Oleh, Dalem Tehang
PINTU gerbang P-2-O dibuka. Giliran istri, anak-anak, dan Laksa masuk ke ruangan terakhir sebelum pintu utama rutan. Petugas yang membuka gerbang menatapku.
Sambil tersenyum, ia memberi kesempatan bila ingin mengantar keluargaku sampai ke gerbang depan. Namun, istriku segera menggelengkan kepalanya.
“Nggak usah, pak. Terimakasih perhatiannya. Tapi lebih baik, cukup sampai sini saja suami saya nganternya. Nggak enak sama yang lain, kok kayaknya kami diprioritasin,” kata isriku kepada petugas itu.
“Mbak, selama ini om Mario baik sama kami. Mau bergaul dan tetep bisa nempatin diri walau kenal deket dengan banyak sipir. Jadi, nggak apa-apa kalau om mau anter keluarga sampai ke ruangan P-2-O,” jawab petugas berusia 40 tahunan itu dengan santun.
“Ahamdulillah, kalau bapak nilai suami saya baik. Tapi, biar dia tetep ikuti aturan disini saja ya, pak. Itu lebih baik daripada diprioritasin. Nanti malah timbul fitnah atau iri dengki. Malah nggak baik buat semuanya,” kata istriku lagi.
Mendengar jawaban istriku, petugas penjaga ruang P-2-O itu tersenyum. Dan beberapa saat kemudian, keluargaku pun telah menghilang di balik gerbang tinggi. Untuk selanjutnya menjalani pemeriksaan akhir sebelum meninggalkan rutan. Kembali ke rumah.
Setelah melapor kepada sipir di pos penjagaan luar dan dalam, aku menuju kamar. Sesampai di pintu kamar, aku melihat petugas penanggungjawab Blok B tengah memberi pengarahan kepada penghuni kamar. Seusai mengucap salam, aku langsung duduk di pojok ruang depan.
“Jadi gini, om. Kita mau nanem pepohonan di tanah lapang depan blok, sebelum pager kawat nuju selasar. Biar makin asri halaman depan blok kita. Ada usulan, setiap kamar menyumbang tiga pohon. Bagusnya, bibit pohon yang bisa beri manfaat. Seperti pohon mangga, jambu, atau durian,” kata petugas penanggungjawab blok.
“Kita sudah sepakat untuk segera siapin bibit pohon buah-buahannya. Om ada saran,” ujar kap Yasin, menambahkan.
“Saya sepakat, pak. Nanti saya hubungi istri, sepertinya di rumah banyak bibit pohon buah-buahan,” jawabku, antusias.
Dengan spontan, petugas penanggungjawab Blok B memberikan telepon selulernya kepadaku.
“Silakan, kalau om mau hubungi istri,” kata dia, seraya tersenyum.
Aku hubungi istriku, dan langsung ia angkat. Tampak suara Laksmi penuh rasa terkejut saat mendengar suaraku.
“Ayah ada apa? Ini kami masih di jalan, belum sampai rumah,” kata istriku dengan suara tergagap.
“Nggak ada apa-apa kok, bunda. Di rumah masih ada beberapa bibit pohon buah-buahan ya. Boleh nggak kalau ayah minta, buat ditanem di rutan. Di halaman depan blok,” ucapku.
“O gitu, kirain ayah kenapa-kenapa. Masih ada bibit di rumah. Ayah perlunya berapa. Nanti bunda siapin,” sahut istriku, suaranya telah kembali tenang.
“Tiga aja, bibit mangga, jambu, dan durian,” kataku.
Dan setelah mendapat arahan petugas penanggungjawab Blok B, aku sampaikan kepada istriku untuk mengirimkan bibit pohon besok pagi ditujukan kepada penanggungjawab Blok B.
“Oke, ayah. Besok pagi bunda kirim bibit pohon yang dibutuhin. Kebetulan di rumah emang masih ada, jadi nggak perlu beli,” ucap istriku, Laksmi.
“Alhamdulillah, terimakasih ya, bunda. Gitu aja dulu ya. Assalamualaikum,” kataku lanjut, dan mematikan hubungan telepon.
“Nah, berarti kamar 30 sudah siap ya. Tinggal besok kita tanem bareng-bareng,” kata petugas penanggungjawab Blok B dengan wajah ceria.
Sepeninggal petugas penanggungjawab Blok B, pak Ramdan menyampaikan kekurangrespekannya atas inisiatif menanam pohon tersebut.
“Emang kenapa, pak?” tanya kap Yasin.
“Ya ngapainlah kita disuruh nanem pohon. Emang kita nanti rasain hasilnya, kan nggak juga,” celetuk pak Ramdan.
“Nggak gitu juga kali mikirnya, pak. Selain biar halaman depan jadi lebih asri, kan ada buah yang bisa dimakan tahanan juga. Ketimbang nanem kembang doang kayak yang ada selama ini,” sahut kap Yasin.
“Enakan ngelihat taneman kembang-kembang itulah, kap. Seger di mata dan ngebuat hati juga nyaman. Mandangi yang hijau-hijau kan menyegarkan,” kata pak Ramdan lagi.
“Taneman yang ada sekarang ya tetep dipertahaninlah, pak. Maksudnya petugas penanggungjawab blok tadi, biar makin beragam gitu lo penghijauannya. Buat terus ngejaga keseimbangan alam buat kita yang di dalem ngehirup udara seger,” jelas kap Yasin.
“Jadi gini, pak Ramdan. Dalam berbuat kebaikan, jangan kita selalu ukur dengan kita dapet manfaatnya apa nggak. Gitu juga soal nanem pohon ini. Kalau nanti ada buahnya, dan ada yang makannya, kita yang nanem juga dapet pahalanya. Walau kita nggak disini lagi,” pak Waras menengahi.
“Emang gitu? Dasarnya apa?” tanya pak Ramdan, masih belum sepakat.
“Kanjeng Nabi pernah bilang: tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang atau pun burung, melainkan tanaman itu menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat. Itu hadits Nabi lo, pak. Diriwayatin Muslim. Jadi, ide petugas soal nanem pohon ini, sebenernya ngajak kita terus dapet pahala atas sedekah kita,” urai pak Waras.
“Tapi kan kita nggak nikmatinya?” ucap pak Ramdan lagi, menyela.
“Bisa aja nikmati buahnya, asal pak Ramdan tetep di dalem sini sampai pohon itu berbuah,” timpal Anton, dan tertawa ngakak.
“Ah, kamu ini, Anton. Malahan doain aku lama-lama disini. Nggak gitu juga kali,” sahut pak Ramdan dengan cepat, diiringi suara tawanya.
Melihat pak Ramdan tertawa, kami semua juga ikut tertawa. Memang, pada akhirnya yang perlu kita pelajari dari kehidupan ini adalah bagaimana cara kita menerima suatu keadaan tanpa menyalahkan kenyataan.
Walau memang, terkadang kita terlalu berlebihan memikirkan sesuatu yang sebenarnya amatlah sederhana. (bersambung)