Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 388)

Senin, 23 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang


OM juga mikirnya gitu, Mika. Lagian, nggak setiap saat juga om perlu hp. Paling kan buat hubungi tante dan anak-anak aja,” kataku, menanggapi.


“Biasanya, yang berani bayar mahal itu karena ada mainan di dalem sini, om. Mereka gunain telepon seluler buat ngurus bisnisnya atau ya buat nyari-nyari uang dengan berbagai modus, jadi tetep ada pemasukan. Kalau sekadar buat telepon ke rumah, kapan aja kan om bisa pakai hpku atau beberapa sipir lain yang kenal baik sama om,” tutur sipir Almika.


“Sepakat aku sama pendapatmu, Mika. Terimakasih masukannya ya,” ucapku.


Dan sesaat kemudian, Almika mengambil sesuatu dari kantong baju dinasnya. Ternyata dua bungkus rokok Mangga, yang langsung ia berikan kepadaku.


“Buat stok aja, om. Jangan sampai om kehabisan rokok,” kata Almika, sambil tertawa.


“Alhamdulillah, terimakasih banyak ya, Mika. Banyak dan barokah rejekimu, aamiin. Kamu selalu aja kasih om lo, Mika. Jadi nggak enak hati juga om ini lama-lama,” ujarku, dan menerima dua bungkus rokok Mangga dari tangannya.


“Santai aja sih, om. Rejeki itu hak Allah. Kayak hujan rintik sekarang ini, nyata, jelas dan terus ngucur dari langit. Kalau kata Ayah Mika, jangan kejar hujannya, tapi fokus buat perbesar tempat nampungnya,” ucap Almika, dan kembali menebar senyum ketulusannya.


Aku mengangguk-anggukkan kepala,  mencoba memahami nilai yang tersembunyi dalam perkataan sipir muda usia yang selalu low profile dan bersahaja itu. 


Beberapa saat kemudian, Almika meninggalkan kamarku. Berjalan penuh ketenangan menuju pos tempatnya bertugas. Aku perhatikan langkah sipir yang banyak disukai tahanan karena pembawaannya yang familiar tersebut. 


Hampir di setiap kamar sel yang dilewati, ia berhenti meski sesaat. Menyapa penghuninya. Dan bila ada yang kenal baik, ia menyempatkan untuk sekadar berbincang sebentar. Benarlah perkataan Ali Syari’ati, bila seseorang memahami derita orang lain, berarti ia telah menjadi manusia. Yang menepikan semua status dan jabatan, dengan melanggamkan nada kebersamaan sebagai sesama makhluk Tuhan.


“Ada aja ya rejeki om Mario ini. Apa sih doanya, om?” mendadak Anton mengeluarkan suaranya. Mengejutkanku yang masih berdiri di dekat jeruji besi.


“Aku tahu, Anton. Babe ini termasuk orang yang istiqomah ngebaca doa dari ayat ke 29 di surah Al-Mukminun,” pak Waras menimpali.


“Emang gimana bacaannya, pak?” tanyaku, yang langsung duduk ndeprok di samping Anton.


“Robbi anzilni munzalan mubarokan wa anta khairul munzilin,” ujar pak Waras, sambil tersenyum.


“Artinya dong, pak,” kata Anton, menyela dengan cepat.


“Kira-kira gini artinya: Ya Tuhanku, tempatkanlah aku di tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat,” lanjut pak Waras.


“O gitu, minta selalu diberi tempat yang diberkahi ya, pak. Makanya, walau tinggal di penjara, tetep aja dikasih keberkahan rejeki ya,” tanggap Anton, dan mengangguk-anggukkan kepalanya.


“Iya, sudah bener doa itu, Anton. Nggak ada salahnya, kita juga rutin baca ayatnya jadi doa. Karena emang kita butuh keberkahan Tuhan itulah, nggak ada yang lain,” ujar pak Waras lagi.


“Aku dari muda selalu berdoa minta keberkahan, pak. Tapi ujung-ujungnya pas sudah tua, malah masuk penjara,” pak Ramdan, menyela.


“Jangan nyalahin takdir, pak. Dalam surah Yunus ayat 44, Allah mengatakan: sesungguhnya Allah tidak mendzolimi manusia sedikit pun, tetapi manusia itulah yang mendzolimi dirinya sendiri. Jadi, kalau sekarang kita ada disini, ya karena kita berbuat yang nggak bener, ngedzolimi diri sendiri itulah. Bukan Allah yang ngedzolimi kita,”sahut pak Waras.


“Tapi kita tetep bersyukur ya, pak. Kedzoliman kita langsung ditebus dengan masuk penjara, ketimbang nanti diazab di akherat,” kata Anton, dengan cepat.


“Iya, tetep aja kita syukuri yang ada ini. Dan banyak orang justru seneng bisa nebus kesalahan, dosa, dan kedzolimannya di dunia, karena punya kesempatan buat perbaiki diri. Kalau banyak dosa dan berbuat dzolim tapi aman-aman aja hidupnya di dunia, boleh jadi nanti di akherat nebus semua kesalahannya, dan nggak bisa perbaiki diri lagi. Bener kata Anton, nggak ada alasan buat kita untuk nggak bersyukur sama keadaan kita sekarang ini,” urai pak Waras. 


Kap Yasin yang semula berada di kasurnya, mendadak datang ke ruang depan. Sambil tersenyum penuh arti, ia meminta pak Ramdan membuatkannya mie instan rebus.


“Enakkan kalau hujan rintik gini, kita makan mie rebus. Biar anget rasa badan,” kata kap Yasin, sambil menatapku, pak Waras, dan Anton.


“Cocok, kap. Mau juga aku,” kata Anton yang segera bergerak. Membuka lokernya dan mengambil mie instan.


“Pak Waras sama om Mario mau nggak?” tanya kap Yasin.


“Aku nggak, kap. Masih kenyang,” jawabku, dengan cepat.


“Boleh juga sih kalau pak Ramdan buatin. Tapi stok mie punyaku habis,” ucap pak Waras.


“Aku masih ada, pak. Tenang aja,” sahut Anton, yang kembali mengambil mie instan di lokernya untuk pak Waras.


Ketika pak Ramdan masih memasak mie instan, seorang tamping datang. Membawa sebuah piring berisi singkong rebus yang masih kedul-kedul. Menandakan baru diangkat dari tempat merebusnya.


“Kiriman komandan, om,” kata tamping bernama Kausar itu sambil menatapku.


“Oh iya. Alhamdulillah, sampein terimakasihku buat komandan ya, Kausar,” ujarku, sambil menerima piring berisi singkong rebus, yang dimasukkan ke kamarku melalui jeruji besi dengan cara dimiringkan. 


Aku mengambil sebatang rokok milikku dan memberikannya kepada tamping Kausar. Pria berusia 35 tahunan itu tersenyum, dan setelah disulutnya rokok yang ada ditangannya, ia bergegas meninggalkan kamarku.


“Alhamdulillah, rejeki kita terus ngalir ya. Barokah,” kataku, sambil memulai menikmati singkong rebus kiriman komandan pengamanan rutan.


“Hebat ya, rejeki om ini ngalir terus,” kata Anton, yang juga menggerakkan tangannya mengambil singkong dari piringnya.


“Jangan bilang rejekiku, Ton. Ini rejeki kita semua. Karena kita rajin ibadah, sabar dan ikhlas jalani takdir, Tuhan sayang sama kita. Dikasih-Nya rejeki dari sesuatu yang nggak terduga,” sahutku.


“Gitu ya, om. Tapi kan tetep aja lewat om, berarti prioritasnya ini emang rejeki om,” kata Anton lagi.


“Aku pernah baca buku, kalau di suatu wilayah, penghuninya banyak berbuat maksiat, Tuhan bakal turunin azab di wilayah itu. Nah, yang kena bukan cuma yang berbuat maksiat aja, Ton. Tapi semua yang tinggal di wilayah itu. Gitu juga rejeki. Emang ada yang dituju sebagai penanda masuknya rejeki, tapi sebenernya ya buat semua yang ada di situ. Kayak kita inilah. Bener gitukan pak Waras,” kataku.


“Iya, bener itu, be. Apapun yang kita terima, ada bagian buat orang lain. Tuhan sudah ngaturnya begitu. Makanya, jangan pelit jadi orang, karena semua yang kita dapet ini sekadar titipan. Nggak ada yang bener-bener punya kita, kecuali dosa dan amal,” tanggap pak Waras.


Pak Ramdan telah menyelesaikan tugas memasakkan mie instan. Kap Yasin, Anton, pak Waras, dan pak Ramdan pun menikmati makanan ringan tersebut. Sambil kami terus berbincang ringan. Sementara, di luar kamar, hujan rintik terus turun dari langit. Langit begitu gelap. Angin semilir ringan. 


Dan saat aku berdiri memandang ke arah luar kamar dari balik jeruji besi, tiba-tiba teringat perkataan filosof Jalaluddin Rumi: Malam kembali hadir untuk mengingatkan kita, bahwa hidup tidak selamanya terang. Ada gelap, pekat, duka dan sunyi. Kamu lelah? Istirahatlah. Karena dunia tidak akan ada habisnya untuk dikejar. (bersambung)

LIPSUS