Cari Berita

Breaking News

Bahasa dan Sastra Indonesia di Era Digital

Jumat, 24 Februari 2023

Harris Effendi Thahar /  foto: bdy


Oleh Harris Effendi Thahar *)


Ketika pandemi covid-19 secara serentak melanda dunia di awal 2020, hampir semua sendi kehidupan manusia di bumi ini kocar-kacir. Beberapa kota besar di dunia melakukan lockdown untuk menghindar dari serangan virus yang mematikan itu.Tidak seorang pun boleh melakukan kegiatan di luar ruangan, selalu menggunakan masker, dilarang berdekatan antarsesama, dan setiap saat mencuci tangan dengan sabun dengan air yang mengalir.  Akibatnya, pabrik-pabrik industri, besar-kecil, berhenti bekerja, transportasi berhenti, sekolah-sekolah dan universitas tutup. Terjadilah ‘kematiansurian’ kehidupan selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. 

Untunglah ada internet sebagai wahana untuk mengaktifkan kegiatan teknologi informasi berupa media digital, sebagai media baru yang muncul sejak hampir dua dekade lalu. Dengan adanya teknologi informasi melalui jaringan internet, kegiatan kehidupan di muka bumi sebagian besar dapat teratasi secara online, atau yang biasa disebut melalui daring (dalam jaringan), seperti bekerja dari rumah (work from home) untuk pekerja kantoran, atau mengadakan pertemuan atau rapat melalui zoom dan kegiatan belajar-mengajar di sekolah, dan seterusnya.  Demikianlah,era digital muncul menjadi sangat cepat akibat tuntutan hidup di masa pandemi.  

Jika sebelumnya teknologi informasi melalui jaringan internet yang disebut sebagai teknologi digital baru dikuasa hanya oleh sedikit orang, terutama kelompok usia muda (digital native), kini kelompok usia di atasnya yang disebut sebagai digital immigrants terpaksa ikut bekerja keras menguasai teknologi ini.  Setidaknya, sekadar untuk mengoperasikan pembelajaran daring melalui zoom bagi guru-guru dan dosen-dosen yang harus work from home (WFH).

Ternyata, banyak hal yang dapat dilakukan dengan bantuan teknologi digital melalui akses internet, terutama dalam kegiatan berkomunikasi. Oleh sebab itulah sekarang disebut juga sebagai era serba digital atau era digitalisasi.  Tulisan ini mencoba membahas bagaimana pengaruh era digitalisasi terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Hal ini penting dibahas, karena selama ini, sebelum era digital datang, salah satu aktivitas literasi yakni, membaca hanya melalui media tercetak di atas kertas seperti buku, majalah dan surat kabar.  Sementara, di era digitalisasi ini, media digital tidak saja dapat digunakan sebagai media membaca, akan tetapi sekalian dapat digunakan sebagai media untuk menulis dan memublikasikannya.  

Melalui media digital, seperti whats up, facebook, instagram, youtube, dan lainnya kegiatan literasi membaca dan menulis dapat dilakukan secara bersamaan.  Lompatan teknologi informasi yang tiba-tiba menyerbu kehidupan kita, mau tidak mau akan berpengaruh secara positif dan negatif terhadap eksistensi bahasa dan sastra Indonesia sebagai alat komunikasi dan wahana ekspresi budaya bangsa.


Dunia Membaca, Memirsa, dan Menulis serta Berbicara dan Mendengar  

Salah satu kelebihan wahana komunikasi berupa telepon pintar atau gawai (gadget)— perangkat elekronik yang memiliki banyak fungsi— dapat mengirim pesan melalui lisan dan tulisan, bahkan secara visual melalui aplikasi video call. Pengguanaan gawai ini bebas oleh siapa saja yang memilikinya secara pribadi. Menurut catatan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, tahun 2021 pemilik ponsel di Indonesia mencapai 345,3 juta, melebihi populasi 271,35 juta jiwa. Itu artinya, ada yang memiliki gawai lebih dari satu.  Menurut Plate, “ Pandemi Covid-19 membawa perubahan yang masif di semua lini, serta mendorong semua aktivitas beralih ke digital.”  Selanjutnya dikatakan bahwa Indonesia adalah pengguna internet no 5 terbanyak di dunia, yakni 73% dari populasi (Viva, Agustus 2021).

Dapat dibayangkan, betapa sibuknya lalu-lintas komunikasi antarwarga Indonesia setiap saat menggunakan gawai untuk berkomunikasi antarsesama, antar pribadi atau kelompok (grup), baik melalui aplikasi whats up, facebook, telegram, instagram, tweeter, zoom dan sterusnya. Semua kegiatan itu tentulah menggunakan bahasa. Bahasa apakah yang digunakan penduduk Indonesia dalam berkomunikasi antar sesamanya? Bahasa yang digunakan tentu saja bahasa yang biasa dituturkan dalam pergaulan antarsesama dari siapa kepada siapa dan dalam situasi bagaimana. Jika dari seseorang kepada grup yang beragam, sangat mungkin bahasa yang digunakan adalah bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia, yang dimengerti oleh segala kalangan bangsa Indonesia. Atau komunikasi antar pribadi menggunakan bahasa Indonesia karena memang keduanya sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia. Tentu saja bahasa daerah merupakan bahasa yang digunakan antar personal sebahasa ibu, dan menggunakan bahasa asing untuk hubungan antar bangsa.

Melalui telepon pintar atau yang disebut gawai itu sebenarnya semua kegiatan berbahasa telah terpenuhi, yakni: membaca, memirsa, menulis, menyimak, dan berbicara. Bertumpu dengan kedigdayaan internet, semua aspek kegiatan keliterasian berbahasa yang selama ini tidak pernah terbayangkan, kini terjadi.  Hal ini merupakan anugerah teknologi yang sangat positif bagi kehidupan umat manusia. 

Tentang kegiatan menulis, siapa saja yang menggunakan gawai, pastilah seorang “penulis” dalam artian melakukan kegiatan menulis. Setidaknya seseorang menulis pesan singkat, baik ditujukan kepada seseorang, maupun tidak kepada siapa-siapa, namun tentu untuk tujuan dibaca siapa saja. Sadar atau tidak sadar, semua orang menjadi tergoda untuk menulis melalui media sosial dengan berbagai aplikasi yang tersedia di gawainya.  Bahkan, tiba-tiba banyak orang mengambil kesempatan ‘gratis’ ini untuk menulis fiksi, puisi, opini, maupun berita atau laporan dan sebagainya—yang selama ini merupakan konsumsi media cetak— menjadi marak melalaui media sosial ini. 

Kesempatan ‘gratis’ yang saya maksud ialah kesempatan untuk memuat tulisan melalui media sosial tanpa harus melalui seleksi kekuasaan redaksi penerbitan media cetak berbasiskan kode etik jurnalistik dan seabrek persyaratan. Selain bebas seleksi redaksi, karena memang tidak perlu redaksi, publikasi melalui media sosial juga berjalan secepat kilat, tanpa harus menunggu jadwal terbit seperti koran harian. Melalui media sosial, begitu selesai ditulis, langsung ‘go public’. Begitulah kemerdekaan siapa saja yang disebut netizen itu untuk memublikasikan apa saja, termasuk peristiwa apa saja yang dianggap layak untuk dilaporkan dalam sekejap mata. Karena publikasi netizen itu merupakan informasi tanpa sensor, informasinya dapat saja dianggap hoaks, atau memang benar sama sekali. Akan tetapi, masyarakat yang sudah terbiasa dengan informasi tanpa ‘filter’ bahkan menyukainya, tanpa disadari telah merugikan media massa mainstream. Sekarang, yang menjadi pertanyaan, manakah yang banyak pembaca berita online dibanding pembaca berita offline seperti koran, majalah, televisi, dan radio ? 

Suara.com (25.8.2020) menyiarkan hasil riset Global Nielsen bahwa di Indonesia saat ini pembaca media online digital sudah lebih banyak ketimbang media cetak. Salah satu alasannya ialah sangat mudah mengakses berita online dan gratis.  Oleh karena itu penjualan koran terus merosot. Gejala ini sangat berpengaruh kepada pemasang iklan yang selama ini memasang iklan di media cetak, kini beralih ke media online. 


Media Online Mainstream dan Anti Mainstream

Sehubungan dengan keserbadigitalan yang masif, mau tidak mau media-media massa mainstream yang selama ini merupakan media cetak, sekarang harus ikut lebur dengan media online. Hampir semua media mainstream cetak sekarang memiliki terbitan edisi e-paper dan membuat portal berita tambahan seperti Tempo.co, Kompascom, Republika Onlie News, CNN Indonesia, dan seterusnya. Hal itu sudah barangtentu untuk merebut pasar pembaca yang sudah mulai terbiasa dengan portal-portal berita online yang bermunculan bagaikan jamur dengan sajian beritanya yang sangat baru.

Selain tumbuhnya media-media online kembaran media cetak mainstream, media-media online baru pun tumbuh menjamur di setiap sudut kota-kota di Indonesia.  Media online ini pun berebut tempat di hati pembacanya sekalian berebut pemasang iklan.  Tanpa pemasang iklan yang memadai, media online seperti ini lama-lama terpaksa gulung tikar. Meski begitu, media online tetap tumbuh, bak berupa media lokal maupun nasional dan internasional. Sementara, blog-blog pribadi yang bersifat amatir tetap saja ada yang melakukan publikasi online yang seakan-akan melawan media mainstream.  Media-media anti mainstream ini cukup banyak dengan teknik menampilkan sensasi-sensasi yang disukai oleh kelompok netizen kelas menengah ke bawah.

Sebagaimana kita ketahui bahwa media-media mainstream senantiasa berpegang teguh kepada kode etik dan pengguanaan Bahasa Indonesia Jurnalistik standar.  Karena, salah satu peran media massa adalah untuk menjaga Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa Negara.  Selama ini sudah banyak contoh-contoh media massa yang berhasil mensosialisasikan kosa kata baru dan istilah baru ke tengah masyarakat. Sementara, media online anti mainstream, tidak punya komitmen dengan penggunaan Bahasa Indonesia.     

Meski demikian, bukan tidak mungkin siapa saja dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan semau-maunya, sesuai konteks dan karakter penggunanya dalam suatu komunitas. Hal itu dapat dilihat dari percakapan-percakapan dan komentar-komentar di laman whats up dan facebook. Percakapan dan komentar itu tentu saja terjadi antar sesama anggota suatu grup atau komunitas yang memiliki kesamaan rasa bahasa. Oleh sebab itu, lahirnya istilah-istilah baru yang bukan berasal dari bahasa Indonesia, seperti ‘cuan’, ‘prank’, ‘kepo’ dan seterusnya bermula dari uggahan melalui media sosial (medsos).  Belum lagi istilah-istilah bahasa Inggris untuk teknologi informasi seperti ‘download’ ‘delate’, meski sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, toh banyak orang yang tidak suka menggunakannya.

Apakah kasus-kasus di atas merupakan pengaruh positif atau negatif? Dari segi penambahan (pengayaan) kosakata baru, penggunaan istilah-istilah baru, darimana pun sumbernya, jika memang ‘disepakati’ oleh penutur bahasa Indonesia, hal itu menjadi positif. Seperti halnya istilah-istilah yang berasal dari bahasa daerah menjadi populer karena pesatnya eskalasi dunia kuliner, misalnya kata ’balado’ yang berasal dari bahasa Minangkabau.  Balado artinya dilumuri oleh sambal cabe merah.  Cabai disebut lado dalam bahasa Minangkabau. Jika ada kripik singgkong yang dlumuri ‘lado’, maka disebutlah ‘kripik balado’ atau ‘ayam goreng balado‘.  Selama ini istilah balado hanya dikenal dalam bahasa Minangkabau, namun karena kuliner Minangkabau juga berkembang di luar daerahnya, maka istilah balado menjadi populer.

Barangkali, pengaruh negatif dapat timbul jika pengguna bahasa Indonesia tulis di sosial media yang banyak dilihat/dibaca netizen adalah bahasa Indonesia yang tidak memedulikan  ejaan dan struktur kalimat yang benar. Kesalahan ejaan yang paling banyak penulis jumpai di facebook adalah penggunaan kata depan /di/ dan awalan /di/. Atau hampir selalu rancu ditulis terbalik, di untuk menunjukkan tempat digabung seperti: /disamping/, sebaliknya, di sebagai awalan ditulis terpisah: /mobil di jual/. Bagi orang yang tidak mengerti ejaan bahasa Indonesia atau tidak peduli, menganggap hal itu sudah benar. 

Demikian juga halnya berkenaan dengan struktur kalimat yang menyimpang. Hal itu menjadi negatif karena dikhawatirkan akan ditiru oleh generasi muda yang baru belajar berbahasa tulis. Jika sekarang seorang guru menyuruh muridnya mencari contoh tulisan semisal berita, murid akan cepat mencarinya di gawai.  Jika ditemuinya berita itu berasal dari berita online antimainstream, kebetulan tidak dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sang murid jelas rugi. Barangkali gurunya pun percaya bahwa yang didapatkan muridnya itu sudah betul.  


Sastra Indonesia “Baru”

Sastra Indonesia “baru” yang saya maksud adalah kelahiran sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan secara baru, yakni melalui media online yang menggunakan berbagai aplikasi seperti facebook, youtube, atau bias juga melalui whats up. Karya sastra itu dapat berupa puisi, cerpen, novel secara bersambung, naskah drama dan seterusnya yang ditulis oleh siapa saja yang merasa berbakat yang sebelumnya belum punya kesempatan menerbitkannya dalam bentuk karya tercetak melalui penerbit.  Bahkan ada peulis yang sudah biasa menerbitkan karyanya di media cetak, ikut nimbrung memublikasikannya melalui media online. 

Selama ini, bila seorang penulis ingin menerbitkan karyanya menjadi buku atau publikasi di suratkabar atau majalah, tentulah bersedia diseleksi oleh redaksi penerbit yang dituju. Karena, penerbit apa pun sangat memelihara kredibilitasnya sebagai penerbit, baik penerbit buku maupun penerbit koran atau majalah.  Karya-karya sastra yang bermutu yang lahir dari suatu penerbit, akan menjadikan penerbit itu sebagai jaminan mutu seperti halnya penerbit Balai Pustaka di zaman kolonial Belanda, pemuatan cerpen di Koran Kompas edisi Minggu, malajah sastra Horison (alamarhum), sebagai contoh.

Bagaimana dengan karya-karya sastra yang menjamur di media sosial, yang barangkali hanya melalui self sencorship? Berbicara mengenai mutu, tentulah pembaca yang akan menilainya, syukur-syukur ada kritikus yang tertarik untuk membicarakan karya-karya yang bisa. saja bermutu bagus. Dari segi jumlah audiens, media sosial sekarang telah melebihi pembaca media cetak seperti yang sudah dibicarakan di atas. 

Apakah perkembangan ini merupakan suatu kemajuan dari proses penciptaan karya sastra Indonesia? Memang, setiap kemunculan sesuatu yang baru, seperti kebebasan memublikasikan karya sastra tersebab kehadiran internet dan media sosial, melahirkan banyak harapan-harapan di samping juga ada kekhawatiran.  Harapan-harapannya adalah karena akibat kebebasan memilih jalur penerbitan karya, semakin terbuka dan semakin banyak lahir karya sastra di dunia, dan tentu juga di Indonesia.  Sementara soal mutu, yang mungkin ada kekhawatiran sebagian orang, diharapkan dapat pula melahirkan kritikus-kritikus sastra baru, terutama di  kalangan akademisi untuk memperkaya kajian kesastraan Indonesia.*    


*) Harris Effendi Thahar, profesor emeritus FBS Universitas Negeri Padang dan sastrawan Indonesia.






   

LIPSUS