Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 387)

Minggu, 22 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang  


SELEPAS solat Maghrib berjamaah, pak Waras langsung memimpin pembacaan surah Yasin dilanjutkan tahlil. Tradisi yang biasa dilakukan di kamar 30 pada malam Jum’at. Juga pada beberapa kamar lain yang ada di Blok B. Di saat kami tengah membaca ayat-ayat kitab suci, apel malam berlangsung. 


Sipir Almika bersama dua sipir lain yang melaksanakan tugas, didampingi seorang tamping pencatat, hanya menghitung jumlah penghuni kamar dari balik jeruji besi. Tanpa kata dan suara apapun.


Mereka memahami, sangatlah tidak pantas menghentikan tahanan yang sedang mengaji hanya untuk berdiri dan apel. Karena kegiatan rutin tersebut tetap dapat dilaksanakan tanpa mengganggu aktivitas keagamaan yang tengah berlangsung. 


Tepat ketika penyampaian doa selesai, adzan Isya berkumandang. Kami pun melanjutkan dengan solat berjamaah. Pak Waras memintaku untuk menjadi imam. Dan setelah prosesi peribadatan tuntas, diteruskan dengan makan malam bersama. 


Dan seperti biasa, selepas makan malam, kami berkumpul di ruang bagian depan. Bukan saja karena lantai ruang dalam tengah dibersihkan dan dipel seusai menjadi tempat makan bersama, tetapi seakan telah menjadi tradisi bila ruang depan adalah pusat kegiatan penghuni kamar 30. 


Selain ada yang mengisi waktu menunggu kantuk tiba dengan bermain catur, membaca buku, dan beberapa lainnya merebahkan badan sambil menatap plafon: melamun, ada pula yang terlibat perbincangan ringan. Sambil mengirup minuman hangat kesukaan masing-masing.


Kap Yasin memberitahuku, bagaimana bila keberadaan botol alias hp milikku “dilegalkan” saja. Dengan ketentuan membayar Rp 5 juta perkamar. Dengan demikian, kapanpun digunakan, akan aman. Dan bila sewaktu-waktu ada razia, akan ada petugas yang menyisir terlebih dahulu untuk diamankan.


“Kok mahal amat, kap? Bukannya Rp 1,5 juta,” kataku.


“Itu kan karena om kemarin tinggal di kamar terbuka. Kamar forman pula. Kalau di kamar biasa, ya Rp 5 juta itulah perkamar. Terserah berapa botolnya, yang penting terdata,” jelas kap Yasin.


“Nggak mungkin aku bayar segitu cuma buat biaya hp, kap,” jawabku, tegas.


“Nanti sama aku, ayah. Aku lagi nitip sipir dibeliin botol,” kata Teguh, menyela.


“Kalau kita cuma berdua, berarti masing-masing bayar Rp 2,5 juta perbulan dong. Tetep nggak sanggup aku, Teguh,” sahutku. 


“Siapa yang lain yang mau pegang botol ya, kap?” tanya Teguh, sambil menatap ke arah kap Yasin yang tengah menikmati kopi manis dan sebatang rokok di tangannya.


“Nggak ada, Guh. Ya cuma kamu sama om Mario aja. Kamu kan bisa lihat sendiri kondisi kawan-kawan disini. Mayoritas kaum dhuafa,” ucap kap Yasin, seraya menunjukkan senyum pahitnya.


“Jadi gimana, ayah?” tanya Teguh kepadaku.


“Nggak sanggup aku kalau cuma kita berdua, Teguh. Baikan biar aja botolku jadi barang simpenan,” sahutku.


Tiba-tiba seorang sipir berdiri dari balik jeruji besi. Pak Waras memberi isyarat kepadaku, karena posisiku duduk bersandar ke tembok tepat di bawah jeruji besi, sehingga tidak bisa secara langsung mengetahui siapa yang datang.


Setelah berdiri, baru aku tahu, ternyata sipir Almika yang berdiri di balik jeruji besi.


“Sehat ajakan, om?” tanya Almika, saat kami bersalaman.


“Alhamdulillah, berkat doamu, om tetep sehat, Mika. Kamu sekeluarga juga sehatkan,” sahutku, sambil tersenyum.


“Alhamdulillah, kami sekeluarga juga sehat. Ada masalah nggak om,” kata Almika.


“Nggak ada sampai sekarang sih, Mika. Semua baik-baik aja. Bahkan nyaman di kamar ini. Banyak pencerahan dan nambah pengalaman,” ucapku.


“Syukur kalau gitu, om. Mika yakin, om tetep bisa membaur dengan baik dan manfaatin waktu disini juga dengan baik. Karena bagaimana juga, inilah takdir yang terbaik buat om saat ini,” kata Almika dengan gaya santainya.


“Kok bisa to kamu bilang ini takdir terbaik buat om saat ini, Mika. Kalau boleh milih, ya nggak ketemu takdir yang nyesekin ginilah,” tanggapku, seraya tersenyum.


“Mika pernah denger, seorang ustadz bilang gini om: seandainya pilihan takdir itu Allah tampakkan satu persatu, pasti kamu tetep akan milih takdir yang kamu jalani hari ini, maka bersyukurlah. Gitu kata ustadz itu, om,” jelas sipir Almika.


“Jadi maksudnya?” tanyaku, dengan cepat.


“Maksudnya, ya takdir berada disini inilah yang terbaik saat ini buat om, makanya disyukuri aja. Pendem dalem-dalem rasa kecewa dan jangan berprasangka buruk pada Tuhan. Itu aja kuncinya, om,” lanjut Almika.


“Kamu kan tahu gimana menderitanya disini, Mika?” tanyaku lagi.


“Ya tahu persislah, om. Mika tugas disini kan sudah tahunan, sudah ketemu ribuan tahanan. Maka, Mika selalu sempetin nemuin om kalau pas lagi piket. Ya, siapa tahu bisa ngehibur atau besarin hati dan tenangin pikiran om. Lagian, selama ini om kan kelihatan enjoy-enjoy aja. Itu yang buat Mika juga seneng,” sahut Almika, seraya melepas senyumnya yang penuh keteduhan.


“Hebat kamu ini, Mika. Om jadi inget omongan cendekiawan yang juga ideolog revolusi Iran, namanya Ali Syaria’ti. Beliau bilang: Kalau kamu bisa rasain derita, berarti kamu hidup. Kalau kamu bisa rasain derita orang lain, berarti kamu manusia. Nah, kalau pakai omongan beliau itu, berarti kamu emang sudah jadi manusia, Mika. Bangga juga om jadinya,” kataku, sambil tertawa.


“Emang selama ini Mika bukan manusia tah, om. Ada-ada aja lo om ini,” tanggap Almika dengan cepat, dan juga tertawa ngakak. 


Setelah kami berhenti tertawa, dengan suara pelan aku sampaikan tawaran kap Yasin untuk “melegalkan” keberadaan telepon seluler pemberiannya itu. Dengan konsekuensi membayar Rp 5 juta perbulan untuk satu kamar.


Juga aku sampaikan bila di kamar 30 sampai saat ini hanya aku dan Teguh yang siap memegang telepon seluler. Berarti masing-masing setiap bulannya harus mengeluarkan “dana komunikasi” hingga Rp 2,5 juta.


“Gimana nurut kamu, Mika?” tanyaku, kemudian.


“Kalau cuma berdua, lebih baik nggak usah, om. Sayang uangnya. Beda kalau ada lima atau enam orang,” ujar Almika. Nada bicara sipir berbadan gempal itu cukup serius. (bersambung)

LIPSUS