Oleh, Dalem Tehang
“WAH, om sekarang sudah berpangkat asisten pelatih volly kita rupanya. Selamat ya, om,” kata kap Yasin, begitu aku masuk ke dalam kamar. Dan dengan antusias, ia menyalamiku.
“Nggaklah, kap. Tadi diajak diskusi aja sama pelatih. Sama pak Sibli juga. Dia minta masukan, ya kami kasih masukan,” kataku, menanggapi ekspresi kap Yasin yang berlebihan.
“Tapi om hebat, saran om emang jitu. Tim kita yang sudah kalah 2-0, akhirnya bisa nyamain jadi 2-2. Padahal, tim Blok A itu selama ini nggak pernah ada yang bisa nandingi,” lanjut kap Yasin.
“Yang hebat itu pemain sama pelatihnya, kap. Ngatur strategi dan ritme mainnya pas. Aku cuma kasih saran, yang kebetulan diterima dan dipraktekin di lapangan,” sahutku lagi.
“Apapun kata om, kami semua ikut bangga. Sekecil apapun, berkat saran om akhirnya tim kita bisa nandingi tim Blok A, sang juara melegenda di rutan ini,” Anton menimpali.
“Alhamdulillah, kalau apa yang ku lakuin bisa ikut ngebanggain kawan-kawan. Yang perlu diinget, satu gaya permainan yang hari ini dianggep sukses, bukan jaminan bisa sukses di pertandingan lainnya,” tanggapku, dengan santai.
“Maksudnya gimana sih, om?” tanya Anton.
“Karena setiap situasi mesti dikiati dengan gaya tersendiri, Ton. Nggak bisa sama strateginya. Itulah makanya, banyak orang bilang, kepemimpinan dalam tingkat apapun nggak bisa melulu ngandelin kepinteran, tapi juga diperluin seni mainin peran,” kataku.
Sesaat kemudian aku mengambil kaos dan training dari loker, langsung bergerak ke kamar mandi. Baru selesai membersihkan badan, terdengar suara adzan Maghrib. Pak Ramdan bergegas menyiapkan sajadah untuk kami solat berjamaah. Pak Waras memintaku menjadi imam.
Saat kami tengah solat, terdengar suara beberapa orang tengah berbicara di luar jeruji besi kamar. Selepas salam, aku meminta pak Waras memimpin doa. Cukup panjang dan khusu’ pria seumuranku ini merangkai pengharapan kami kepada Sang Penguasa, Allah Rabbul Izzati.
“Nah, itu mereka sudah selesai solat dan doanya. Temui aja langsung om Mario,” terdengar sebuah suara dari balik jeruji besi.
Aku melihat ke arah luar. Tampak pelatih tim volly Blok A berdiri di balik jeruji besi, bersama seorang sipir dan tamping. Sipir memanggilku. Setelah aku mendekat, pelatih tim volly Blok A menyalamiku. Mengenalkan dirinya: Hamid.
“Saya minta waktunya buat kita ngobrol, bisa kan, pakde,” kata Hamid, dengan serius.
“Kalau sekarang, kayaknya nggak bisa lo. Bukan cuma karena kamarku dikunci, tapi aku bisa dimarah pak Waras kalau habis solat maghrib sampai dateng waktu isya nggak baca Qur’an,” sahutku, dengan serius juga.
“O gitu, pakde. Jadi besok kalau gitu ya. Mohon maaf sudah ganggu aktivitas ibadah pakde,” ucap Hamid, kali ini sambil menundukkan wajahnya. Mengekspresikan dengan sungguh-sungguh penyesalan atas ketidaktepatan waktu yang diinginkannya untuk berbincang denganku.
“Inshaallah, besok bisa. Nggak usah minta maaflah, Hamid. Santai aja. Cuma aku emang bisa kena marah habis-habisan sama suhuku pak Waras, kalau sampai nggak baca Qur’an,” kataku, seraya tersenyum.
Setelah mengucapkan salam, Hamid didampingi seorang sipir dan tamping, meninggalkan kamarku. Aku bergegas naik ke lantai bidang tempat tidurku. Mengambil Alqur’an dari atas rak dan membacanya dengan khusu’. Pun menelaah makna ayat demi ayatnya.
Hingga suara adzan Isya menggema dari masjid di dalam kompleks rutan, baru aku sudahi membaca kitab suci tersebut. Kembali pak Waras memintaku menjadi imam solat berjamaah.
Aku menyadari, pria yang terseret kasus peredaran garam beryodium tanpa izin tersebut, tengah mengkaderku untuk terbiasa menjadi imam solat. Sekaligus memaksaku untuk bisa lebih banyak menghafal surah-surah pendek di dalam Alqur’an.
Ketika kami penghuni kamar 30 tengah makan malam bersama, kap Yasin menanyakan, apa kira-kira yang membuat Hamid, pelatih tim volly Blok A, ingin berbicara denganku. Hanya sekitar satu jam setelah pertandingan seru petang tadi.
“Nggak tahulah apa yang mau dia bicarain, kap. Kan aku belum ngobrol sama dia,” jawabku. Santai.
"Kira-kira aja, om. Nurut feeling om, kira-kira apa yang mau disampein si Hamid tadi,” ucap kap Yasin, penasaran.
“Aku kan bukan peramal dan pengira-kira sih, kap. Ya mana bisa tahu,” sahutku, sambil tertawa.
“Kalau nurut perkiraanku, pelatih tadi cuma pengen kenal aja sama om Mario, kap. Karena tadi pas tanding kan om Mario dampingi pelatih tim kita kasih strategi buat pemain,” pak Ramdan, menimpali.
“Kalau cuma pengen kenal, kenapa kayaknya buru-buru gitu. Toh, besok juga bisa ketemu,” jawab kap Yasin.
“Kalau dugaanku, pelatih Blok A tadi buru-buru kesini bukan sekadar mau kenal sama ayah. Tapi ada sesuatu yang penting, dan itu berpengaruh besar buat hidup dia disini,” kata Teguh, sambil terus memasukkan makanan ke mulutnya.
“Maksudnya gimana, Guh?” tanya kap Yasin. Wajahnya berubah serius, meski tetap sambil makan.
“Ah, kap ini sok nggak paham aja. Padahal, kap tahu kok sebenernya,” ujar Teguh, tersenyum.
“Kalau aku tahu, nggak bakal tanya kayak ginilah, Guh,” sahut kap Yasin dengan cepat.
“Ini nyangkut soal taruhan, kap. Masak sih kap nggak tahu. Nggak mungkinlah kap nggak tahu,” kata Teguh.
“Sumpah, aku bener-bener nggak tahu. Masak kamu nggak percaya sama aku,” balas kap Yasin lagi.
“Aku yang baru masuk sini aja paham kok, kap. Pertandingan tadi kan banyak yang taruhan. Pastinya, jagoin tim Blok A jadi pemenangnya. Kenyataannya kan seri. Bisa jadi, banyak yang kalah taruhan,” urai Teguh, dengan serius.
“O gitu. Oke, katakanlah ada taruhan, banyak yang kalah. Terus apa kaitannya sama pelatih tadi pengen ngobrol sama om Mario,” tanggap kap Yasin, semakin penasaran.
“Mungkin aja pelatihnya itu bandar taruhannya, kap. Mungkin ini ya. Dugaanku aja ini. Jadi, dia kalah besar gara-gara pertandingan tadi tim Blok A nggak menang. Hasil seri itu sama aja kalah kalau di pasar taruhan, kap,” jelas Teguh, sambil cengengesan.
“Bukan dulu, kamu ini kan termasuk baru disini, kok sudah tahu ada taruhan beginian, gimana ceritanya?” tanya pak Ramdan kepada Teguh.
“Karena aku diajak ikut pasang taruhannya, pak. Lumayan gede sih. Sekitar Rp 500 ribuan, itu yang paling kecil. Tapi aku nggak mau, sebab aku nggak suka sama main taruhan gini,” ujar Teguh.
Mendengar penuturan Teguh, tanpa dikomando, kami semua mengangguk-anggukkan kepala. Penuh keheranan. Tidak menduga bila pertandingan volly petang tadi, ternyata menjadi ajang taruhan sesama penghuni rutan.
“Kamu hebat, Teguh. Orang baru tapi sudah dipercaya buat ikut taruhan. Berarti kamu emang bukan tahanan kaleng-kaleng seperti kataku dulu,” ucapku, beberapa saat kemudian.
“Nggak gitu juga kali, ayah. Mungkin mereka nyangka, aku banyak duit. Namanya juga kena kasus narkoba dengan barang bukti berkilo-kilo. Mereka nggak tahu, kalau aku dikirim sama jaringan sesuai kebutuhan buat makan aja,” jawab Teguh, sambil menundukkan kepalanya ke arahku. Ada seulas senyum penuh misteri di sudut bibir anak muda ini. (bersambung)