Oleh, Dalem Tehang
“JADI nurut kamu, pelatih Blok A tadi pengen ngobrol sama om Mario kaitannya karena kalah sebagai bandar taruhan ya, Guh?” tanya Anton, menimpali.
“Kalau perkiraanku sih gitu. Soal kebenerannya, nanti aja kalau ayah sudah ngobrol sama Hamid,” balas Teguh.
“Kok kamu ragu sama perkiraanmu sendiri, Guh. Yang yakin dong,” ucap kap Yasin, menyela dengan cepat.
“Lah, kan tadi kap minta kita mengira-kira, ya nggak bisa sampai satu kesimpulan dong. Apalagi, segala kemungkinan bisa aja terjadi. Intinya, kesimpulan itu setelah pelatih tadi ngobrol sama ayah. Nggak bagus juga kalau perkiraan kita terus dianggep kesimpulan,” sahut Teguh, panjang lebar.
“Kamu emang cerdas, Guh. Rasional. Otakmu encer. Orang kayak kamu ini nggak bakal mudah kena provokasi. Seneng aku kenal kamu,” ujar kap Yasin, sambil menyalami Teguh.
“Jelek-jelek gini aku anak sekolahan, kap. Lumayan keasahlah otakku selama ini,” sahut Teguh, dan memegang erat tangan kap Yasin saat mereka bersalaman.
Seusai makan malam bersama, seperti biasa, kami duduk di ruang depan. Sambil menikmati rokok dan berbincang ringan. Tiba-tiba Rudy berdiri dari balik jeruji besi. Saat aku melihatnya, dengan cepat ia memasukkan sebuah bungkusan melalui teralis.
“Kiriman om Dino sama om Basri. Martabak keju,” kata Rudy, ketika menyerahkan bungkusan ke tanganku.
“Dalam rangka apa ini, Rud?” tanyaku.
“Nggak tahu, om. Rudy cuma disuruh anter ke om. Nggak ada omongan apa-apa juga,” sahut OD kamar 20 itu.
“Oke, sampein terimakasih om ke Dino dan Basri ya. Terimakasih juga kamu sudah mau nganternya kesini,” kataku lagi.
“Sama-sama, om. O iya, om. Kawan-kawan pemain volly, seneng bener om kasih saran dan akhirnya kita bisa imbangi Blok A. Baru tadi itulah tim kita bisa nandingi mereka, selama ini kalah telak melulu,” ujar Rudy, dengan wajah ceria.
“Om juga seneng, Rud. Kawan-kawan pemain volly kita hebat-hebat. Semangat juangnya luar biasa. Ditambah pelatihnya emang bijaksana. Kalau kawan-kawan terus ningkatin kemampuan, bukan nggak mungkin kita bisa kalahin Blok A,” kataku.
“Mereka pengen, om terlibat ngurus tim volly lo. Mereka percaya, om bisa naikin pamor tim blok kita,” lanjut Rudy.
“Nggak usah gitu juga kan om bisa kasih saran kalau diperluin, Rud. Bersyukur punya pelatih yang bagus. Kabarnya, pelatih juga mau keluar uang pribadi buat beliin bola dan kaos tim ya. Jarang lo ketemu orang kayak gitu, Rud. Apalagi di penjara kayak gini,” kataku lagi.
“Bener emang, om. Semua bola dan kaos tim kita, yang beliin pelatih. Pakai uang pribadi. Kabarnya, dia lagi pesen sepatu juga buat pemain tim kita. Orangnya nggak banyak omong, tapi langsung eksekusi,” urai Rudy.
“Susah nyari orang yang gila olahraga gitu, Rud. Apalagi yang mau keluar uang pribadi. Kebanyakan malah cari uang dari ngurus olahraga. Kalau pelatih tim kita ini bener-bener total majuin tim volly. Bukan cuma keluar uang, tapi juga nyisihin waktu buat ngelatih. Kasih tahu kawan-kawan tim volly kita, tunjukin keseriusan ikuti perintah pelatih dan tingkatin kemampuan. Kalau kita bisa kalahin tim Blok A, nggak mustahil pelatih bakal kasih hadiah khusus,” sambungku.
“Iya, om. Besok Rudy sampein ke kawan-kawan,” jawab Rudy, tetap dengan wajah cerianya.
Setelah berbincang beberapa saat, Rudy meninggalkan kamarku. Bungkusan berisi martabak keju aku berikan kepada pak Ramdan, yang kemudian menaruhkan di piring dan menjadi santapan kami yang tengah duduk santai.
“Kok om Mario malah nggak makan martabaknya sih, ini kan dikirim buat om,” kata Anton, yang diam-diam ternyata memperhatikan bila aku tidak sepotong pun memakan martabak kiriman Dino dan Basri.
“Masih kenyang, Ton. Buat kawan-kawan aja. Apalagi aku kan masih ngopi,” sahutku, sambil tersenyum.
Mendadak pahaku ditepuk-tepuk oleh pak Waras yang duduk di sebelahku. Bersandar pintu kamar. Aku tatap pria seumuranku tersebut. Ada senyuman di sudut bibirnya.
“Ada yang aneh, pak?” tanyaku dengan suara pelan.
“Kalau babe ragu, baikan emang nggak usah makan martabak ini,” jawab pak Waras, juga dengan pelan.
Aku menganggukkan kepala, sambil melepaskan senyum kepada pak Waras. Aku sangat senang karena ada kawan yang tidak hanya saling menjaga secara fisik, tetapi juga memahami secara batin.
Dan memang menjadi kebiasaanku, tidak sembarang memakan atau meminum dari pemberian orang. Terkecuali memang mengenal baik orang tersebut. Kehati-hatianku ini berkat pengetahuan yang disampaikan oleh komandan pengamanan yang sejak awal memang mengurus keberadaanku di rutan, juga beberapa sipir, seperti Almika, Fani, maupun Mirwan. Pun beberapa tahanan senior semacam pak Hadi, pak Waras, juga pak Sibli.
Waktu terus bergerak, malam semakin pekat. Beberapa di antara kami telah mulai mengantuk. Mendadak, kap Yasin meminta Anton dan beberapa kawan lain untuk berdendangria diiringi tetabuhan dari galon air mineral.
“Ini malem Minggu, waktunya kita nikmati nyanyian dan bersenang hati,” kata kap Yasin.
Dan beberapa menit kemudian, suara Anton sebagai penyanyi andalan kamar 30 pun mengalun syahdu. Diiringi gendang dari galon air mineral dan ketukan sendok ke gelas, anak muda itu semakin bersemangat melantunkan lagu-lagu kesayangannya. Yang mayoritas beraliran dangdut.
Tidak lama kemudian, terdengar juga suara nyanyian dari kamar-kamar yang lain. Malam semakin larut namun kemeriahan pada mayoritas kamar di Blok B justru bermunculan.
Tetapi, kantukku tidak bisa diajak kompromi. Dengan perlahan aku melipir, naik ke bidang tempatku, dan tidur. Suara bising dari suara Anton dan penghuni kamar lain, sama sekali tidak membuatku terganggu untuk menikmati istirahat. Badan, pikiran, dan perasaan telah menyatu dengan keadaan.
Sekira tiga jam aku tidur, mendadak terbangun. Suasana kamar telah sepi. Hanya terdengar suara Anton yang tengah bermain catur dengan Teguh, di ruang depan. Aku tergerak untuk solat malam.
Mengambil tempat di sudut sempit dekat pintu ruang dalam, aku pun bersimpuh di atas sajadah. Mengharapkan pengampunan dan keridhoan Ilahi Rabbi. Melegakan jiwa untuk bisa ikhlas menjalani takdir yang ada.
Kesunyian kawasan rutan berpenghuni 1.300-an orang dinihari itu, membuatku merasakan nikmat tersendiri. Sesuatu yang tidak bisa diukur dari sisi lahiriyah. Mulai terasa adanya asupan yang melahirkan keseimbangan kebutuhan batin.
Terus aku nikmati suasana yang ada. Mengikuti arahan pak Waras untuk menanggalkan segala pikiran dan kepentingan lahiriyah ketika kita khusu’ dalam perdialogan dengan Tuhan di sepertiga malam. Dengan tetap membawa satu keyakinan, Tuhan langsung menatap kita.
Dengan keyakinan itulah, tanpa terasa air mata berjatuhan. Hingga membasahi sebagian kain sarungku. Terasa begitu kecil diri ini. Bahkan lebih kecil dari serpihan debu. Kita hanyalah makhluk yang tiada kuasa apa-apa. Makhluk yang sangat lemah. Kita hanyalah hamba yang segalanya bergantung kepada Sang Pencipta. (bersambung)