Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 401)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 05 Februari 2023


Oleh, Dalem Tehang


KARENA belum solat Dhuhur, aku bergerak ke kamar mandi untuk berwudhu dan kemudian solat di atas kasurku. Melihatku telah selesai solat, kap Yasin meminta pak Ramdan menyiapkan makan siang. 


Buru-buru aku membuka beberapa bungkusan kiriman istriku. Ternyata, banyak lauk makan. Mulai dari daging cincang, ayam bakar, hingga rendang. Ada juga dua bungkus abon sapi.


“Biar nggak rebutan dan ngirit, lauk kiriman istri om Mario aku potongin dulu. Sabar ya kawan-kawan,” kata pak Ramdan yang segera mengambil pisau dan memotong lauk yang dibelikan istriku.


“Lauk kiriman ibuku buat makan malem ya, pak?” tanya Anton.


“Lauk kiriman keluargamu buat sarapan besok, Anton. Yang dari om Mario ini aja bisa sampai buat kita makan  malem,” sahut pak Ramdan.


“Nggak nyangka ya, ternyata pak Ramdan ahli ngatur menu makan,” ujar kap Yasin, seraya tersenyum.


“Situasi dan kondisi memaksaku belajar untuk bisa ngaturnya, kap. Kalau nggak gitu, pada protes pas makan nggak ada lauknya. Padahal, kalau di rumah, aku tinggal duduk dan makan. Nggak pernah tahu urusan beginian,” kata pak Ramdan, sambil tertawa.


“Nggak usah ngomongin di rumah terus sih, pak. Disini kan rumah kita sekarang. Dan banyak pelajaran yang kita dapet selama disini. Ya dinikmati dan disyukuri aja,” kataku, menyela.  


“Kalau kata orang tua kita dulu: dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung,” ucap kap Yasin.


Setelah semua penghuni kamar 30 duduk melingkar di lantai atas, pak Waras memimpin doa sebelum makan.


“Alhamdulillah, siang ini kita makan lebih banyak lauk dan lebih nikmat. Tetep bersyukur ya kawan-kawan,” kata kap Yasin.


Selepas makan siang, aku meminta tamping kunci membuka gembok pintu kamar. Tujuanku menemui tamping Kausar. Sambil membawa dua bungkus rokok, dan satu bungkus panganan ringan pemberian adikku Laksa, ku datangi kamar 5.


“Tadi sudah kesini ya, om. Maaf, barusan tidur tadi itu,” kata Kausar begitu melihatku masuk ke kamarnya, dan duduk di lantai bidang tempat tidurnya. 


“Iya, aku lupa kalau kamu tugas sampai pagi. Terimakasih bantuannya semalem ya, Kausar. Nggak kebayang sama aku kalau kamu nggak cepet ambil botolku. Bisa masuk strafsel aku,” ucapku, dan menyalaminya serta menyerahkan bawaanku.


“Terimakasihnya sama komandan, om. Aku kan cuma jalani perintahnya aja. Ini banyak amat kasih aku rokok dan cemilannya om. Jadi nggak enak hati aku,” jawab Kausar, sambil tersenyum.


“Iya, nanti aku juga temui komandan. Tadi aku ke pos, beliau lagi lepas dinas. Sekadar ucapan terimakasih aja ini, Kausar. Nggak ada yang bisa aku perbuat lebih dari ini,” kataku.


Tamping berpembawaan low profile itu menjelaskan, ketika tim razia yang dipimpin langsung oleh kepala rutan masuk ke Blok B, komandan dengan cepat memerintahkan dirinya untuk mengamankan telepon selulerku.


“Kok komandan tahu kalau kamarku bakal dirazia ya, Kausar?” tanyaku, terheran.


“Kayaknya, KPR kasih isyarat sama komandan, om. KPR kan tahu kalau selama ini komandan deket sama om. Apalagi, KPR itu juga simpati sama om,” jelas Kausar.


“Kok kamu tahu kalau KPR simpati sama aku?” tanyaku lagi.


“Waktu om harus pindah dari kamar 20, KPR kan sempet diskusi panjang sama kepala rutan dan komandan. Dia pengennya, om tetep di kamar forman. Tapi karena ada aturan tertulis dari kementerian, akhirnya dia pasrah. Kalau mau dia, diakali aja biar om tetep disana. Tapi namanya penjara, ada aja nanti yang nyanyi dan sampai ke kanwil, malah jadi persoalan buat mereka,” urai Kausar, panjang lebar.  


“Tapi, waktu razia kemarin, malah KPR yang nunjukin pengen bener nemuin barang buktinya lo, Kausar. Sampai sipir yang di dalem, dua kali ngobrak-abrik semua isi kamar,” kataku lagi.


“Karena dia tahu, kalau botol om sudah aman. Dia kan sempet liat aku waktu jalan dari kamar om, dan tersenyum. Jadi biar kelihatan fair di mata kepala rutan dan anak buah, dia perintah lagi dengan serius gitu. Biasalah om, ngelindungi orang kan nggak selalu dengan cara berbaik-baik. Ada kalanya, kita kelihatan berlawanan, padahal sebenernya ya kasih perlindungan,” sambung Kausar, dengan melepas senyum renyahnya.


Aku hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Semakin memahami betapa dunia rutan sesungguhnya lebih sarat dengan beragam pola persandiwaraan yang elegan, dibandingkan dengan di dunia luar yang acapkali mengesampingkan kelenturan.   


“Sekarang botolku ada dimana?” tanyaku.


“Di komandanlah, om. Semalem dari kamar om itu, aku langsung kasih ke komandan. Amanlah kalau sama dia,” sahut Kausar.


“Alhamdulillah. Syukur kalau gitu, Kausar. Sekali lagi, terimakasih banyak bantuannya ya,” ucapku, dan beberapa saat kemudian berpamitan. 


Sekeluar dari kamar 5, aku melihat Oong tengah berjalan menuju kamarku. Aku panggil dia. Pria berbadan tinggi besar yang selalu penuh canda itu, menghentikan langkahnya.


“Wah, pas bener. Aku memang mau ke kamar abang. Mau kasih rokok kesukaan abang,” kata Oong, sambil memberikan sebuah bungkusan besar dan panjang.


Bungkusan itu segera aku buka. Ternyata berisi rokok cap Mangga satu slop. Segera aku mengucapkan terimakasih sambil menyalami Oong.


“Kok bisa dapet rokok ini, gimana ceritanya, Oong?” tanyaku, dan mengajaknya duduk di taman depan kamar 20.


“Minggu lalu, waktu istriku besukan, aku pesenin buat nyari rokok kesukaan abang ini. Rupanya dapet dia. Tadi kan dia dateng, dibawalah rokoknya. Alhamdulillah, abang nggak perlu beli rokok selama seminggu,” kata Oong, seraya tersenyum.


“Alhamdulillah, terimakasih ya, Oong. Sampein terimakasih juga buat istrimu,” sahutku, juga sambil tersenyum.


Saat kami masih asyik berbincang, pak Sibli dari kamar 19 memanggilku. Ingin keluar kamar juga. Segera aku panggilkan tamping kunci untuk membuka gembok kamar mantan anggota Polri tersebut.


“Manja amat sih, pak. Mau keluar kamar aja harus bang Mario yang manggil tamping kunci,” kata Oong kepada pak Sibli, ketika pria berbadan tinggi besar itu telah duduk bersama kami.


“Beda kalau bang Mario yang perintah, Oong. Nggak dikasih kimelan juga tamping kunci pasti mau bergerak. Karena dia kan kapan sreg, pasti berbagi sedekah,” jawab pak Sibli dan tertawa ngakak.


“Tapi, jangan sekali-kali minta, malah nggak akan dikasih sama bang Mario, gitu maksudnya ya, pak,” ucap Oong, menyela.


Kami pun langsung tertawa ngakak dengan ucapan Oong. Memang sudah menjadi kebiasaan di dalam rutan, bila sesama tahanan saling membaca kebiasaan masing-masing. Sehingga memudahkan untuk menjalin dan menjaga pertemanan. (bersambung)

LIPSUS