Oleh, Dalem Tehang
TIDAK lama kemudian, istriku telah kembali menunjukkan wajah cerianya. Sambil tetap dalam pelukanku, ia meminta pengertian Bulan dan Halilintar kalau selama ini banyak waktunya yang tersita pada urusan pekerjaan, sehingga sangat terbatas kesempatan untuk berbincang dengan anak-anak.
“Nggak kok, bunda. Selama ini bunda selalu ngurus kami dengan maksimal. Nggak kurang-kurang. Malahan mbak sama adek yang nggak banyak bantu bunda ngurusi rumah,” tanggap Bulan, dan segera bergerak memeluk bundanya.
“Adek juga minta maaf ya, bunda. Sering nggak nemeni bunda beresin pakaian dan lain-lain,” Halilintar menimpali, dan juga bergeser dari duduknya untuk memeluk sang bunda.
Kami berempat pun berpelukan. Saling menguatkan di tengah keterpurukan. Saling menyayangi dan membanggakan dalam situasi yang acapkali memaksa jiwa kehilangan kepercayaan diri.
“Sing penting, mulai sekarang mbak sama adek mau ngerubah diri yo. Bantuin kegiatan bunda di rumah. Sing ringan tangan dan peduli. Apapun urusan di rumah, kerja sama yang baik. Saling berbagi tugas. Nanti kalau mbak sama adek sudah berkeluarga, nggak bingung harus kayak mana nangani urusan rumah,” kataku, menenangkan mereka.
“Iya, ayah. Mbak ajak adek untuk bantuin semua urusan bunda di rumah,” jawab Bulan dengan suara mantap.
“Bunda itu tempat kalian belajar. Jadi, ikuti polanya dalam ngurus keperluan di rumah. Kalian harus mandiri sejak sekarang, biar nanti makin besar lebih terampil. Nggak bengang-bengong karena nggak ngerti mau berbuat apa,” lanjutku.
Setelah suasana kembali ceria, mulailah aku bercerita mengenai adanya razia di kamar dengan target utama menemukan telepon selulerku. Gerakan cepat tamping Kausar, hingga diobrak-abriknya seisi kamar.
“Subhanallah, separah itu ya, kak. Kayak nggak ada hati aja itu para sipir dalam ngelakuin razianya,” kata adikku Laksa, setelah mendengar penuturanku.
“Emang masih banyak sipir yang nggak nganggep tahanan itu sebagai manusia, dek. Kalau kata kawan di kamar, para sipir yang ngerazia kayak penindas dan kami sang tertindas. Tapi, ya mau kayak mana juga. Apalah daya tahanan ngadepi keberingasan petugas yang ngerasa dirinya malaikat atau bahkan genderuwo,” sahutku, sambil tersenyum.
“Yang penting barang buktinya nggak ketahuan ya, kak,” lanjut Laksa.
“Alhamdulillah, dek. Di detik-detik terakhir, muncul tamping Kausar, nyelametin handphone kakak. Allah ngaturnya begitu. Nyelametin kakak dan kawan-kawan di kamar,” kataku lagi.
“Kayaknya ada yang bocorin itu, ayah. Diem-diem ada yang nggak suka sama ayah,” ucap istriku, Laksmi, menimpali.
“Beberapa kawan juga ngeduganya gitu, bunda. Ada yang jadi cepu di kamar ayah. Tapi biarin ajalah. Yang penting nggak timbul masalah baru,” jawabku.
“Ayah sudah temuin tamping yang amanin hp itu belum? Ayah harus sampein terimakasih lo sama dia,” kata Bulan.
“Tadi ayah sudah ke kamarnya, nduk. Tapi dia masih tidur. Nanti pasti ayah temuin dan ucapin terimakasih,” sahutku.
“Kakak makin hati-hati dan waspada ya. Namanya di penjara kan banyak aja yang iri dengki. Saling jatuhin alias kawan makan kawan,” tutur Laksa, mengingatkanku.
“Iya, dek. Kakak bakal makin hati-hati. Kita nggak tahu hati orang. Di depan kita bersikap baik, nggak tahunya ngehujamin pisau dari belakang,” sahutku.
“Yang penting, ayah jangan kehilangan pede. Inget, nggak semua yang dibakar api, bakalan hangus jadi debu. Batu bata sengaja dibakar biar lebih kokoh. Gitu juga kehidupan kita sekarang ini. Yang menimpa kita ini, nggak akan ngehancurin kok, justru bakal buat kita makin kuat,” kata istriku, sambil menatap wajahku lekat-lekat. Memasukkan semangat untuk terus bertahan dan tetap berdiri tegak.
“Kalau nurut adek, kayak mana sama peristiwa yang ayah alami ini?” tanyaku kepada Halilintar, yang sejak tadi hanya menjadi pendengar.
“Pilihan buat ayah selama disini emang cuma sabar dan ikhlas. Jadi, mau nemuin kejadian apapun juga, ya itu aja kuncinya,” kata cah ragilku, Halilintar, dengan santai.
“Sabar yang kayak mana maksudnya, dek,” ucap Bulan, menimpali perkataan adiknya.
“Sabar yang teduh, yang nggak ngeluh maksudnya, mbak. Nggak ada sabar itu yang menggebu-gebu. Lagian, kan nggak ada kata yang pas buat ngungkapin bentuk sabar itu seperti apa. Karena sabar itu hening di hati, tapi riuh dalam doa,” kata Halilintar, kali ini wajahnya dihiasi dengan senyuman.
“Wah, hebat bener cah ragil ayah ini kasih petuahnya. Bahasamu itu filosofis bener, le. Belajar darimana kamu,” ucapku, seraya memandang wajah Halilintar yang penuh senyum dengan ciri khasnya: cengengesan.
“Dari adek baca-baca aja, ayah. Kan tinggal buka hp kalau mau baca apa pun juga. Nggak perlu beli buku lagi,” jawab Halilintar, tetap dengan cengengesannya.
“Cerdik dan hebat kamu, le. Terus biasain nambah pengetahuan yo. Karena dengan ilmu yang banyak, kamu bisa masuk ke semua lini kehidupan. Baca, pahami, dan praktekin dalam kehidupan hari-harimu pengetahuan yang didapet. Yakin, nggak ada sesuatu pun yang sia-sia,” kataku lagi.
Saat kami masih berbincang, datang seorang tamping regis. Memberitahu, bila ada pengacaraku ingin koordinasi. Menunggu di ruang konsultasi hukum yang ada di lantai dua kantor rutan.
Aku mengajak istri, anak-anak, juga Laksa untuk menemui pengacara. Dan saat masuk ke ruang konsultasi hukum, telah menunggu disana Makmun beserta timnya.
“Wah, lagi kumpul keluarga rupanya ya, mas. Syukur kalau gitu, bisa sekalian silaturahmi,” kata Makmun, sambil menyalami kami semua.
Setelah berbasa-basi sebentar, Makmun menyampaikan agenda sidang yang akan dilanjutkan mulai hari Senin mendatang, yaitu mendengarkan keterangan saksi. Banyak hal disampaikan pengacara senior itu. Juga kami berdiskusi dengan hangat.
Hampir dua jam kami berdiskusi di dalam ruangan konsultasi hukum. Barulah semua berpamitan. Dan seperti biasa, aku mengantarkan istri dan anak-anak juga Laksa hingga ke pintu gerbang masuk ruang P-2-O.
Sambil terus memeluk Bulan, aku berpesan kepada istriku Laksmi untuk menjaga kesehatan dan menyeimbangkan waktu istirahatnya. Mendengar pesanku, Laksmi menganggukkan kepalanya seraya tersenyum.
“Yang penting, doa ayah jangan putus buat bunda dan anak-anak ya. Yakin aja, Allah pasti terus kasih kesehatan dan kekuatan lahir batin buat kami,” kata Laksmi, beberapa saat kemudian. (bersambung)