Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 390)

Rabu, 25 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang


NGGAK usah khawatir, nanti kalian selesai jogging, tetep bisa minum. Aku isiin lagi,” ujarku, dan menenggak air putih dari tumbler yang diberikan Iyos. Sementara pak Waras dan pak Ramdan meminum dari tumbler yang diberikan Aris.


Saat seorang tamping kebersihan lewat di dekat kami tengah mengaso, aku berpesan untuk memanggilkan Rudy di kamar 20. 


Hanya dalam hitungan beberapa menit, anak muda berusia 27 tahunan yang menjadi OD bekas kamarku itu, datang. Tampak ia baru bangun dari tidurnya. Wajahnya kucel dengan mata masih memerah.


“Kamu nggak subuhan ya, Rud?” tanyaku, begitu Rudy berdiri di dekatku.


“Subuhanlah, om. Habis solat tidur lagi. Dibangunin karena dipanggil om inilah,” sahutnya.


“Nggak subuhan di masjid ya?” tanya pak Waras.


“Nggak, pak. Sejak om Mario pindah kamar, Rudy nggak pernah subuhan di masjid lagi,” aku dia, sambil menatapku.


“Lah, kenapa to, Rud?” kataku, menyela.


“Sering kesiangan, om. Bangun-bangun sudah selesai solat di masjidnya. Lagian, sendirian juga Rudy solat subuhnya kalau ke masjid, maleslah,” tutur Rudy, apa adanya.


“Ya sudah, nggak usah dipaksain kalau emang kondisinya gitu. Yang penting, kamu tetep solat,” kataku.


“Kalau solat lima waktu sih, teteplah om. Nggak pernah bolong-bolong kayak dulu lagi. Cuma, ya subuh itulah yang Rudy jarang ikut jamaahan di masjid,” lanjut Rudy.


“Mau minta tolong ini, Rud. Kamu nggak keberatankan,” ujarku, setelah berdiam beberapa saat. 


“Siap, apa aja yang bisa, pasti Rudy lakuin buat om kesayangan,” jawabnya, sambil cengengesan.


Dua tumbler yang telah kosong, aku serahkan kepada Rudy. Minta diisikan air putih.


“Ini air minum Aris sama Iyos. Mereka lagi jogging itu. Tadi isinya penuh, kami bertiga yang ngabisin. Bisakan isiin lagi,” kataku.


“Siap, om,” sahut Rudy, dan bergegas membawa dua tumbler ke kamarnya.


Hampir bersamaan dengan Aris dan Iyos menyelesaikan olahraga berkeliling lapangan, Rudy kembali dengan membawa dua tumbler yang telah penuh berisi air putih. 


“Alhamdulillah, terimakasih ya, Rud,” ucapku, ketika Rudy menaruhkan kedua tumbler di tempat kami tengah mengaso.


“Sama-sama, om. Selesaikan tugas Rudy. Kalau sudah selesai, mau balik ke kamar, om. Biasa, tugas bersih-bersih kamar dan nyuci pakaian,” kata Rudy.


“Sudah selesai, terimakasih, Rud,” sahutku, dan menyalami Rudy yang kemudian bergerak kembali ke kamarnya.


“Ini minumnya, Ris. Nggak jadi kami minum. Kasihan sama kalian kalau habis olahraga kehausan,” kata pak Ramdan, sambil menyodorkan dua tumbler ke Aris dan Iyos yang tengah berjalan mendekat ke arah kami.


“Pak Ramdan ini masih bisa bohong juga ya. Kirain mantan pejabat yang masuk penjara itu pasti sudah insyaf, ternyata masih kebawa kebiasaan dunia birokrasi yang banyak dustanya,” kata Aris, dan tertawa ngakak.


“Kamu itu, bekas anggota Dewan yang dulunya banyak ngakali anggaran, nitip disana-sini, Ris. Sudah masuk bui, masih aja ngadalin orang tua,” sahut pak Ramdan, juga sambil tertawa ngakak.   


“Enak ya dengernya, kalau ledek-ledekan sesama bekas orang terhormat gini. Jadi kebongkar borok masing-masing,” celetuk pak Waras, yang ikut tertawa.


“Asal pak Waras tahu aja, kenapa banyak bupati, walikota atau gubernur kena tangkep KPK, ya karena kelicikan para birokratnya dalam mainin anggaran. Bupati, walikota atau gubernur itu kan rata-rata politisi, nggak paham sudah begitu ngakarnya permainan anggaran yang jadi kebiasaan birokrat bawahannya. Akhirnya, mereka kena jebak. Masuk perangkap mainan anak buahnya sendiri,” tutur Aris, masih diiringi tertawanya.


“Ah, kamu bisaan aja buat penilaian, Ris. Birokrat atau eksekutif itu nggak bakal bisa main aman kalau nggak sepemahaman, bahasa kita disini, sama legislatif. Kan dulu juga kamu nitip anggaran di dinas ini, dinas itu. Ketok palu pengesahan APBD juga harus ada biayanya. Jadi sebenernya, ya sama ajalah kalau main kadal-kadalan di urusan anggaran mah,” tanggap pak Ramdan, tersenyum.  


“Aku nggak mudeng, nggak usah diterusin. Lagian, ngapain ngomongin gituan. Ngeselin hatiku aja,” ucap pak Waras.


“Lho, kok sampeyan yang kesel hati, emang kenapa, pak?” tanya Iyos, yang sejak tadi hanya diam.


“Yo goro-goro urusan anggaran itulah akhirnya aku masuk sini,” kata pak Waras.


“Maksudnya, pak?” tanya Iyos lagi.


“Waktu itu, aku sudah ngurus izin edar garam beryodium yang aku kemas. Garam itu kan produksi perusahaan nasional. Tapi karena aku pengedar, yo mesti punya izin sendiri. Nah, aku sudah urus ke BPOM, sudah dapet rekomendasi, tinggal nunggu SK izinnya turun. Eh, tiba-tiba polisi dateng. Meriksa dan nganggep aku ngelanggar UU Perlindungan Konsumen. Semua bukti proses perizinan, tak kasih ke polisi, tetep aja nggak ngaruh. Proses jalan terus,” urai pak Waras.


“Yang buat pak Waras kesel hati itu apa?” tanya Aris, penasaran.


“Yang buatku kesel, waktu tanya ke BPOM soal surat keputusan izin yang aku urus, mereka bilang belum ada anggarannya, karena harus keluarin izin buat ratusan perusahaan secara bersamaan. Cukup rekomendasi itu aja dulu. Persoalannya, polisi nggak nganggep sah itu rekomendasi. Capeklah aku dibuat ngegantung nggak karuan gitu. Akhirnya, . yo wes, tak jabani aja. Dan masuk rutan inilah aku sekarang,” lanjut pak Waras.


“Bukannya perusahaan sekelas punya pak Waras itu dalam binaan dinas terkait?” tanya pak Ramdan.


“Iya sih, emang ada pembinaan dari dinas terkait. Bahkan dijanjiin nanti perizinan dibiayai dinas. Tapi pas aku tanya, mereka bilang nggak ada anggarannya. Kan semprul jawaban kayak gitu. Pemerintahan kok cut-bacut kayak umbel,” kata pak Waras lagi.   


Kami semua tersenyum mendengar keluh-kesah pak Waras. Pria setengah baya yang biasanya tampil tenang dan santai, mendadak berubah penuh gelegak amarah ketika bicara tentang masalah yang membawanya harus meringkuk di penjara.


Mentari semakin meninggi, sinarnya kian menyengat. Aku mengajak kawan-kawan untuk kembali masuk blok. Karena beberapa jam lagi telah datang waktu untuk solat Jum’at. 


“Babe emang beda, kalau hari Jum’at, banyak wirid yang harus dibaca, makanya ngajak kita buru-buru masuk kamar,” ujar Aris, ketika kami berjalan memasuki pintu utama Blok B.


“Bagusan baca wirid gitu ketimbang kamu, Ris. Ngegunting kuku atau potong rambut aja harus hari Selasa, karena sesuai hari kelahiran. Nggak tahu ajaran darimana yang kamu ikuti. Padahal, sunahnya itu dilakukan di Kamis sore atau hari Jum’at,” sahutku, menimpali.


“Emang bener gitu, Ris? Kamu potong rambut atau ngegunting kuku harus sesuai hari kelahiran?” tanya pak Ramdan. 


“Iya bener yang dibilang babe, pak. Sejak kecil, aku diajari gitu sama ibu. Katanya, ngebuang sesuatu yang ada di badan, bagusnya pas hari kelahiran. Karena ibu yang ngajari, ya aku ikuti aja sampai sekarang. Nggak mungkinkan seorang ibu ngajari anaknya sesuatu yang nggak baik,” kata Aris, seraya tersenyum. 


“Terus, biar apa kalau lakuin semua itu di hari kelahiran?” tanya pak Ramdan lagi.


“Nah, itu yang belum sempet aku tanya sampai ibu wafat, pak. Tapi aku yakin, maksudnya pasti baik. Gitu aja. Dan ajaran itu juga aku turunin ke anak-anak,” jawab Aris.


“Aku tahu maksud ibumu itu, Ris,” kata pak Waras, menimpali.


“Emang apa maksudnya, pak?” tanya Aris dengan cepat.


“Supaya kamu dan anak keturunan terus inget sama perjuangan ibu yang ngelahirin. Terus bakti sama ibu dan bapak. Karena cuma hari kelahiran yang bisa kita inget, kalau hari kematian kita, kan pasti kita nggak bakalan inget,” urai pak Waras, diikuti tertawa ngakak.


“Ah, pak Waras ini ada-ada aja lo. Ya siapa juga yang bakal tahu, apalagi inget hari kematian. Wong sudah mati,” ujar Aris, dan tertawa ngakak.


“Yang aku sampein benerkan. Nggak ada yang berani ngebantahnya kan. Yo wes, kamu sudah bener, Ris. Ikuti ajaran ibumu, itu bagian dari bakti sama wanita yang ngelahirin kamu di dunia ini. Tapi inget, ibumu nggak pernah pengenin kamu masuk bui kayak gini lo. Jadi, minta maaf sama ibu dalam setiap doamu,” sambung pak Waras. Kali ini suaranya tegas dengan raut wajah yang serius. (bersambung)

LIPSUS