Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 389)

Selasa, 24 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang 


TEPAT tengah malam, aku merebahkan badan di kasur. Menghentikan aktivitas dan tidur. Kelelapan tidurku terusik setelah terdengar suara gaduh dari luar kamar. Aku bangkit dari kasur dan menuju jeruji depan, ingin tahu sumber suara tersebut. Ternyata, beberapa sipir dan pak Edi yang tengah kongkow di gazebo depan kamar 34, yang menjadi muasal suara gaduh itu.


Sambil meminum air putih dari termos kecil yang ada di atas rak, aku menyapukan pandangan ke sekitar. Semua penghuni kamarku sedang lelap dalam mimpinya masing-masing. Terkecuali pak Waras, yang tengah duduk di atas sajadah dan berdzikir di ruangan kecil yang ada pada sudut pintu kamar.


Tidak terdengar suara apapun dari pria setengah baya itu. Wajahnya terus menunduk. Hanya gerakan tasbih di tangannya, yang menandakan ia tengah bersenandungria dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.  


Cukup lama aku memperhatikan pak Waras. Begitu khusu’nya ia menikmati ibadah pada sepertiga malamnya. Seakan ia tengah memeluk erat kebahagiaan dan kedamaian yang luar biasa. Menepikan semua kegaduhan lahiriyah, melahirkan ketenangan batin nan menentramkan.


Dan akhirnya, aku pun tergerak untuk bisa mengikuti kebiasaan laki-laki yang masuk bui karena tersangkut peredaran garam beryodium tanpa izin tersebut. Perlahan aku bangkit dari kasur. Menyiapkan kain sarung dan kupluk. Seusai berwudhu, ku bentangkan sajadah di belakang pak Waras. Agak menyamping. 


Prosesi peribadatan dan penghambaan pun aku mulai. Solat taubat, solat hajat, hingga tahajud dan witir. Disusul kemudian dengan membaca wirid yang aku hafal. Ditengah ketenanganku menyenandungkan puja-puji kepada Ilahi Rabbi, pak Waras menepuk kakiku.


“Perbanyak solawat, be. Nggak usah dihitung-hitung. Sampai adzan subuh,” kata dia, setelah melihatku membuka mata dan menatap ke arahnya.


Tanpa menjawab apapun, aku langsung ikuti arahan pak Waras. Aku memahami benar, mengikuti petunjuk orang yang lebih tahu dalam sesuatu hal, dipastikan akan membawa nilai kebaikan.


Sesekali masih terdengar suara gaduh penuh canda dari gazebo di depan kamar 34. Namun, tidak mengganggu konsentrasiku dalam merajut dialog dengan Sang Pengeran. Aku semakin terlatih untuk tetap “merasa sepi” meski dalam keriuhan. Juga “merasa sendiri” walau dikelilingi banyak orang. 


Hingga suara adzan Subuh terdengar dari masjid di dalam kompleks rutan, aku akhiri pembacaan solawat. Sambil berdiri dan menggerakkan kaki yang selama beberapa jam terlipat, aku membangunkan pak Ramdan dan Anton. 


Beberapa saat kemudian, seusai masing-masing melakukan ibadah sunah qobla Subuh, kami berempat melaksanakan solat wajib berjamaah. Pak Waras mengimami dilanjutkan memimpin doa. 


Seusai solat, aku kembali naik ke kasurku. Mengambil Alqur’an, dan memulai kembali mengaji dari juz 1. Setelah selesai satu juz, aku tutup lagi kitab suci tersebut. Dan menaruhnya di atas rak di dekat tempat tidurku. Berdampingan dengan foto keluarga dalam bingkai nan cantik. 


Aku ambil bingkai foto keluarga. Ku tatap gambar istri dan anak-anakku. Sambil membersihkan kacanya yang tampak berdebu dengan tisu, ku kirimkan doa untuk orang-orang terkasih dan kebanggaanku tersebut. 


Tanpa terasa, perlahan ada keharuan yang mendadak hadir di dalam jiwaku. Buru-buru aku kendalikan batinku, untuk tetap menebar semangat dan optimisme. Aku menyadari, acapkali apa yang ku rasakan akan langsung bersahut dengan istri dan anak-anakku. Karenanya, aku terus mencoba menghindari untuk bersedih hati saat menatap foto mereka. 


“Om, kopi pahitnya sudah siap ini,” tiba-tiba pak Ramdan memberitahuku. Mengejutkan aku yang tengah berupaya mengusir kegalauan di hati.


Setelah menaruh kembali bingkai foto di tempatnya, aku beranjak dari kasur. Membersihkannya dan menyandarkan ke tembok. Baru aku berjingkat pelan melewati kap Yasin yang masih tidur, untuk turun dari lantai atas dan menuju ruang depan.


Saat aku tengah mengirup kopi pahit ditemani cemilan kue kering pemberian istri, tampak pak Ramdan dan pak Waras berbincang dengan santainya. Sesekali ada gelak tawa. Wajah kedua laki-laki yang tidak muda lagi itu, penuh dengan rona bahagia. 


Aku bersyukur di dalam hati, tetap menemukan kawan sekamar seketiduran yang bisa menemukan kebahagiaannya dalam kehidupan yang penuh keterbatasan.


Tiba-tiba ada yang mengetuk-ketuk jeruji besi. Ternyata, komandan pengamanan rutan telah berdiri disana. Dengan cepat aku berdiri dan mendekat serta menyalaminya. 


“Sehat kan, pak Mario?” tanya komandan dengan suara penuh persahabatan.


“Alhamdulillah, sehat, pak. Ada perintah,” sahutku, sambil tersenyum.


“Mau olahraga nggak? Kalau mau, biar dibuka pintu kamarnya,” kata komandan.


“Mau dong, pak. Sudah beberapa hari nggak olahraga, rasanya kurang fit badan ini,” jawabku. Terusterang.


Komandan memanggil tamping kunci. Aku mengajak pak Waras dan pak Ramdan untuk keluar kamar. Berolahraga mengelilingi lapangan.


“Baiknya memang, yang usianya di atas 50 tahun itu rutin olahraganya, pak. Jadi kondisi fisik tetep terjaga,” ujar komandan pengamanan.


“Baiknya memang gitu sih, pak. Cuma kan nggak bisa juga setiap pagi minta dibukain pintu kamar untuk kami olahraga,” sahutku.


“Nanti saya kasih tahu tamping kunci. Mulai besok, semua yang usianya di atas 50 tahun boleh olahraga pagi. Dari jam 7.30 sampai 9.30. Setelahnya, kembali ke kamar masing-masing,” tanggap komandan pengamanan, seraya tersenyum.


“Alhamdulillah, terimakasih banyak atas perhatiannya ya, pak,” kata pak Ramdan dan langsung menyalami komandan.


Tidak berselang lama, aku, pak Waras, dan pak Ramdan telah berjalan mengelilingi lapangan sepakbola. Mentari pagi yang langsung memunculkan sorot tajamnya, membuatku bercucuran keringat, hingga akhirnya kaos pun aku lepas dari badan.


Setelah 15 kali memutari lapangan, kami akhiri jogging pagi itu. Ketika kami tengah duduk santai di tepian selasar untuk mendinginkan badan, datang Aris dan Iyos. Keduanya akan berolahraga juga.


“Wuih, tumben ini. Babe pagi-pagi sudah selesai jogging. Duluin kita rupanya mereka, Yos,” kata Aris, sambil mendekat ke arah kami bertiga.


“Kali karena sudah lama nggak jogging, Ris. Jadi babe nyubuh olahraganya,” sahut Iyos, seraya tertawa ngakak.


“Sudah, kalian nggak usah banyak cakap. Cepet sana jogging. Keburu matahari makin panas. Karena kami sudah selesai, itu minuman biar kami aja yang minum,” kataku, dan menunjuk dua tumbler besar berisi air putih yang dibawa Aris dan Iyos.


Sambil tertawa, Aris dan Iyos menyerahkan dua tempat air minum yang sebenernya disiapkan untuk mereka selepas berolahraga. (bersambung)

LIPSUS