Oleh, Dalem Tehang
“JAM segini kok tidur, ya nggak nyenyaklah, pak,” lanjut pak Waras.
“Nurut ilmu kesehatan, tidur siang itu bagusnya jam 14 atau jam 15, pak. Itu juga nggak boleh lama-lama, cukup 30 menit aja,” ucap pak Ramdan.
“Kenapa gitu, pak?” tanya pak Waras lagi.
“Kalau tidur di jam 14 atau 15 siang, nggak bakal ngeganggu nyenyaknya tidur kita nanti malem. Dan kalau lebih dari 30 menit tidurnya, malah bakal buat kita uring-uringan setelah bangun. Gitu nurut ilmu kesehatan yang pernah aku baca,” tutur pak Ramdan.
“Nggak valid ilmu itu, pak. Belum ada penelitian yang sah soal pengaturan jam dan waktu tidur siang yang pak Ramdan bilang,” kata kap Yasin, tiba-tiba.
“Yah, kalau diajak ngobrol terus gini, kapan aku tidurnya ya,” celetuk pak Ramdan, dan tertawa.
Kami pun ikut tertawa, dan akhirnya pak Ramdan bangun dari rebahannya. Turun dari bidang tempatnya, bergabung dengan kami yang berbincang santai di ruang depan. Membatalkan tidur siang yang telah dirancangnya dengan memakai rumus ilmu kesehatan.
Pada saat kawan-kawan tengah asyik berbincang, diselingi dengan menikmati panganan ringan berupa kuwaci dan kelanting yang dikirimkan pak Edi, pelan-pelan aku melipir. Masuk ke ruang dalam dan naik ke bidang tempat tidurku.
Aku mengambil buku catatan harian dan menulis berbagai cerita kehidupan yang ku temui dan lakoni dalam keseharian di dalam rutan. Dalam keasyikan menulis, aku teringat akan perkataan Martin Luther King Jr yang pernah ku baca di sebuah buku saat masih tinggal di kamar 20.
“Bila kamu tidak bisa terbang, maka berlarilah. Jika tidak bisa berlari, berjalanlah. Bila tidak bisa berjalan, merangkaklah. Apapun harus kamu lakukan agar tetap bergerak maju,” begitu kata Martin Luther King Jr yang masih ku ingat.
Tiba-tiba telinga kiriku berdengung kencang, hingga terasa sakit. Segera aku bekap telinga itu dengan tangan. Mencoba meredakan dengungannya. Namun, tetap saja berdengung, dan terus terasa sakit di dalam gendang telinga.
“Kenapa, ayah?” tanya Teguh, yang baru keluar dari kamar mandi. Melihatku menundukkan kepala sambil membekap telinga kiri yang terus berdengung.
“Telinga kiriku berdengung kenceng bener dari tadi, Teguh. Nggak tahu kenapa,” sahutku, sambil menahan sakit.
“Baca istighfar aja, ayah. Kalau kata orang, telinga kiri berdengung itu karena ada yang lagi ngomongin nggak baik tentang ayah. Biarin aja. Kan malahan ayah dapet pahala karena dibilang jelek,” ucap Teguh, dengan santainya.
“Om kenapa, telinganya berdengung ya?” tanya pak Ramdan yang langsung masuk ke ruang dalam setelah mendengar Teguh bicara denganku.
“Iya, pak. Berdengung kenceng gitu dari tadi. Sampai sakit rasanya. Nggak tahu kenapa,” sahutku, sambil terus membaca istighfar di dalam hati sesuai arahan Teguh.
“Nggak apa-apa itu mah, om. Biasa aja. Nurut ilmu kesehatan, suara keras emang bisa ngerusak saraf, selaput, sel rambut dan bagian sensitif lain di telinga bagian dalem. Kalau pada saat itu bagian telinga lagi nggak bekerja seperti biasa, getarannya nggak bergerak buat ngirim sinyal ke otak. Inilah yang nyebabin telinga berdengung,” urai pak Ramdan.
“Tapi kan nggak ada suara keras dari tadi, pak,” kataku, menyela dengan cepat.
“Bisa aja karena om mikir dengan keras, atau terlalu berat beban di otak, hingga terjadi gangguan di selaput telinga bagian dalem,” tanggap pak Ramdan.
“Jadi baiknya gimana buat ngilangin dengungan ini?” tanyaku.
“Lepasin yang jadi beban pikiran dan bawa tidur,” ujar pak Ramdan lagi.
Segera aku tutup buku catatan harian dan menaruh di tempatnya kembali. Mengambil bantal dan menaruhkan kepalaku. Meluruskan badan di lantai tanpa alas, perlahan ku lepaskan berbagai beban dalam jiwa dan seliwerannya pikiran di otakku. Dan akhirnya, aku pun tertidur.
Begitu nyenyaknya aku tidur, hingga bangun setelah menjelang senja berlalu. Dengan terburu-buru aku ke kamar mandi, berwudhu. Dan solat Ashar di bidang tempatku tidur. Seusainya, aku membersihkan badan dan berganti pakaian.
Aku keluar kamar. Beranjangsana ke kamar Aris, di kamar 12. Tampak mantan anggota dewan yang terhormat itu tengah asyik bermain kartu dengan Iyos, Dika, dan seorang kawan lainnya.
“Wuih, babe seger bener sore ini. Mau ngajak jalan-jalan kemana nih, be,” kata Aris saat melihatku berdiri di balik jeruji besi kamarnya.
“Males ngajak kamu jalan-jalan mah, Ris. Banyak maunya kamu itu,” sahutku, sambil tertawa.
“Cari makanan di kantin aja yok, be,” ucap Aris, yang segera meninggalkan keasyikannya bermain kartu.
“Aku sama bang Iyos ikut kalau mau ke kantin,” kata Dika, dan segera menuju pintu kamarnya.
Kami berempat berjalan dengan riangnya menuju kantin. Pada saat kami memasuki pusat penjualan makanan, minuman, dan segala hal yang dibutuhkan tahanan itu, mataku melihat pak Hadi, pak Raden, dan Oong tengah asyik bercengkrama sambil menikmati siomay goreng, di bagian sudut belakang.
Aku mengajak Aris, Iyos, dan Dika mencari tempat dekat dengan pak Hadi dan kawan-kawan. Dan setelah saling menyapa dengan bersalaman, kami duduk di kursi panjang yang ada di samping mereka.
“Siomay gorengnya enak lo, bang,” kata Oong, mempromosikan panganan ringan yang tengah dinikmatinya.
Terprovokasi dengan promosi Oong, akhirnya aku meminta dipesankan siomay goreng juga. Aris, Dika, dan Iyos pun memilih makanan yang sama.
Sambil berbincang ringan, pelan tapi pasti siomay goreng satu porsi telah ludes masuk ke perut kami masing-masing, ditambah air mineral satu botol kecil. Hingga terdengar pemberitahuan dari pos penjagaan dalam, seluruh tahanan diharuskan segera kembali ke selnya masing-masing. Bersamaan dengan kepergian senja yang menghantar mentari ke peraduannya.
Kami berempat berjalan kembali ke Blok B, sedangkan pak Hadi, pak Raden, dan Oong masuk ke Blok C. Hubungan kekerabatan kami memang kian akrab dan hangat, meski cukup jarang punya kesempatan untuk berbincang dalam waktu yang relatif lama. (bersambung)