Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 396)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Selasa, 31 Januari 2023


Oleh, Dalem Tehang 


DAN suara adzan Subuh pun terdengar dari masjid. Pak Waras langsung mengajak kami solat berjamaah. Namun seperti biasanya, hanya aku, Anton, dan pak Ramdan saja yang menjadi jamaah dengan pak Waras sebagai imamnya. Meski semua penghuni kamar pada saat itu belum ada yang kembali tidur. Hanya merebahkan badan di bidang tempatnya masing-masing.  


“Nurut pak Waras, apa kalimat yang pas komentari razia tadi,” kata Anton, saat kami usai subuhan.


“Ada kawan yang pernah bilang dan kayaknya cocok buat komentari razia tadi itu, Anton. Dia bilang: Akan ada saatnya dimana si penindas terheran ketika sang tertindas memainkan peran,” jawab pak Waras, dan tertawa ngakak.


“Bisaan aja lo, pak Waras ini cari kalimat. Tapi kesannya jadi kasar kalau sipir dibilang penindas,” ujar Anton, juga ikut tertawa.


“Kalau secara global, emang agak kasar sih penyamaan itu, Anton. Tapi kalau spesifik di urusan razia tadi, ya gitulah kenyataannya. Mereka penindas, dan kita sebagai tertindas,” lanjut pak Waras.       


“Dan si penindas hanya gigit jari, nggak dapetin yang ditarget, karena kecerdikan sang tertindas memainkan peran ya, pak,” tanggap Anton, masih dengan tertawa.


“Bisa dibilang gitu, Anton. Yang jelas, terlepas dari apapun, Tuhan masih nyelametin babe dan kap, juga kita semua,” kata pak Waras.


“Maksudnya gimana, pak?” tanyaku, menyela.


“Sederhana kok, be. Nggak pernah kita bayanginkan, kalau kamar ini jadi target razia karena ada botol disini. Alangkah banyak tahanan di kamar lain yang punya botol, kan gitu. Juga nggak pernah kita rencanain kan, kalau di detik-detik akhir, ada tamping yang mendadak kesini dan ambil itu botol babe. Ini semua karena Tuhan nurunin tangan-tangan-Nya. Jadi, ku minta, babe tetep bersyukur, bahkan lebih banyak syukurnya,” urai pak Waras, dan menatapku dengan serius.


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Memahami dan menyepakati apa yang disampaikan pak Waras. Memang, dari 34  kamar di Blok B, pasti ada dua atau tiga orang penghuni setiap kamarnya yang memiliki botol alias telepon seluler. 


Tentu, ada yang “legal” dengan bayaran rutin setiap bulannya, tidak sedikit pula yang dianggap “ilegal” karena tidak membayar alias kucing-kucingan dengan petugas jaga.


Pun kedatangan tamping Kausar yang hanya beberapa menit sebelum tim razia masuk ke kamarku, adalah aksi penyelamatan yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki keberanian dan kecekatan luar biasa.


“Kayaknya, ada cepu di kamar kita ini, om,” kata Anton, yang membuyarkan perenungan pikiranku.


“Bisa aja itu, Ton. Cuma, baiknya kita nggak nuduh, karena bakal buat kita saling curiga di kamar ini. Dan itu nggak baik untuk terus ngejaga suasana guyup yang ada,” sahutku, dengan santai.


“Bisa juga orang kita kasih info ke luar, be. Dan dimainin sama orang yang nggak suka sama babe,” pak Waras menyambung.


“Emang ada yang nggak suka sama om Mario, pak?” tanya Anton, dengan cepat.


“Pastinya ya adalah, Anton. Prinsipnya itu gini, kalau ada 10 orang suka sama kita, pasti ada 20 yang nggak suka. Tapi, ya nggak perlu juga kita cari siapa-siapa aja yang nggak suka sama kita itu. Karena nggak ada gunanya. Malah ngebuang waktu dan ngeselin hati aja,” jelas pak Waras.


“Nah, gimana ngadepin orang yang nggak suka sama kita, pak?” tanya Anton lagi.


“Bersikap biasa-biasa aja, Anton. Kalau ketemu, ya disapa, kasih senyum. Cuma nggak perlu juga pakai ngobrol panjang lebar. Intinya, tunjukin kalau kita lebih dewasa, lebih bijak. Nanti orang itu bakal malu sendiri,” sahut pak Waras.


“Gimana kalau orang yang nggak suka kita itu nggak punya malu?” Anton bertanya lagi.


“Nggak usah dipikirinlah. Mau dia punya malu atau nggak, kan nggak ngaruh sama kita. Wong dia emang sudah nggak suka sama kita,” tanggap pak Waras dengan cepat.


Pak Ramdan menaruhkan secangkir kopi pahit di depanku, kopi manis di tempat Anton duduk, dan teh manis untuk pak Waras yang menyandarkan badan di pintu kamar. 


“Pikiranku sama dengan Anton, om. Pasti ada cepu di kamar kita, makanya jadi target utama razia tadi itu,” ucap pak Ramdan, dengan pelan. Dan duduk ndeprok di samping Anton.


“Nggak usah jadi pikiran kita soal itu ya. Yang penting, waktu razia nggak ditemuin barangnya. Biar nanti yang jadi cepu dikerjain sama orang yang dia kasih informasi. Semua perbuatan kan ada harga yang harus dibayar,” kataku, sambil tersenyum.


“Assalamualaikum. Babe sudah bangun belum, pak Waras,” sebuah suara terdengar dari balik jeruji besi. Suara yang amat aku kenali, suara Aris.


“Itu, orangnya duduk di bawah tempat kamu ngomong,” sahut pak Waras, sambil menunjuk posisiku duduk saat itu.


Aku segera bangkit dari duduk, dan berdiri berhadapan dengan Aris, dibatasi jeruji besi. 


“Babe baik-baik ajakan?” tanya Aris, dengan suara pelan penuh kekhawatiran.


“Yang kamu lihat emang kayak mana, Ris. Baik-baik ajakan aku,” sahutku, seraya tertawa.


“Jangan bercanda sih, be. Bener babe baik-baik aja. Maksudku, nggak ada masalah apa-apa dari razia jelang subuh tadi,” lanjut Aris, dengan terus menatapku penuh kekhawatiran.


“Iya, aku baik-baik aja kok, Ris. Razia tadi nggak nemuin apa-apa kok. Botol yang jadi target juga nggak ada,” jawabku, dengan santai.


“Beneran, botol babe nggak ditemuin?” tanya Aris, mengernyitkan dahinya.


“Ya benerlah, Ris,” ucapku, pendek.


“Kan razianya sampai hampir dua jam, masak nggak ketemu botolnya, emang babe sembunyiin dimana?” tanya dia lagi, ada rasa penasaran yang menggelegak pada jiwa Aris.


“Botolnya sudah keluar kamar beberapa menit sebelum tim razia masuk. Mau 24 jam ngobrak-abrik kamar ini juga, ya nggak bakalan ketemulah, Ris,” kataku, dan tertawa ngakak. (bersambung)

LIPSUS