. Anton menambah dengan meminta gorengan dan air mineral. (bersambung)

LIPSUS