Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 391)

Kamis, 26 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang


SESAMPAI di kamar, aku langsung mandi. Dan seperti yang diajarkan pak Waras,  membersihkan badan saat itu dengan niat mandi sunah karena akan menjalankan ibadah solat Jum’at. 


Setelah memakai baju koko dan bersarung, aku duduk di ruang depan. Merapihkan kuku. Pada saat bersamaan, Anton mendekat dengan membawa gunting kecil. Bergerak pelan untuk merapihkan kumis dan jenggotku. 


“Kayaknya spesial bener tugas Anton setiap Jum’at pagi ya, motongin kumis dan jenggot babe,” kata pak Waras, ketika melihat Anton tengah serius menggunting kumis dan jenggotku yang tidak beraturan.


“Dulu ada kawan disini namanya Usup, pak. Dia yang rajin ngerapihin kumis dan jenggotku setiap Jum’at pagi. Orangnya baik, perhatian, dan ibadahnya juga bagus. Cuma, sekarang dia pindah ke lapas yang jauh tempatnya dari sini. Kebetulan beberapa waktu lalu Anton protes sama kumis dan jenggotku yang nggak karuan, ya sudah, sekalian aku minta dia rapihin. Jadinya keterusan,” tanggapku, seraya tersenyum.


“Asyik tahu pak, ngerapihin kumis sama jenggot itu. Ada seninya juga,” kata Anton, sambil terus menggerakkan gunting kecil di tangannya.


“Apa-apa kalau dinikmati emang asyik, Anton. Dan yang pasti, niati ibadah. Jadi kamu tetep dapet pahala,” lanjut pak Waras, cengengesan.


“Kalau aku apa adanya, pak. Nggak pura-pura baik. Bajingan pun aku mau jadiin kawan kalau emang pantes. Buatku, lebih baik ketawa bersama orang jahat daripada cekikikan sama penghianat,” tutur Anton, seusai mengerjakan tugasnya.


“Artinya kamu punya kekayaan hati, Anton. Dan itu satu dari lima perkara kebaikan,” ujar pak Waras.


“Empat lainnya apa ya, pak?” tanya pak Ramdan, menyela.


“Bersabar sama keburukan orang lain, mencari rejeki yang halal, takwa dan yakin sama janji Allah,” sambung pak Waras.


“Tapi kadangkala, kita sudah berbuat baik aja, dilupain sama orangnya, pak,” kata Anton, beberapa saat kemudian.


“Makanya, jangan pamrih lakuin sesuatu itu, Anton. Apa yang pengen kamu kerjain, ya kerjain aja. Soal orang nerima gimana dan ada balesannya apa nggak, nggak usah dipikirin,” kata pak Waras.


“Wajar aja sih pak, kalau kita berbuat baik sama orang, kan harepannya orang itu juga berbuat baik sama kita,” tanggap Anton.


“Ya wajar aja harapan kayak gitu mah, Anton. Aku kasih tahu ya, ada pepatah Arab yang menyatakan begini: Berilah makan seekor anjing selama tiga hari, maka ia akan mengingatmu selama tiga tahun. Dan berilah makan seorang manusia selama tiga tahun, maka ia akan melupakanmu dalam tiga hari. Nah, renungi aja makna pepatah itu,” ucap pak Waras. 


“Pak Waras ini emang kayak kamus hidup ya, apa-apa ngerti. Dan yang disampein selalu nyenengin hati, ngebuat kita tetep optimis. Seneng aku bisa ketemu dan dapet ilmunya,” kata Anton, sambil membungkukkan badan ke arah pak Waras. Memberi hormat.


“Bukan cuma kamu yang seneng kenal pak Waras, Anton. Aku dan kita semua di kamar ini juga seneng. Aku inget seorang ulama pernah bilang: kalau kamu punya sahabat yang selalu membantu dalam ketaatan, genggam erat tangannya. Karena mencari sahabat itu sulit, sedangkan meninggalkannya sangatlah mudah. Aku nggak inget, siapa ulama yang pernah ngomong gitu,” mendadak kap Yasin berkomentar, sambil turun dari lantai atas tempat tidurnya, dan ikut duduk di ruang depan.


“Imam Syafi’i yang bicara gitu, kap. Ada di Kitab Hilyah Al-Auliyaa’,” ucap pak Waras, dengan cepat.


“Nah, kan nggak salah kalau aku bilang pak Waras ini kayak kamus hidup. Nyamber aja dia kalau kita ngomongin sesuatu yang ngarah ke urusan ketaatan,” kata Anton kemudian.


“Nggak gitu jugalah. Aku emang tahu beberapa hal, tapi aku sadar bener, begitu banyak hal yang nggak aku ketahui. Sehebat-hebat kita, hanya sedikit ilmu yang diberikan Tuhan. Makanya, jangan keminter, nanti keblinger,” sahut pak Waras dan kembali cengengesan.


“Sudah dulu khutbahnya, pak. Ayo kita siap-siap ke mesjid. Mumpung masih ada waktu buat solat sunah dan baca Qur’an,” kata pak Ramdan, memotong pembicaraan.


“Aku nyusul aja ya, pak. Nggak tahu, beberapa hari ini susah bener bisa solat yang khusu’. Banyak pikiran yang seliweran kalau pas solat,” ujar kap Yasin. 


“Kap, ada yang pernah nyampein ke aku, kalau yang berat dari solat itu sebenernya bukan pada kekhusu’an atau istiqomah kita. Yang berat itu, justru setelah kita solat dan keluar dari mesjid, bisa nggak kita nggak ngerasa lebih suci dari orang yang belum lakuin solat,” timpal pak Waras, dengan senyum teduhnya. 


Kami semua tanpa dikomando mengangguk-anggukkan kepala mendengar penuturan pak Waras. Ekspresi membedah diri sendiri. Meski pengakuan di hati tidak selalu sama dengan yang diakui saat berbicara.


“Cocok aku sama pendapat pak Waras. Kata orang, begitu seseorang ngerasa pinter, maka saat itu berarti ia bodoh. Begitu juga ketika seseorang ngerasa suci, saat itu sebenernya ia sedang kotor,” ucap pak Ramdan.  


“Bukan dulu, ini sudah pada mau ke mesjid, emang sudah sarapan ya?” tanya kap Yasin, setelah kami berdiam beberapa saat.


Spontan, kami berpandangan. Dan sesaat kemudian, sama-sama menggelengkan kepala.


“Waktu solat Jum’at kan masih agak lama, bisalah kalau kita sarapan dulu. Pak Ramdan, kenapa juga nggak buatin sarapan,” kata kap Yasin lagi.


Pak Ramdan hanya terdiam. Aku buru-buru mengeluarkan empat bungkus mie instan dari loker, juga satu bungkus minuman makanan sehat Energen.


“Mienya buat kap, pak Waras, Anton, dan pak Ramdan ya, aku minum Energen aja sarapannya,” ujarku.


“Emang stok mie kita habis ya, pak?” tanya kap Yasin kepada pak Ramdan. 


“Habis, kap. Sejak kemarin. Makanya aku nggak buatin sarapan pagi ini,” sahut pak Ramdan.


“Kenapa kamu nggak beli, Anton?” tanya kap Yasin kepada Anton, bendahara kamar.


“Uang kas kan sudah habis, kap. Kemarin pagi aku sudah laporin, lupa ya,” kata Anton, sambil tersenyum.


“Subhanallah, aku lupa, Anton. Maaf. Ya sudah, nanti habis solat Jum’at, kamu ke kantin dulu, beli mie instan buat stok,” ucap kap Yasin, yang segera menuju lokernya untuk mengambil sejumlah uang. (bersambung)

LIPSUS