Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 402)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 06 Februari 2023


Oleh, Dalem Tehang


O iya, bang. Gimana yang disuruh nanem pohon buah-buahan itu, sudah punya belum abang bibitnya,” kata pak Sibli, beberapa saat kemudian.


“Sudah ada, di rumah. Tadi sudah telepon nyonya, besok pagi dikirim,” jawabku.


“Syukur kalau gitu. Di kamarku belum pasti, kawan-kawan lagi mau telepon ke rumah masing-masing dulu sore nanti,” ujar pak Sibli.


“Diusahain maksimal aja, pak. Toh itu cuma himbauan, bukan kewajiban,” kataku lagi.


“Iya sih, sekadar himbauan. Cuma kan kalau nggak diikuti, bisa aja jadi masalah,” tanggap pak Sibli.


“Makanya nggak usah mikir jadi masalah, pak. Pasti nggak bakal jadi masalah. Apa yang ada di pikiran kita itulah biangnya,” kata Oong, menimpali.


“Gimana kalau kita nggak mikirin sesuatu jadi masalah, nggak tahunya jadi masalah?” tanya pak Sibli.


“Kalau sudah kejadian, itu namanya takdir, pak. Terima aja dengan ikhlas dan tetep berprasangka baik sama Tuhan atas takdirnya,” sahut Oong dengan santai.


“Itu pasrah, bukan terima takdir, Oong,” pak Sibli menyela dengan cepat.


“Kita ini sudah diremote sama Tuhan, pak. Tahun ini kita masuk bui, kita kenal, dan sebagainya. Maka kata orang, musuh terberat kita sebenarnya hawa nafsu sama ego yang ada di diri kita. Kalau kita bisa ngalahinnya, hidup ini tenang, tenteram, dan damai. Pasrah sama takdir itu lebih baik ketimbang ngolah pikiran kita yang sangat terbatas,” tutur Oong.


“Gimana mau tenang, tenteram, dan damai hidup di penjara, Oong. Kamu ini banyak nebar mimpi aja,” kata pak Sibli lagi.


“Ketenangan, ketenteraman dan kedamaian itu adanya di hati, pak. Bukan karena tempat atau situasi. Kalau kita mikirnya, gimana mau tenang wong hidup di penjara, ya nggak bakal bisa tenanglah selama kita masih disini. Kuatin jalani hidup ini dengan perbesar peran batin, bukan pikiran atau lahiriyah kita, pak. Yakinlah, mau di hutan belantara sekalipun, yang banyak binatang buasnya, kita tetep bakal ngerasa tenang dan damai,” urai Oong dengan suara serius.


“Kenapa ya, setelah kenal bang Mario jadi nambah kawan-kawan yang bawaannya kayak filosof semua. Padahal sebelumnya, banyak kawanku disini yang aneh-aneh,” celetuk pak Sibli.


“Itu tandanya pak Sibli mulai nemuin arah nuju kebaikan di dalem sini. Perkawanan pun sudah diseleksi sama Yang Di Langit, cuma sama orang tertentu aja,” jawab Oong lagi.


“Jadi, bukan karena bawaanku yang kasar dan sering ngomong semaunya ya, kalau sekarang cuma sedikit yang mau berkawan denganku,” kata pak Sibli, ada rasa penasaran.


“Mungkin itu juga salah satu penyebabnya, pak. Tapi nggak usahlah masukin soal pembawaan pak Sibli itu jadi salah satu penyebab. Yakini aja, semua karena Yang Di Langit emang turun tangan nyeleksi pertemanan pak Sibli, biar lebih baik ke depannya,” tanggap Oong dengan santai.


“Memang sih, pak. Kalau kita kurang lembut dan santun, dan lebih sering bersikap kasar atau keras hati, bakal buat kawan kita satu demi satu menjauh. Tapi seperti kata Oong tadi, nggak usah jadi beban pikiran. Yang nurut pak Sibli ada pembawaan kurang bagus, ya tinggalin. Toh, sebaik-baiknya manusia tetep aja nggak akan sempurna,” kataku, menimpali.


“Aku ini dulu emang suka marah, ngomong selalu kasar, bang. Ngeremehin oranglah intinya. Akhirnya, aku sering bener benturan sama orang. Ditambah lagi kebiasaanku minum-minuman keras,” kata pak Sibli, yang spontan ditutup mulutnya oleh Oong.


“Kenapa kamu ini, Oong. Aku lagi ngomong kok kamu tutup mulutku,” sergah pak Sibli, dengan nada tinggi.


“Maaf, pak. Aku refleks nutup mulut pak Sibli tadi biar nggak keterusan ngumbar aib diri sendiri. Inget lo, selama ini Tuhan sudah nutup rapet-rapet aib yang ada, masak sampeyan malah mau ngebukanya sendiri. Itu yang Tuhan larang, pak,” jelas Oong dengan wajah serius.


“O gitu maksudmu, Oong. Kirain ngapain kamu berani-beraninya nutup mulutku waktu aku lagi ngomong. Ya, aku paham sekarang,” ucap pak Sibli, memahami apa yang dilakukan Oong. 


“Jadi gini, pak. Maaf ini. Tuhan ngelarang ceritain aib kita ke orang lain. Karena selama ini sudah ditutup sama Dia. Dari ajaran itu, kita harus lebih dalem mahaminya. Kalau aib kita sendiri aja nggak boleh diumbar, tentu kita lebih nggak dibolehin nyeritain aib orang lain. Kan itu makna yang harus kita pahami dan jalani,” tutur Oong.


“Hebat kamu, Oong. Caramu kasih pelajaran ini yang aku suka. Lugas, sederhana, dan apa adanya. Nggak kayak penceramah-penceramah yang biasa kasih nasihat di banyak acara itu,” ujar pak Sibli, seraya tersenyum.


“Nggak boleh banding-bandingin orang, pak. Yang penting itu isi nasihatnya. Kalau kata banyak orang: nggak penting siapa penyanyinya, yang penting nyanyiannya,” sahut Oong, seraya tersenyum. 


“Tapi kenyataannya, kita kan masih lebih sering tertarik sama siapa yang nyanyi ketimbang isi lagunya, Oong,” lanjut pak Sibli.


“Ya nggak apa-apa, pak. Tapi, seiring waktu, pelan-pelan kita ubah pikiran kita. Yang penting itu isi nyanyiannya, bukan siapa penyanyinya,” sambung Oong dengan santai.


Tamping kunci berkeliling. Membuka semua pintu kamar di Blok B. Saatnya para tahanan menikmati kebebasannya. Berkeliaran di kawasan rutan. Tampak pak Waras dan pak Ramdan keluar kamar. Telah membawa peralatan solatnya. Aku berpamitan kepada pak Sibli dan Oong untuk ke kamar. Mengambil kain sarung dan kupluk. Karena sebentar lagi waktu solat Ashar akan tiba. 


“Ada tanding volly antara Blok A sama Blok B lo nanti, om. Kasih support dong,” kata Rudy, setelah aku kembali duduk di kursi taman bersama Oong dan pak Sibli.


“O gitu, kok om nggak diajak main sih, Rud,” sahutku.


“Om sudah ketuaan. Kasihan kalau ikut pertandingan. Kalau sekadar main biasa, ya bolehlah,” kata Rudy, sambil tertawa.


“Eh, Rud. Jangan lihat bang Mario karena usianya dong. Lihat semangat dan kecerdikannya main volly,” ujar Oong, menimpali.


“Rudy kan sudah tahu gaya om Mario main. Emang kalau kecerdikan nempatin bola, bolehlah. Banyak lawan yang terkecoh. Tapi kan smash-nya nggak kuat lagi. Sedang lawannya, anak-anak muda semua, tenaganya masih pada oke,” lanjut Rudy.


“Emang kalau faktor umur itu nggak bisa diajak toleransi, bang. Aku tahu, abang pengen bener bisa ikut tanding volly, tapi lebih baik emang sadar umur itulah. Bener yang dibilang Rudy itu,” pak Sibli menimpali.


“Iyalah, pak. Aku kan cuma main-main aja ngomong tadi itu. Siapa tahu, bisa masuk dalam tim Blok B, kan keren,” kataku, dan tertawa.


Tiba-tiba tangan Rudy bergerak ke arah kerah kaosku, dan membuang sesuatu. Juga dengan cepat. 


“Apa itu tadi, Rud?” tanyaku.


“Ulet, om. Kok bisa ya, ada ulet di kerah kaos om,” ujar Rudy.


“Kita kan duduk deket taman, ya ada aja ulet yang terbang kalilah, Rud,” jawabku, sekenanya.


“Bahaya kalau urusan sama ulet, karena dia hewan melata yang paling nyakitin,” kata Oong.


“Kenapa gitu?” tanyaku.


“Karena kalau dia nempel di daun, pasti daunnya berlubang. Kalau nempel di buah, pasti aja buahnya busuk. Dan kalau nempel di badan, gara-gara ulet itu badan jadi gatel-gatel,” ucap Oong.


“Jadi, kalau ada orang yang senengnya ngeghibah, fitnah, iri dengki, kayak ulet ya, Oong,” kata pak Sibli.


“Nah, nggak tahu aku kalau soal itu, pak. Aku cuma paham soal uletnya. Binatangnya. Nggak berani kaitin sama manusia,” jawab Oong.


Suara adzan Ashar terdengar dengan kencangnya. Segera kami meninggalkan taman depan kamar 20, dan beriringan menuju masjid. (bersambung)

LIPSUS