Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 397)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Rabu, 01 Februari 2023


Oleh, Dalem Tehang


ALHAMDULILLAH. Plong sekarang hatiku, be. Emang jago bener babe ini ngelakin razia,” ujar Aris, beberapa saat kemudian.


“Bukan aku yang jago, Ris. Malah aku sebelumnya nggak tahu kalau mau ada razia dan kamarku jadi target. Ada kawan tamping yang dateng, dan buru-buru ngamanin botolku. Alhamdulillah, selamet semuanya berkat gerakan cepet dan tangkas tamping tadi,” jelasku, mengurai.


“O gitu, be. Syukur ya, ada aja yang ngebantu di saat kritis. Inilah hebatnya Tuhan, selalu kasih perlindungan dan keselametan. Bersyukur banyak-banyak, be. Kebayangkan kalau sampai botol ketangkep, bukan cuma barangnya hilang, tapi babe juga masuk strafsel selama 14 hari. Ujung-ujungnya nanti, nggak bisa ngurus remisi apalagi pembebasan bersyarat,” kata Aris, panjang lebar.


“Bener, Ris. Aku emang harus banyak-banyak bersyukur. Tadi pak Waras juga bilang gitu,” jawabku.


“Terimakasih, pak Waras. Sudah nasihatin babe buat banyak bersyukur. Kakak angkatku ini sering ngeyel kalau aku yang nasihati,” kata Aris, sambil memandang pak Waras yang duduk anteng bersandar pintu kamar.


“Yang pas itu, diri babe yang jadi penasihat diri sendiri, Ris. Kalau nasihat kita-kita ini, hanya sebatas nasihat lahir. Nasihat batin adanya ya pada diri babe sendiri,” sahut pak Waras, seraya melepas senyum sumringahnya.


“Gimana caranya bisa lakuin nasihat batin itu, pak?” tanyaku.


“Ciptain dulu keheningan pada batin, be. Tenang, nggak dipenuhi nafsu keinginan, juga nggak terkekang sama beragam alur di pikiran. Batin yang bisa mahami kesejatian, akan berdamai dengan keheningan. Darisitu, babe bakal temui nasihat-nasihat batin yang mumpuni,” urai pak Waras, dengan wajah serius.


“Nah, ribet juga ya, pak. Ciptain keheningan batin aja aku nggak paham kok, apalagi ngendaliin pikiran dan nyeimbangin sama keheningan batin,” ujarku, menyela dengan cepat.


“Semua butuh proses, be. Nggak ada sesuatu nuju kebaikan itu yang instan,” kata pak Waras.


“Ada pak yang nuju kebaikan bisa instan,” tiba-tiba Anton menyeletuk.


“Apa itu?” tanya pak Waras, spontan.


“Buat mie instan. Kan bisa bikin kebaikan untuk perut, ngilangin laper,” jawab Anton, diikuti ketawa lepasnya.


Sontak, kami semua tertawa mendengar penjelasan Anton. Anak muda yang dikenal cerdas ini memang pandai meningkahi suasana serius dengan celetukan-celetukan jenakanya.


“Bilang aja sih Anton kalau pengen sarapan mie instan. Pakai nyindir-nyindir segala,” kata Aris, yang masih berdiri di balik jeruji besi, sambil terus tertawa.


“Kalau mau mie instan, aku siap buatinnya kok, Anton,” tanggap pak Ramdan.


“Berhenti dululah sarapan mie instan terus. Lama-lama rusak juga usus kita. Nanti beli bubur ketan hitam aja,” kataku.


“Nah, cocok itu, be. Aku panggilin tamping yang dagang sarapan ya. Doain aja ada bubur ketan hitamnya,” ujar Aris, dan bergerak meninggalkan depan kamarku.


Tidak lama kemudian, Aris telah kembali berdiri di balik jeruji besi. Satu demi satu ia masukkan bungkusan dari plastik yang berisi bubur ketan hitam. Untukku, pak Waras, Anton, dan pak Ramdan. Dia sendiri memegang satu bungkus.


“Sudah aku bayar semuanya, be. Makan buburnya sambil diniati syukuran karena sudah diselametin dari razia tadi. Banyakin bersyukur dan berdoa ya, be. Kita nggak pernah tahu guliran waktu kejadiannya apa,” ujar Aris, yang langsung pergi dari depan kamarku.


“Oke, terimakasih banyak, Ris,” kataku setengah berteriak. Dan aku meyakini, Aris masih mendengar suaraku.


Selepas menikmati sarapan bubur ketan hitam, aku langsung mandi. Dengan memakai celana panjang jeans belel, berkaos tanpa lengan, dan bertopi, aku meminta tamping kunci membukakan pintu kamar. Aku ingin menemui tamping Kausar. Pria muda yang telah menyelamatkanku dari razia dinihari tadi.


Di ruang pintu utama masuk dan keluar Blok B, aku temui Udin yang sedang menunggu dagangannya. Rokok ketengan alias asongan. Aku tanyakan kamar Kausar.


“Kausar tamping komandan ya, om. Dia di kamar 5. Paling juga masih tidur,” kata Udin.


Aku juga menanyakan apa rokok kesukaan Kausar. Udin yang telah hafal dengan kebiasaan para tahanan dalam hal rokok favoritnya, langsung memberiku dua bungkus untuk Kausar.


Berbekal dua bungkus rokok kesukaannya, aku menuju kamar Kausar. Kamar tamping yang hanya di kunci saat malam itu, tampak sunyi. Hanya ada dua orang sedang tidur dengan lelapnya. Salah satunya, Kausar. 


Sesaat aku berdiri di ujung lantai tempat Kausar tidur. Tiba-tiba seorang tamping lain masuk kamar.


“Kausar baru tidur, om. Paling dhuhur nanti dia bangun,” kata anak muda berwajah ganteng yang memakai kaos bertuliskan tamping air tersebut.


“O gitu, ya sudah. Nanti aku kesini lagi aja,” jawabku, dan segera keluar dari kamar 5.


Langkahku menuju pintu keluar Blok B. Pos penjagaan dalam menjadi tujuanku. Ingin menemui komandan pengamanan yang selama ini menjadi sahabatku. Sayangnya, ia baru saja pulang. Setelah semaleman bertugas.


Tampak ada sipir Mirwan tengah duduk di teras pos penjagaan. Sedang asyik bermain games dari androidnya. 


“Assalamualaikum. Mohon maaf mengganggu, pak,” kataku, menyapa sipir Mirwan.


“Waalaikum salam. Oh om Mario. Duduk sini om,” sahut Mirwan dan langsung menghentikan keasyikannya bermain games dengan gadgetnya.


“Keren bener pagi ini, tumben om. Emang mau kemana?” tanya Mirwan, beberapa saat kemudian.


“Pengennya sih jalan-jalan ke pantai, tapi enakan kongkow disini ajalah. Ada kamu soalnya,” jawabku, sambil tertawa.


“Bisaan aja om ini nyenengin hati lo. Pinter bener terus bersedekah buat dapetin pahala,” tanggap sipir Mirwan, juga tertawa.


“Gitu ya, Mirwan. Dengan om nyenengin hatimu, berarti om sama aja bersedekah dan dapet pahala ya,” ucapku.


“Ya iyalah, om. Bersedekah itu sebenernya kan sangat ringan. Walau manfaatnya luar biasa. Kita kasih senyum atau buat orang tersenyum dan seneng hati aja, sudah masuk kriteria sedekah itu,” tutur sipir Mirwan.


“Tapi kenapa selama ini sedekah selalu dikaitin sama kasih uang?” tanyaku.


“Karena mayoritas orang kita kan hidupnya masih masuk kategori miskin, om. Makanya, sedekah terus-terusan dikaitin sama soal uang atau kasih-kasih bingkisan makanan. Akibatnya, orang yang nggak punya uang, atau punya uangnya pas-pasan, jadi ngerasa kecil hati buat sedekah. Padahal, nyingkirin pecahan beling di jalan juga termasuk sedekah,” urai sipir Mirwan lagi.


Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Penuturan sipir Mirwan memang sesuai kenyataan dalam keseharian. Ajaran keagamaan yang sesungguhnya sederhana untuk bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja, menjadi sesuatu yang terkesan sulit akibat pemahaman yang berbelit. (bersambung)

LIPSUS