Oleh, Dalem Tehang
SETIAP akan mengikuti jamaah solat Jum’at, aku selalu memilih tempat di teras samping kiri. Berjarak satu meter dari jendela masjid. Selain berada pada ruang terbuka dengan udara yang segar, juga terasa lebih nyaman untuk mencapai titik percumbuan mesra dengan Sang Khaliq.
Prosesi solat Jum’at pun dimulai. Khotib yang berasal dari luar rutan, mengajak semua jamaah untuk terus meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Seru Sekalian Alam. Serta tidak terkungkung oleh penilaian negatif sebagian orang karena saat ini tengah menjalani pemenjaraan.
“Terkadang, memang ada beberapa orang yang berprasangka buruk kepada kita, tetapi ada juga yang berprasangka baik. Mari sama-sama kita sadari, bahwa prasangka buruk mereka tak akan merugikan kita, dan prasangka baik mereka pun tidak akan menguntungkan kita. Yang penting adalah niat baik dalam diri kita dan penilaian dari Allah,” lanjut khotib dengan suara berat.
Dijelaskan, ketika ada orang yang salah paham atau berprasangka buruk tentang diri kita, sementara kita tidak mampu menjelaskannya, maka pahamilah bahwa sesungguhnya Allah tidak akan menghisab kita karena prasangka seseorang, tetapi kita akan diadili oleh-Nya karena kenyataan atas perbuatan kita.
“Untuk itu, kita perlu menelaah pesan Ibnu Qayyim, bila cobaan hidup bukanlah untuk menguji kekuatan kita, melainkan menakar seberapa besar kesungguhan kita dalam memohon pertolongan Allah,” kata khotib.
Menurut dia, healing terbaik bagi para tahanan adalah diam dalam muhasabah, mendekat kepada Tuhan, tidur, dan berdamai dengan diri sendiri.
“Tetap tenangkan hati dan pikiran, karena semua sudah ada yang mengatur. Kita tinggal menjalani dengan ikhlas,” ujarnya.
Khotib mengajak semua jamaah untuk memaknai pesan Ali Bin Abi Thalib, yaitu jangan jadikan pandangan mata seperti mata lalat yang hanya mencari sesuatu yang busuk dan kotor, yakni yang hanya melihat kekurangan dan kesalahan orang lain.
“Maknai juga pesan Umar Bin Khattab, yaitu jadikan pandangan mata seperti mata lebah, yang hanya memandang wewangian dan keindahan, yakni yang memandang kelebihan dan kebaikan orang lain,” tutur dia.
Khotib menambahkan, ketenangan dalam kehidupan ini bukan hanya tentang kebijaksanaan, tetapi juga tentang kekuatan. Belajar untuk tetap tenang adalah aset yang sangat berharga.
“Seseorang yang taat kepada Allah, bukan berarti ia tidak ada kekurangan. Seseorang yang tekun berdoa kepada Allah, bukan berarti ia tidak ada kesulitan. Maka tetaplah bersabar, sambil terus berusaha dan berdoa. Biarlah Allah yang berdaulat atas hidup kita, karena Allah lebih tahu yang terbaik untuk kita,” sambungnya.
Saat ustadz Umar tengah mengimami solat Jum’at, mendadak terdengar suara petir bersahutan di langit, dan langsung diikuti dengan tumpahnya air hujan dengan derasnya. Angin kencang pun menyertainya, hingga percikan air dari langit mengenai kami yang solat di teras masjid.
Beberapa orang sempat menggeser posisi solatnya, karena cukup derasnya air terbawa angin mengenai badan mereka. Aku tetap mencoba khusu’ di tempat, meski saat usai solat, sebagian baju koko yang aku kenakan telah basah.
Dan ketika pelaksanaan solat telah selesai, secara tiba-tiba curahan hujan yang sebelumnya demikian deras, berhenti begitu saja. Bahkan, matahari yang sempat tertutup awan tebal, kembali hadir dengan sinar terangnya.
“Hati-hati, ayah. Kalau hujan deras cuma sebentar dan langsung panas lagi kayak gini, nandain sekarang masuk musim pancaroba,” kata Teguh, yang tiba-tiba duduk di sebelahku.
“O gitu, terus yang harus hati-hati itu dimananya ya, Teguh?” tanyaku, sambil menatap wajah pria muda yang tersangkut kasus beberapa kilogram sabu-sabu itu.
“Jaga kondisi badan yang penting, ayah. Banyakin olahraga dan minum vitamin. Karena di musim pancaroba kayak gini, bakal banyak virus penyakit yang turun ke bumi,” jelas Teguh.
“Kok kamu tahu soal ginian, darimana pengetahuanmu itu?” tanyaku lagi. Penasaran.
“Dari orang tuaku, ayah. Di daerah asalku, kalau ada kejadian seperti tadi, semua orang sudah paham, bakal ada penyakit serius yang dateng. Yang cepet bener penyebarannya. Apalagi, kita kan di kompleks seperti ini, beberapa orang kena sakit, pasti bakal cepet nular ke yang lain,” urai Teguh.
“Terimakasih kamu sudah ingetin ayah ya, Teguh. Kita sama-sama jaga kondisi aja,” ujarku, dan mengajaknya meninggalkan masjid untuk kembali ke sel.
Saat kami sampai di kamar, kawan-kawan telah duduk melingkar di lantai atas untuk makan siang.
“Kami nggak bakalan makan, kalau masih ada penghuni kamar belum balik,” kata kap Yasin, seraya tersenyum melihat aku dan Teguh yang terburu-buru mencari tempat untuk duduk guna makan siang bersama.
Setelah pak Waras membaca doa, kami penghuni kamar 30 sebanyak 12 orang menikmati makan. Sambil terus berbincang ringan, tanpa terasa semua makanan yang dihidangkan pak Ramdan, ludes masuk ke perut kami semua.
“Alhamdulillah, seneng aku kalau makan nggak ada sisa gini. Selain nggak nyusahin nyuci piringnya, juga nandain kalau kita semua tetep sehat dan semangat,” kata pak Ramdan, saat merapihkan piring bekas tempat makan untuk dibawanya ke kamar mandi dan membersihkannya.
“Minimal semangat dalam soal makanlah ya, pak,” ujar Anton, seraya tertawa.
“Ya itu maksudku, Anton. Kalau masih punya semangat makan, berarti kan sehat. Sebab, kalau kita sakit, Allah ambil tiga hal dari diri kita, yaitu nafsu makan, keceriaan wajah, dan dosa kita,” kata pak Ramdan lagi.
“Kalau kita sembuh dari sakit, kayak mana, pak?” tanya Teguh, menimpali.
“Kalau kita sembuh dari sakit, Allah akan kembalikan semuanya, kecuali dosa kita. Jadi, dalam kondisi apapun, Allah memang maha baik pada makhluk-Nya,” jawab pak Ramdan.
Setelah menaruhkan peralatan makan di kamar mandi, pak Ramdan langsung naik ke bidang tempatnya, dan tampak akan tidur siang.
“Lah, kok malah mau tidur to, pak. Kirain lanjut cuci piring tadi,” kata pak Waras kepada pak Ramdan yang telah merebahkan badannya di lantai, tanpa alas apapun.
“Ini waktunya tidur siang, pak. Nanti setelah asharan, aku kerjain tugas-tugas itu,” sahut pak Ramdan, dengan santainya. (bersambung)