Oleh, Dalem Tehang
PERMAINAN set ketiga tetap berlangsung dengan seru. Tim Blok A terus membombardir pertahanan tim Blok B dengan pukulan-pukulan keras. Namun, semua telah diantisipasi dengan pergerakan pemain tepat pada arah pukulan tersebut datang.
Para pemain tm volly Blok B juga mulai menunjukkan kekompakannya. Saling mengisi dengan pergerakan yang cepat dan terukur. Mereka tidak lagi memainkan smash-smash kerasnya, tetapi memilih menempatkan bola di posisi kosong. Lebih lembut dan mematikan.
Perubahan gaya ini, membuat tim Blok A semakin meningkatkan ritme serangannya. Dan kian penasaran, karena banyak pukulan keras mereka bisa dipatahkan dengan baik oleh pemain Blok B, bahkan melakukan serangan balik dengan kecohan-kecohan.
Akibat tingginya intensitas serangan disertai rasa penasaran yang mengemuka, perlahan tapi pasti, para pemain tim Blok A pun kehabisan tenaga. Dalam situasi demikian, giliran pemain tim Blok B memanfaatkan kesempatan.
Melalui umpan-umpan pendek, pola pukulan bola lebih banyak diarahkan kepada sisi lapangan yang kosong. Giliran pemain Blok A yang kerepotan. Akhirnya, dengan cukup cepat, permainan pada set ketiga dimenangkan oleh tim Blok B.
Saat akan memasuki set keempat, kembali pelatih Blok B memintaku memberi saran. Aku menyampaikan, jika pemain Blok A merubah gaya permainan dengan memainkan pola yang sama, maka tim Blok B harus bermain keras lewat smash-smash yang diyakini bisa mendapatkan point.
“Itu juga kalau kawan-kawan ngerasa sudah punya tenaga lagi. Tapi kalau belum maksimal, baikan tetep main gaya slow aja. Mainkan penempatan bola ke arah yang kosong dan tak terjangkau lawan. Itu aja kuncinya,” saranku.
Dan ternyata, pelatih tim Blok A tidak kalah cerdik. Ia memerintahkan pemainnya untuk menerapkan gaya lembut. Mengimbangi pola yang dimainkan tim Blok B pada set ketiga. Melihat perubahan gaya tersebut, pelatih tim volly Blok B segera memberi perintah agar atletnya bermain agresif, dengan memperbanyak smash-smash tajam.
Permainan agresif oleh tim Blok B membuat pemain tim Blok A kocar-kacir. Mereka seakan kehilangan arah untuk menerapkan pola permainan yang diinginkan sang pelatih. Sering terjadi kesalahpahaman sesama pemain di lapangan. Perolehan point pun berjalan cepat, hingga akhirnya tim Blok B kembali menang. Posisi menjadi 2-2.
Pada saat jeda, sebelum pertandingan dilanjutkan ke set kelima atau penentuan pemenang, suara riuh-rendah suporter kedua tim terus membahana. Memberi semangat pemain masing-masing. Aku dan pak Sibli yang spontan menjadi pendamping pelatih Blok B, juga turut menyemangati pemain.
Dan saat diminta memberi saran kembali, aku lebih menitikberatkan kepada pengumpan. Aku minta ia lebih cerdik dalam memanfaatkan kesempatan. Dengan tidak selalu memberi umpan panjang dan tinggi kepada pemain pemukul, tetapi harus berani memberi umpan-umpan pendek.
“Bahkan, kamu juga harus berani dengan mendadak menggulirkan bola menempel di net atau tempat kosong di dekat net. Karena biasanya, lawan akan mengawasi umpan panjang dan tinggi, kalau dengan gerak spontan kamu geserkan bola ke bidang lawan dekat net, mereka pasti tidak menduga,” uraiku sambil memandang pemain pengumpan tim Blok B.
Menjelang kedua tim bersiap-siap untuk kembali masuk ke lapangan, mendadak terdengar suara sirine dari pos penjagaan dalam. Pertanda seluruh WBP wajib kembali ke kamar masing-masing.
Ratusan tahanan yang masih berada di lapangan serentak berteriak: “huuu...!” Ekspresi dari kecewa berat. Karena pertandingan seru petang itu harus berakhir tanpa pemenang akibat terbatasnya waktu bagi WBP menikmati jam bebasnya di luar sel.
Walau kecewa berat, namun tidak ada satu pun tahanan yang berani menyampaikan protesnya. Disiplin tinggi menjadi harga mati sebagai penghuni rutan. Yang berani melakukan pembangkangan dipastikan akan mendapatkan hukuman.
Setelah pemain kedua tim bersalaman, juga wasit dan pelatih, kami berjalan bersama menuju pintu masuk Blok B.
“Gimana uangnya ini, pak. Tetep buat anak-anak beli makan atau gimana. Kan nggak menang,” kata pelatih kepada pak Sibli yang berjalan bersamaku.
“Tetep buat anak-anaklah, pak. Kan bukan mau kita berakhir kayak gini. Lagian, emang nggak semua pertandingan harus ada pemenangnya. Yang penting, kita semua sama-sama puas dengan permainan tim kita. Yang sebelumnya jeblok, bisa bangkit dan samakan keadaan,” sahut pak Sibli dengan suara santai.
“Terimakasih supportnya, pak. Buat om Mario juga, terimakasih saran-sarannya. Aku salut sama pola main yang om ajari tadi. Nggak perlu banyak nguras tenaga, tapi memang harus ekstra di kecermatan melihat posisi lawan,” ujar sang pelatih, seraya menyalamiku dan pak Sibli.
“Kalau soal gaya main, bang Mario ini jagonya, pak. Dia kan pernah jadi pemain inti tim PON, dan setelahnya jadi pelatih volly tim-tim besar,” ucap pak Sibli, menimpali.
“O gitu, pantes sarannya pas bener gitu dimainin di lapangan. Nundukin kekuatan lawan dengan nempatin bola secara lembut,” tanggap sang pelatih.
“Nggak, pak. Bohong pak Sibli ini. Aku nggak pernah masuk tim PON, nggak pernah juga jadi pelatih volly. Kebetulan aja waktu SMA dan kuliah, suka main. Jadi sedikit ngerti,” jelasku dengan buru-buru.
“Yah, bang Mario mah lo. Diangkat namanya kok malah ngempesin sendiri. Penjara kan emang tempatnya orang jual kisah sih, bang. Anggukin aja sih omongan besarku. Nggak ngerugiin orang ini,” kata pak Sibli dengan pelan, sambil menggamit tanganku.
“Omongan pak Sibli itu kegedean, nanti pelatih nyangka beneran, kan malah repot kalau sedikit-sedikit dia minta masukan. Aku kan nggak ngerti-ngerti amat soal trik main volly, pak. Kebetulan aja saranku tadi pas. Belum tentu besok-besok, saranku juga jitu,” kataku, seraya tersenyum.
“Iya juga ya, bang. Gara-gara aku kegedean omong, malah bisa nambah urusan abang juga ya. Maaf ya, bang. Aku emang kadang-kadang keceplosan semaunya aja,” sambut pak Sibli, juga sambil tersenyum.
Setelah pak Sibli masuk ke kamarnya, sel 19, aku melanjutkan langkah menuju ke kamar 30. Tempatku bersama 11 tahanan lainnya tinggal.
Pada saat itu, aku melihat tamping kunci telah berdiri di depan pintu kamar, siap untuk menggembok. Melihatku masih berjalan dengan santai di selasar, ia sabar menunggu seraya melepas senyumnya. Ketika telah berdiri di depannya, aku keluarkan sebatang rokok dan memberikan kepada tamping tersebut. Spontan, senyumnya merekah. Ada guratan bahagia di wajahnya. Aku pun ikut tersenyum. (bersambung)