Oleh, Dalem Tehang
“PEMAHAMAN kayak gini yang mestinya ditularin ke banyak orang, Mirwan,” sahutku.
“Hidup ini sebenernya sederhana, asal kita bisa pilih yang mudah untuk berbuat kebaikan, om. Ajaran agama juga bisa dijalani dengan gampang, nggak pakai ribet. Kanjeng Nabi sudah bersabda: permudahlah dan jangan mempersulit, berikanlah kabar gembira dan jangan membuat orang lari,” ujar Mirwan.
“Kenapa kayaknya hidup buat nuju kebaikan itu jadi ribet ya, Mirwan?” tanyaku.
“Karena pikiran kita yang ngebuatnya ribet, om. Padahal, semua urusan sudah ada yang ngatur. Kita tinggal jalani aja apa adanya dengan ikhlas dan yakin akan takdir. Selesai itu,” jawabnya, seraya tertawa renyah.
Seorang tamping regis datang, membawa dua kantong plastik berisi makanan. Ia memberitahu, bila aku ada kunjungan. Istri, anak-anak, dan adikku Laksa. Aku minta ia mengantarkan barang bawaan istriku ke kamar, baru kembali lagi ke tempatku yang tengah berbincang dengan sipir Mirwan.
Setelah tamping itu bergerak meninggalkan teras depan pos penjagaan dalam, baru aku menyadari jika saat itu aku hanya memakai kaos tanpa lengan. Karenanya, segera aku berpamitan dengan Mirwan, untuk menuju ke kamar juga. Berganti kaos. Yang ada tulisan WBP-nya. Karena hanya dengan pakaian berciri khas khusus tersebut, tahanan bisa masuk ke ruang kunjungan.
Dan beberapa saat kemudian, aku telah kembali berjalan menyelusuri selasar ditemani tamping regis. Melapor ke pos penjagaan dalam dan pos penjagaan luar, baru masuk ke ruang kunjungan keluarga.
Tampak istriku Laksmi, anakku Bulan dan Halilintar, juga adikku Laksa duduk santai di tengah-tengah puluhan orang yang mengunjungi anggota keluarganya.
Segera aku peluk Bulan yang langsung menyambutku dengan berdiri dan mengembangkan kedua tangannya, ketika langkahku mendekati tempat mereka duduk. Anak gadisku satu-satunya ini memang terbiasa mengekspresikan rasa rindunya.
“Nduk ayah sehat-sehatkan?” tanyaku, sambil terus memeluk erat Bulan.
“Alhamdulillah sehat. Kan ayah doain terus,” jawabnya dengan mencium pipiku.
Cukup lama kami berpelukan, hingga Halilintar menepuk bahu Bulan. Ingin segera bergantian. Seperti juga Bulan, ku peluk erat cah ragilku. Ku tarik kepalanya ke bahu.
“Ayah bangga sama kamu, le. Tetep jadi diri sendiri yang tangguh dan rendah hati yo,” bisikku ke telinga Halilintar.
Ia menarik kepalanya dari bahuku. Ditatapnya mataku lekat-lekat. Seulas senyum ia tunjukkan. Senyum ketenangan yang menyembunyikan sejuta kekuatan.
“Sudah dong, le. Giliran bunda meluk ayah. Ayah juga kan sudah pengen pelukan sama bunda,” kata istriku, Laksmi, yang telah berdiri di samping Halilintar.
Sesaat kemudian, giliran istriku yang tenggelam di dalam peluk kehangatanku. Ia merebahkan kepalanya di dadaku. Ia elus-elus punggungku. Menebarkan ketenangan dan kesabaran dibalik kerinduan seorang istri kepada suaminya.
“Ayah terus sehat ya,” ucap istriku, seraya mengelus-elus wajahku dengan penuh kasih sayang. Aku hanya menganggukkan kepala sambil melepas senyum.
Barulah adikku Laksa mendekat. Kami berpelukan sangat erat. Sesekali aku rasakan tangannya menepuk-nepuk punggungku. Memberi pesan kesabaran dan ketegaran.
“Kakak sehat ajakan. Kami semua terus doain kakak,” kata Laksa, setelah kami melepaskan pelukan.
“Alhamdulillah, berkat doa semuanya, kakak sehat aja,” jawabku, dan segera duduk di samping istri dan anak gadisku, Bulan.
Tanpa menunggu lama, Halilintar membuka kantong plastik yang ada di depannya. Mengeluarkan empat nasi bungkus dan empat air mineral botol.
“Ayah dapet lauk spesial hari ini. Dendeng buatan bunda,” kata Bulan, yang membukakan nasi bungkus untukku.
“Oh ya, terimakasih, bunda. Ayah emang sejak kemarin pengen makan dendeng. Eh, rupanya bunda langsung tergerak nyiapinnya. Alhamdulillah,” ucapku, dan mencium istriku, Laksmi.
Kami makan bersama, sambil terus berbincang ringan. Dan seperti biasanya, aku menyuapi istriku Laksmi. Terus menciptakan kebersamaan dalam situasi apapun. Bulan dan Halilintar banyak menceritakan kegiatan mereka. Bukan hanya di sekolah, tetapi juga di luar sekolah.
Melihat perkembangan keduanya yang telah semakin luas pergaulan sesuai dengan perkembangan usianya, aku sampaikan sebuah nasihat.
“Ayah pengen sampein nasihat Lukman Al Hakim kepada anaknya: Wahai anakku, yang pertama-tama diusahakan setelah Allah adalah mencari sahabat yang jujur. Karena ia seperti pohon, kalau kamu duduk di bawahnya, ia akan meneduhimu. Kalau kamu ambil buahnya, ia akan mengenyangkanmu, dan bila ia tidak memberimu manfaat, ia tidak akan merugikanmu. Pahamkan maksudnya, nduk sama tole,” kataku, kepada Bulan dan Halilintar.
“Iya, ayah. Mbak paham kok,” ujar Bulan, dengan menatapku.
“Adek juga paham, ayah. Terimakasih sudah kasih bekal buat adek bergaul,” kata Halilintar, sambil tersenyum riang.
“Alhamdulillah. Bagi ayah, juga bunda, yang penting kalian pinter-pinter dan selektif dalam mencari sahabat. Biar nggak salah pergaulan. Dan yang lebih penting lagi, jangan pernah tinggal solat,” lanjutku.
“Gimana ngadepi kawan yang apapun mbak lakuin selalu dinilainya negatif ya, ayah?” tanya Bulan, beberapa saat kemudian.
“Tetep dibawa santai aja, nduk. Emang kita nggak bisa ngerubah hati orang lain untuk berbaik sangka sama kita. Tapi, kita bisa melatih hati buat terus berbaik sangka sama orang lain. Itu aja kuncinya,” sahutku, dengan tenang.
“Kalau orang itu masih aja kepo nggak karuan, gimana dong,” ujar Bulan, dengan cepat.
“Kasih senyum aja, nduk. Kita kan nggak bisa nutup mulut orang lain buat nggak bicara, tapi kita bisa nutup telinga untuk nggak dengernya. Jadi, ya tetep santai dan enteng-enteng aja ngadepi apapun itu,” jelasku, seraya tersenyum ke arah Bulan.
“Ada lo ayah, kawan yang ngomongnya ngebuat sakit di hati, bahkan kerasa luka hati adek. Dibiarin aja ya,” kata Halilintar, menyela.
“Ayah pernah baca sebuah buku. Disana ada kalimat begini, le: setelah terluka, sebuah pohon nggak pernah nunggu permintaan maaf dari golok yang telah melukainya. Ia tetep tumbuh dengan perihnya luka. Ia sadar, saat ia tumbuh besar, lukanya akan mengering dan tertutup dengan sendirinya. Coba tole renungi kalimat itu ya. Ayah yakin, kamu akan makin bijak dan tegar ngadepi apapun juga ke depannya,” kataku, panjang lebar.
“Alhamdulillah, bunda bahagia bener saat ini. Karena anak-anak bisa langsung denger petuah dari ayah. Terkadang, bunda nggak ada kesempatan buat diskusi kayak gini sama anak-anak. Pulang kantor, rasanya badan ini sudah loyo, pikiran juga penuh bahkan sering kayak mau meledak,” kata istriku, Laksmi, sambil memelukku dengan erat. Ada tetesan air tumpah dari mata indahnya.
“Selama ini bunda telah beri yang terbaik buat anak-anak dan ayah. Nggak ada kurang-kurangnya. Jangan diberatin apa-apa yang belum sempet bunda lakuin ya. Ayah minta maaf, karena kesalahan ayah, sekarang bunda harus hadir sebagai sosok yang sempurna buat Bulan dan Halilintar, juga ayah,” tanggapku, dan memeluk Laksmi yang menangis tersedu. (bersambung)