Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 392)

Jumat, 27 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang


KARENA pak Ramdan harus membuatkan empat piring mie instan, akhirnya aku mengolah sendiri minuman makanan sehat yang akan ku jadikan sarapan. Tidak perlu berlama-lama, aku pun mulai menikmati Energen. Tidak mengenyangkan memang, namun cukup untuk mengganjal perut. 


Sambil menunggu pak Ramdan selesai menjalankan tugasnya, kap Yasin bercerita mengenai kesulitannya bisa solat dengan khusu’ dalam beberapa hari terakhir. Tidak lain mengenai perilaku anak laki-laki satunya yang jarang pulang ke rumah selepas bersekolah. 


“Emang biasanya dia pulang jam berapa, kap?” tanya Anton.


“Kata istri sih, rata-rata sudah di atas jam 12 malem gitulah. Itu juga langsung masuk kamar. Pagi-pagi mandi, sarapan, dan berangkat ke sekolah. Gitu terus sudah beberapa minggu ini. Ngelihat kelakuan anaknya kayak gitu, ya istri jadi galau pikirannya. Dia cerita ke aku, ikutlah aku kebawa kegalauannya,” urai kap Yasin, apa adanya.


“Dan sekarang kap cerita ke kami, menularlah kegalauan itu di kamar ini,” ujar Anton, menyela sambil tertawa.


“Bukan maksudku nebar virus galau buat kita, Anton. Aku cerita ini kan karena aku sudah anggep kalian saudara, bagian dari badanku sendiri. Mungkin yang senior-senior, kayak pak Waras, pak Ramdan atau om Mario bisa kasih masukan,” jelas kap Yasin, dengan tenang.


“Memang ada proses yang harus dilewati anak saat pencarian jati dirinya, kap. Nggak usah dikhawatirin. Toh, dia tetep pulang dengan sehat dan selamat. Nanti juga ada waktunya dia lelah dengan aktivitas ekstranya itu,” ucap pak Waras dengan santai. 


“Tapi sampai kapan dia lelah?” sela kap Yasin, dengan cepat.


“Semua tergantung pada pencarian jati dirinya, kap. Yang jadi persoalan sebenernya adalah, anak kita itu tahu nggak apa yang dicarinya dengan banyak ngebuang waktu di luar rumah. Ini yang harus ditemuin dulu jawabannya, kap,” lanjut pak Waras.


“Gimana kalau dia sendiri nggak tahu apa yang dicarinya di luar rumah itu, pak? Atau sekadar pelarian karena nggak betah di rumah?” tanya kap Yasin lagi.


“Itu yang akan ngebuang waktu dan umurnya sia-sia, kap. Apalagi kalau sekadar pelarian karena nggak betah di rumah, ini alasan yang dicari-cari. Kenapa dia betah di luar, hal yang buat dia betah itu mestinya dia bawa dan wujudin di rumah. Ini kalau anak kita punya pikiran dan hati jernih. Tapi kalau sampai rumah langsung tidur, bangun tidur terus mandi dan pergi lagi, sampai kapan juga nggak bakal nemuin ketenangan hidupnya, kap. Arah masa depannya juga bisa nggak jelas,” tutur pak Waras, panjang lebar.    


“Jadi harus kayak mana ya, pak. Kasihan aku sama istri karena kelakuan anak ini,” kata kap Yasin.


“Ajak ngobrol aja anaknya, kap. Bicara dari hati ke hati. Dan ingetin sama dia, sering tanpa disadari kita ini bisa jadi penyebab segala kehancuran dunia seseorang, tapi sering juga tanpa disadari, kita jadi alasan seseorang untuk bangkit dari rasa terpuruknya. Jadi kasih dua pilihan, biar dia nelaah sendiri. Kata-kata itu aku inget dari baca buku Menikmati Manis Racun di Bibirmu,” jawab pak Waras.  


Pak Ramdan membawa piring berisi mie instan hasil olahannya. Kap Yasin, pak Waras, Anton, dan pak Ramdan sendiri langsung duduk bersila. Menikmati sarapannya. Dilengkapi kerupuk kampung yang masih tersisa.


“Ini aneh lagi, waktunya sudah mau Jum’atan, malahan makan,” tiba-tiba pak Edi bicara, yang muncul dari balik jeruji besi. 


Kap kamar 34 tersebut telah memakai kopiah dan menyelempangkan kain sarung di lehernya. Siap untuk berangkat ke masjid.


“Pak Edi sudah sarapan belum?” tanyaku.


“Belum, be. Bangun kesiangan. Langsung mandi, tapi sempet ngopi tadi,” jawabnya, sambil menghisap sebatang rokok yang terjepit di tangannya.


“Nah, itu yang salah, pak. Kalau belum sarapan, bisa-bisa pas lagi Jum’atan, perut keroncongan. Ikuti ajaran pak Waras, lebih baik makan inget solat, ketimbang solat inget makan,” tanggapku, sambil tertawa ngakak.


“Ya bener itu sih, be. Cuma kalau nggak ada yang bisa jadi sarapan, gimana dong?” balas pak Edi, juga diiringi tertawa ngakak.


“Kasihan amat sih, pak. Masak kap kamar mau sarapan aja nggak ada yang bisa dimakan,” mendadak Anton, menyela.


“Ya emang nggak ada, Anton. Mau nunggu sampai selesai orang Jum’atan juga nggak ada yang bisa dimakan. Makanya pengen cepet-cepet ke mesjid aja, ketimbang kesel nggak karuan,” sahut pak Edi, dengan terus tertawa ngakak.


“Tapi, kalau pak Edi masih bisa ketawa ngakak gini, tetep ada simpenan yang bisa dimakan. Cuma buat makan siang, gitukan pak,” lanjut Anton.


“Ah, kamu sok tahu, Anton. Di penjara itu ada tiga pantangannya. Pertama, jangan ngeluh miskin, karena nggak bakal ada yang mau kasih kamu uang. Kedua, jangan ngeluh capek, karena nggak akan ada yang mau bantu kamu. Ketiga, jangan bergantung sama orang lain, karena cuma kamu sendiri yang bisa diandelin. Inget, ini petuahku sebagai ipis ya, Anton,” ujar pak Edi lagi dan terus dengan tertawanya.   


“Siap perintah. Emang beda kalau ipis kasih nasihat itu ya. Langsung kena ke jantung,” sahut Anton, tetap sambil tertawa.


Tidak berapa lama kemudian, pak Edi mengajakku untuk ke masjid lebih dahulu, karena kawan-kawan masih menikmati sarapan kesiangannya. 


Kami berdua berjalan di selasar depan sel sambil berbincang ringan, sampai kemudian aku disapa oleh pak Sibli yang baru akan keluar kamar 19.


“Bang, kok nggak pernah kongkow-kongkow lagi sih kita ini? Mentang-mentang pindah kamar, lupain kawan lama,” kata pak Sibli, yang berjalan cepat untuk menyusul aku dan pak Edi.


“Kan tinggal kasih tahu aja sih kalau mau kongkow, pak. Enak lo ngobrol di gazebo depan kamar pak Edi. Minimal disiapin kopi panas,” sahutku, dan menyalami pak Sibli.


“Boleh juga dicoba kongkow disitu kalau gitu ya, bang. Tempatnya mojok lagi. Enak buat ngerumpi,” tanggap pak Sibli. Pecatan anggota Polri yang tersangkut kasus pemalsuan data tanah tersebut.


“Pak Sibli ini kayak emak-emak aja. Ngajak kongkow tapi isinya ngerumpi. Mbok iya, ngobrolin yang nyenengin hati gitulah,” ucap pak Edi, menimpali.


Tanpa terasa, kami telah sampai di pelataran masjid. Suasana Rumah Allah saat itu telah penuh sesak oleh jamaah. Banyak yang tengah solat sunah, mengaji dan membaca wirid. Kami pun segera mengambil tempat sesuai kesukaan masing-masing. (bersambung)

LIPSUS