Oleh, Dalem Tehang
SELEPAS solat Ashar, seperti biasanya ustadz Umar langsung berdiri dan menyampaikan tausiyahnya. Sekitar 50-an jamaah bersiap untuk mendengarkan pencerahan batin.
Dengan suara khasnya yang berat, ustadz Umar menyatakan, ada empat hal yang bisa mengangkat manusia kepada derajat tinggi walau amal dan ilmunya sedikit. Yaitu kesabaran, kesederhanaan, kemurahan hati, dan akhlak yang baik.
“Dan keempat hal tersebut sangat bisa kita pelajari dan jalankan selama menjadi tahanan di rutan. Karena itu, jangan sia-siakan kesempatan kita berada di penjara ini terkecuali untuk terus memperbaiki diri,” kata ustadz Umar.
Ia menambahkan, hidup di dalam penjara memang dituntut harus penuh dengan kesabaran, juga kesederhanaan. Sebaliknya, agar bisa tetap merasa tenang, kita dituntut untuk terus berkemurahan hati dengan menunjukkan toleransi yang tinggi kepada sesama. Dan dengan mempraktikkan akhlak yang baik, kita akan menjadi tahanan yang jauh dari berbagai persoalan baru.
“Jadi, kalau kita memahami rahasia kenapa kita ditepikan dari dunia luar, tidak lain karena Allah memberi kita kesempatan untuk menaikkan derajat kemanusiaan kita. Persoalannya kembali kepada diri kita masing-masing, apakah kita akan memanfaatkan kesempatan yang ada ini dengan baik, atau justru menambah pengetahuan yang makin menjerumuskan kita ke dalam dunia hitam,” urai ustadz Umar.
Mengutip pernyataan Imam Al-Ghazali, ustadz Umar mengatakan: “Allah tidak pernah salah mempertemukan kita dengan seseorang. Dimana hadirnya seseorang tersebut membawa salah satu di antara dua hadiah, yakni kebahagiaan dan pengalaman.”
Menurut mantan dosen bertubuh tambun ini, untuk bisa mewujudkan empat hal menuju pengangkatan derajat kemanusiaan, maka seseorang memerlukan ketenangan di dalam batin dan pikirannya. Yaitu dengan melakukan taghaful dan tajahul.
“Taghaful adalah melupakan kesalahan orang lain, sedangkan tajahul adalah tidak ambil pusing dengan perkataan orang. Praktikkan saja kedua hal tersebut, inshaallah hidup kita akan penuh ketenangan untuk selanjutnya meraih peningkatan derajat kemanusiaan kita,” ujarnya lagi. Menyemangati.
Mengakhiri tausiyahnya petang itu, ustadz Umar mengingatkan para tahanan yang menjadi jamaah solat Ashar, agar jangan menunggu waktu yang tepat untuk berubah, tetapi berubahlah selagi masih ada waktu.
“Berbenahlah selagi Allah memberi kita usia. Berubahlah sedikit demi sedikit. Sebab, merubah segalanya dengan sertamerta pastilah berat. Dan, hidayah itu dijemput dengan usaha kita, bukan ditunggu,” tutur ustadz Umar mengakhiri kultumnya.
Seusai mendengarkan tausiyah, aku langsung meninggalkan masjid. Suara suporter dari tepian lapangan yang menyemangati pertandingan tim volly dari Blok A dan Blok B, benar-benar riuh. Bergemuruh. Menumbuhkan hasratku untuk menyaksikan permainan olahraga yang juga aku sukai itu.
“Om, sini,” kata Rudy, saat melihatku berdiri di bawah atap selasar. Menonton pertandingan volly.
Aku pun mendekat ke arah Rudy. Yang berdiri bersama beberapa pemain dan pelatih tim Blok B. Tiba-tiba pak Sibli memegang tanganku. Ia berdiri di sebelahku.
“Kita kalah ya, Rud?” tanya pak Sibli kepada Rudy, yang terus berteriak penuh semangat memberikan support kepada para pemain tim Blok B.
“Iya, pak. Set pertama kita kalah. Mudah-mudahan di set kedua ini kita menang,” jawab Rudy.
Permainan volly sebenarnya berjalan berimbang. Kedua tim saling menunjukkan smash-smash yang tajam dan keras. Juga trik-trik pergerakan bola yang sering tidak disangka pergerakannya.
Hanya saja tampak tim Blok B kurang kompak. Para pemain masih sering menunjukkan ego masing-masing. Selain, kebugaran badan pemain Blok B juga kalah jauh dibandingkan para pemain tim Blok A.
Set kedua kembali dimenangkan oleh tim Blok A. Sebelum memasuki set ketiga, pelatih Blok B meminta pemain berdiskusi di pinggir lapangan. Semangat mereka untuk terus berjuang membuatku kagum. Meski aku memahami, untuk memenangkan sebuah pertandingan, tidaklah cukup bermodalkan semangat.
“Coba minta masukan sama om Mario ya. Bolehkan pak,” kata Rudy kepada pelatih Blok B. Pria seumuranku yang sudah lebih dari dua tahun mendekam di rutan.
Sambil tersenyum, pria yang hanya keluar kamar untuk berolahraga itu, memintaku memberi masukan. Aku sampaikan agar pemain tim Blok B lebih kompak, dan tidak menghabiskan tenaga dengan terus-terusan melakukan smash keras. Melainkan memainkan gerak tipuan bola dan mengarah ke posisi kosong.
“Tapi mereka itu smashnya keras-keras lo, om. Masak kita lembek,” kata seorang pemain, memprotes.
“Kita jangan ikuti gaya lawan. Kita main sama gaya kita sendiri. Lagian, tenaga mereka emang lebih kuat, tim kita kan banyak yang ngos-ngosan di lapangan. Perkuat aja blocking, kan sudah paham kebiasaan mereka ngarahin smashnya kemana. Jaga itu lapangannya. Bales dengan serangan balik yang lembut aja,” jelasku.
“Maksud om Mario ini lebih banyak gunain otak, gitukan,” sahut sang pelatih.
“Iya, maksudnya gitu. Juga manfaatin kekuatan mereka dengan ngubah gaya main kita. Cermat-cermat nempatin bola, smashan nggak mesti keras. Yang penting itu kan dapet point,” sambungku.
Tiba-tiba Pak Sibli menyela. Ia berjanji akan membelikan semua pemain Blok B sebungkus nasi ayam bakar bila memenangi pertandingan petang itu.
“Beneran janjinya ini, pak,” kata para pemain. Serempak.
“Ya benerlah. Masak aku bohong. Ayo yang semangat. Inget, mainnya pakai otak, jangan cuma otot. Ikuti arahan pelatih dan masukan bang Mario tadi,” jawab pak Sibli, seraya mengeluarkan uang Rp 500 ribu dan menyerahkan kepada pelatih.
Aku juga mengeluarkan uang dari kantong dan meminta Rudy segera ke kantin untuk membeli air mineral gelas satu dus serta tiga bungkus permen karet. Ditambah gorengan.
Melihat adanya dukungan nyata dari pak Sibli dan aku, pelatih serta pemain volly Blok B bertambah semangatnya. Dan mereka memasuki lapangan dengan kepala tegak. Penuh percaya diri. (bersambung)